Teuku Chik di Tiro

Teuku Chik di Tiro yang nama sebenarnya ialah Muhammad Saman, dilahirkan tahun 1836 di Cumbok Lamlo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ayahnya bernama Syekh Abdullah, guru agama di Garot, dekat Sigli. Ibunya, Siti Aisyah, adalah adik dari Teungku Cik Dayah Cut, ulama terkenal di Tiro. Saman menjalani masa kecilnya di dua tempat, di Garot dan di Tiro. Di tempat-tempat itu ia bergaul dengan para santri. Pelajaran agama mula-mula didapat dari ayahnya dan kemudian dari pamannya. Ibunya mengajarinya menulis huruf Arab. Perhatiannya cukup besar terhadap buku-buku tasawuf karangan Imam Ghazali. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.

Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.

Pelajaran yang diterima dari ayah dan pamannya dirasanya belum cukup. Karena itulah ia pergi belajar pada beberapa guru lain, seperti Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang dan Teungku Cik di Tanjung Bungong. Terakhir ia belajar pada Teungku Cik di Lamkrak. Pulang dari Lamkrak, ia membantu pamannya mengajar di Tiro. Pengetahuannya cukup luas. Teungku Cik Dayah Cut, pamannya, mengharapkan agar Saman kelak mampu menggantikannya sebagai guru agama sesuai dengan tradisi keluarga ulama Tiro. Sesudah mengajar beberapa waktu lamanya, Saman berniat menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, terlebih dulu dikunjunginya bekas guru-gurunya untuk memohon doa restu, yang terakhir dikunjunginya ialah Teungku Cik di Lamkrak, tetapi ternyata guru ini sudah meninggal dunia.

Di Lamkrak Saman telah menyaksikan suatu perubahan. Para santri hanya belajar siang hari, pada malam hari mereka turut bergerilya menyerang pos-pos tentara Belanda. Demikianlah suasana perang Aceh melawan penindasan Belanda. Mau tak mau Saman ikut menyertai mereka. Cukup lama ia tinggal di Lamkrak dan hampir saja niat untuk naik haji dibatalkannya.

Pada waktu itu perang Aceh-Belanda sedang memasuki masa suram bagi rakyat Aceh. Daerah Aceh Besar seluruhnya sudah jatuh di tangan Belanda. Pejuang-pejuang Aceh banyak yang bersembunyi di daerah pedalaman, dan tetap melakukan serangan kecil-kecilan yang kurang terorganisasi.

Perang Aceh-Belanda meletus pada tahun 1873. Latar belakangnya ialah keinginan Belanda untuk menguasai daerah Aceh. Walaupun pasukan Aceh berhasil menggagalkan pasukan ekspedisi pertama Belanda, bahkan pimpinan ekspedisi, Jenderal Mayor Kohier tewas, namun mereka tidak mampu menghalau ekspedisi Belanda yang kedua. Istana jatuh ke tangan Belanda, tetapi beberapa hari sebelumnya, Sultan Aceh sudah menyingkir. Ia meninggal dalam perjalanan karena serangan kolera. Kedudukannya digantikan oleh putranya yang masih kecil. Sultan baru dan seluruh keluarga istana lalu menyingkir ke Keumala Dalam, jauh di daerah pedalaman.

Pemimpin-pemimpin Aceh yang terkenal berani, lambat-laun menghentikan kegiatannya. Panglima Polim menghindar dan tidak bersedia ditemui oleh siapa pun. Ia kecewa, karena di dalam kalangan Aceh sendiri timbul perpecahan. Ada pula pemimpin yang memihak Belanda.

Perlawanan semakin surut dan keadaan itulah yang dilihat Saman di Lamkrak. Serangan gerilya yang dilancarkan oleh pejuang-pejuang yang masih setia seperti para santri di Lamkrak itu, namun tidak banyak hasilnya. Sebaliknya justru menyengsarakan rakyat. Bila suatu malam sebuah pos Belanda diserang, tak ayal besoknya Belanda mengadakan pembalasan dengan cara membakar kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Saman menyadari hal itu dan ia mulai berpikir tentang perlunya disusun sebuah kekuatan yang cukup besar. Untuk itu diperlukan persatuan semua golongan, menghilangkan perbedaan faham dan curiga-mencurigai.

Dari Tiro datang pesan bertubi-tubi agar Saman segera pulang. Atas desakan yang kuat dari pamannya, Teungku Cik Dayah Cut, akhirnya Saman kembali ke Tiro. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, ia pun berangkat ke Mekah. Kesempatan berkunjung ke tanah suci dimanfaatkannya untuk bertukar pikiran dengan ulama-ulama terkemuka dan menambah ilmu pengetahuan. Dalam bertukar pikiran itu tak lupa ia membicarakan masalah perang Aceh—Belanda. Ia pun menyibukkan diri membaca buku-buku dan majalah-majalah terbitan luar negeri yang menguraikan perkembangan dan perjuangan dunia Islam.

Pulang dari Mekah, perhatian Saman tidak sepenuhnya tertumpah kepada tugas-tugas mengajar di pesantren. Pikirannya sewaktu bergerilya di Lamkrak kini muncul kembali. Ia mengetahui pula, bahwa perlawanan rakyat semakin menurun. Kebetulan, pada suatu hari beberapa orang utusan dari Gunung Biram, tempat sebagian kecil gerilya Aceh bermarkas, tiba di Tiro. Mereka mengharapkan, agar salah seorang ulama Tiro bersedia memimpin mereka untuk mengobarkan kembali semangat perang melawan Belanda. Teungku Cik Dayah Cut sudah tua, dan karena itu ia tak mungkin melakukan tugas tersebut. Saman memanfaatkan kesempatan itu.

Ia menyatakan kesediaannya untuk memenuhi permintaan utusan dari Gunung Biram. Niatnya itu mendapat persetujuan dan restu pamannya. Ketika itu Mohammad Saman berusia 44 tahun, berbadan gemuk dan sedikit rabun. Rakyat yang menyangsikan kemampuannya, namun Saman tidak mengindahkan ejekan orang-orang sekitarnya. Dengan ditemani beberapa orang, setelah terlebih dulu menggadaikan sawah untuk bekal, ia pun berangkat ke Gunung Biram.

Kepada anggota rombongan dan juga kepada utusan Gunung Biram ia minta agar kepergiannya dirahasiakan. Tindakan pertama yang dilakukannya ialah menghubungi beberapa orang tokoh yang dianggapnya mampu untuk membantu perjuangannya. Berkat bantuan Tuanku Mahmud, keluarga Sultan Aceh, ia berhasil menghubungi Panglima Polim. Tokoh yang sudah putus asa ini tidak bersedia menerima sembarang orang, namun akhirnya bersedia membantu Mohammad Saman. Ia berjanji akan memerintahkan para ulubalang agar mereka membantu perjuangan, atau sekurang-kurangnya tidak menghalangi rencana Saman. Selain itu dihubunginya pula tokoh lain yang menjanjikan akan memberikan bantuan keuangan.

Tindak selanjutnya oleh Mohammad Saman ialah mengumpulkan pejuang-pejuang yang masih ada dan tersebar di beberapa tempat. Dengan kekuatan itu ia membentuk sebuah angkatan perang yang dinamakan Angkatan Perang Sabil. Diumumkannya bahwa perang yang akan dilancarkan adalah perang sabil melawan kaum kafir.

Di sekeliling Mereu didirikan benteng-benteng pertahanan Senjata-senjata dikumpulkan dan diangkat pula orang yang akan mengepalai tiap-tiap pasukan. Saman pun mengundang Syekh Pante Hulu untuk membantunya. Syekh ini terkenal pandai membacakan syair karangannya sendiri yang berjudul “Hikayat Perang Sabil”. Isinya, anjuran agar rakyat berperang melawan Kaum kafir. Orang yang tewas dalam perang itu akan diterima Tuhan di surga. Pengaruh syair itu cukup besar dan mampu menggerakkan semangat rakyat.

Sementara itu, dalam bulan April 1881, di Banda Aceh dilangsungkan serahterima pimpinan penguasa Belanda dari van der Heyden, yang terkenal bertangan besi, kepada Pruys van der Hooven. Pejabat baru ini ingin menyelesaikan masalah Aceh secara damai. Sultan dibujuk agar mau menjadi raja di bawah perlindungan Belanda. Rencana itu ditentang oleh golongan militer, sedangkan pemerintah di Jakarta tidak pula bersedia menambah biaya perangnya.

Dalam laporan Pruys van der Hooven tanggal 10 Mei 1881, dikatakannya bahwa keadaan di Aceh cukup tenang. Laporan itu membuktikan, bahwa Belanda tidak mengetahui samasekali adanya persiapan-persiapan di sekitar Mereu. Dalam bulan itu pula benteng Belanda di Indrapuri direbut oleh Angkatan Perang Sabil. Belanda terkejut, sedang anak buah Syekh Saman tambah bersemangat. Sesudah merebut Indrapuri, mereka melanjutkan serangan ke Samahani yang berhasil mereka kuasai pada akhir tahun 1881. Sesudah itu menyusul benteng Aneuk Galong. Dengan jatuhnya benteng ini, berarti Belanda sudah jauh mundur ke tengah Aceh Besar.

Syekh Saman merencanakan sehingga pada akhir tahun 1883 Belanda sudah terusir dari bumi Aceh. Rencana itu tidak tercapai, namun dalam tahun 1883 itu sebagian besar daerah Sagi XXII dan Sagi XXV dapat dibersihkan dari pasukan Belanda, sehingga jalan ke Ulehleh terbuka. Belanda mundur dari Aneuk Galong ke Lambaro, dari Sagi XXVII mundur ke Lamyong dan dari Sagi XXV mundur ke Keutapang. Karena kemajuan-kemajuan pasukan Sabil itu, maka Belanda lalu membuat garis konsentrasi atau batas yang kuat untuk menahan serangan rakyat. Garis konsentrasi yang terbentang dari Kuta Pahama hingga Keutapang Dua diperkuat sedemikian rupa hingga barisan Sabil tidak sanggup menembusnya.

Kekuatan Angkatan Perang Sabil telah menjadi kekuatan yang nyata dan yang harus diperhitungkan Belanda dengan sungguh-sungguh. Sementara itu Haji Saman merobah siasatnya dengan maksud menyerang langsung Banda Aceh.

Pada tanggal 12 Juni 1882 pasukan rakyat dipecah menjadi tiga bagian dan digerakkan ke Ulehleh, ke Lok Ngha dan di Lamtong. Dari tiga jurusan itulah Banda Aceh akan diserang, tetapi Belanda mengetahui rencana itu. Mereka lalu mengerahkan kekuatan besar untuk menghadang barisan rakyat. Pertempuran sengit berkobar dan Haji Saman terkepung di Gle Tarom. Waktu pasukan Mayor Rheumpol mau menjebaknya, Haji Saman dan pasukannya telah berhasil melarikan diri ke Krueng Pinang. Pasukan Belanda lalu menyerang Pulau Breuh, namun mengalami kekalahan. Seluruh pasukan dan komandannya tewas. Kemudian dikirim bantuan di bawah komando Kapten Segov, tetapi barisan Haji Saman sudah meninggalkan pulau itu.

Serangannya atas Kutaraja tidak berhasil. Karena kewalahan, maka Belanda merobah siasat dengan memecah belah dan menghasut. Teuku Aris diangkat menjadi panglima perang untuk menghadapi Teungku Cik di Tiro, tetapi usaha itu tidak berhasil sama sekali.

Sultan pun dihasut. Kepada Sultan dikatakan, bahwa ia tidak berkuasa lagi. Teungku Cik di Tiro-lah yang menguasai rakyat. Sultan termakan oleh hasutan itu dan dalam bulan April 1884 ia mengeluarkan maklumat, bahwa dia masih menjadi Sultan yang berkuasa. Dalam bulan Agustus 1884 Haji Saman terpaksa membuat pengumuman, bahwa ia tidak bermaksud menduduki singgasana kasultanan, tetapi ia berjuang untuk mempertahankan agama Islam dan mengusir “kafe belanda”. Pesan demikian pun sampai kepada Sultan, hingga Sultan Daud Syah akhirnya menyadarinya.

Dalam tahun 1885 Cik di Tiro mencatat kemenangan dengan berhasil merebut benteng Aneuk Galong. Benteng di Lambaro yang jaraknya hanya 8 km. dari Banda Aceh diserang pula, namun tidak berhasil. Tentara Belanda mundur ke benteng-bentengnya dan tak berani keluar. Banda Aceh dipertahankan dengan sistem benteng-berbenteng, yaitu membangun benteng berlapis-lapis. Untuk merebut Banda Aceh, pasukan Sabil harus merebut beberapa benteng yang dipertahankan sekuat-kuatnya.

Haji Saman lalu menentukan siasat lain. Jalan-jalan ke Banda Aceh ditutup. Rakyat dilarang masuk kota. Rakyat dilarang memasukkan makanan. Di samping itu beberapa pasukan berani mati disusupkan sehingga di dalam kota terjadi beberapa kali orang mengamuk dan membunuh Belanda.

Pada bulan Desember 1885 Pasukan Cik di Tiro mendarat lagi di Pulau Breuh dan Kuala Cangkul untuk menyerang Banda Aceh, namun kali ini pun gagal lagi. Pada tahun 1887 Syekh Saman terpaksa meninggalkan medan perjuangan dan pulang ke Tiro karena paman sekaligus gurunya yang amat mencintainya, Teungku Cik Dayah Cut, pulang ke rakhmatullah. Ia berziarah ke makamnya dan kemudian kembali ke garis depan pertempuran. Dengan meninggalnya pamannya itu, Haji Saman berhak sepenuhnya menyandang gelar Teungku Cik di Tiro.

Tampaknya Belanda tak mungkin mematahkan perlawanan Cik di Tiro dengan kekuatan senjata. Pahlawan Aceh ini hanya mau berdamai bilamana semua orang Belanda masuk Islam. Persyaratan itu dimanfaatkan pula oleh Belanda. Beberapa orang Belanda menghadap Teungku Cik di Tiro untuk menyatakan bersedia masuk Islam, tetapi sebenarnya mereka itu semata-mata datang untuk memata-matai keadaan kekuatan Angkatan Perang Sabil. Teungku Cik di Tiro menjadi marah setelah mengetahui siasat licik itu. Di puncak kemarahannya ia berkata: “Saya mau membunuh semua orang Belanda yang ada di negeri ini.”

Mendengar ancaman itu Belanda menjadi ngeri. Dengan segala daya upaya mereka mengadakan pendekatan sambil mengurung diri dalam benteng-bentengnya. Sementara itu, pada tahu 1884 Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye ke Mekah dengan menyamar sebagai dokter mata dan tukang potret bernama Abdul Gafur. Tugasnya mengumpulkan sebanyak-banyak bahan tentang orang-orang Aceh di luar negeri dan mencari hubungan dengan sebanyak mungkin fihak Aceh dan fihak kaum jemaah untuk dapat melemahkan semangat perang di Aceh.

Sepulangnya dari Mekah, pada tahun 1885, ia diangkat menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda. Penyamarannya itu menghasilkan tiga buah buku yang dipakai Belanda sebagai pedoman menghadapi orang Aceh, yaitu buku-buku:
1. Het Mekaansche feest
2. De Atjehers
3. Nederland en de Islam
Dengan segala macam cara Belanda pun mengadakan pendekatan, sebab orang-orang Aceh tidak dapat dihadapi dengan perang saja. Sultan didekatinya hingga ia bernafsu mengadakan perdamaian dengan Belanda dan mencoba mempengaruhiTeungku Cik di Tiro, namun Panglima Sabil itu tetap tidakbersedia dan berkata, “Damai berarti kalah.” Teungku Cik di Tiro tegak tegap seperti baja yang tak dapat ditundukkan oleh apa dan siapa pun. Terhadap orang kuat itu Belanda mencari muslihat secara licik. Mereka menemukan orang yang berambisi menjadi kepala Sagi XXII Mukim. Kebetulan kepala Sagi itu, Panglima Polim Muda Kuala, sudah berusia lanjut. Anaknya yang tinggal dengan Sultan dijanjikan Belanda akan dijadikan penggantinya asal dia dapat membunuh Teungku Cik di Tiro.

Pengkhianat itu meminjam tangan orang lain untuk melaksanakan pembunuhan. Waktu Teungku Cik di Tiro datang di benteng Tui Suilemeng ia pergi ke mesjid. Di sana ia dijamu oleh Nyak Ubit, seorang wanita yang diperalat calon pengganti kepala Sagi XXII untuk meracun Panglima Besar Angkatan Perang Sabil. Nyak Ubit menghidangkan kepada Teungku makanan yang sudah dicampur racun. Setelah memakan hidangan itu tanpa curiga, Teungku Cik di Tiro merasa sakit. Ia dibawa ke benteng Aneuk Galong untuk diobati, namun nyawanya tidak tertolong. Teungku Cik di Tiro wafat pada bulan Januari 1891. Tidak lama kemudian Panglima Polim pun meninggal dunia. Dengan wafatnya 2 orang pemimpin yang amat kuat dan fanatik itu. Aceh kehilangan tokoh perjuangannya.

Perjuangan Aceh padam sementara waktu hingga tampilnya Teuku Umar di medan perjuangan dengan sama-sama gigihnya, namun berbeda caranya.Teungku Cik di Tiro pada hakekatnya tidak terkalahkan oleh Belanda. Wafatnya disebabkan cara Belanda yang licik dan keji. Perjuangan dan jasa-jasanya tercatat dalam sejarah sepanjang masa. Pemerintah RI menghargainya dan berdasarkan SK Presiden RI No. 87/TK/Tahun 1973 tanggal 6 Nopember 1973, Teuku Cik di Tiro dianugerahi gelar Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan.

Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. Bukti kehebatan beliau dapat dilihat dari banyaknya pergantian gubernur Belanda untuk Aceh semasa perjuangan beliau (1881-1891) sebanyak 4 kali, yaitu:
1. Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
2. Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
3. Henry Demmeni (1884-1886)
4. Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
Belanda yang merasa kewalahan akhirnya memakai “siasat liuk” dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.


HIKAYAT PRANG SABI

Salam alaikom walaikom teungku meutuah
Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe
Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah...ya Allah pahala prang sabi....

Ureueng syahid la syahid bek ta khun matee
Beuthat beutan lee...ya Allah nyawoung lam badan
Ban saree keunueng la keunueng senjata kafee la kafee
Keunan datang...ya Allah pemuda seudang...

Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe
Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugor disinan-disinan neuba u dalam-u dalam
Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi...

Ija puteh la puteh geusampoh darah
Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki
Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan
Wat tapandang...ya Allah seunang lam hatee...

Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadoh di badan
Geuganto le tuhan...ya Allah deungan kasturi
Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang
Neubi beu mayang...ya Allah Aceh mulia...

Subhanallah wahdahu wabi hamdihi
Khalikul badri wa laili adza wa jalla
Ulon peujoe Poe sidroe Poe syukoe keu rabbi ya aini
Keu kamoe neubri beu suci Aceh mulia...

Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi
Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa
Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh
Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka...

Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teuboh
Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata
Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin
Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia...

Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang
Allah peulang dendayang budiadari
Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi...

Budiyadari meuriti di dong dji pandang
Di cut abang jak meucang dalam prang sabi
Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi...
Tidak mengherankan, Sehingga kemudian penyair Taufik Ismail mengabadikan kehebatan hikayat perang sabil karya Tgk. Chik Pante Kulu ini dalam sebuah syair panjangnya berjudul : “Teringat Hamba Pada Syuhada Kita Dihari Kemerdekaan, Musim Haji 1406 H”. Taufik bersyair:…

Nampakkah olehmu puisi itu?
Diserahkan kepada Teungku Chik Ditiro
Di sebuah desa di dekat Sigli
Dan puisi itu berubah menjadi sejuta Rencong...

Terdengarkah olehmu?
Merdunya Al Furqan dinyanyikan
Kemudian puisi perang sabi dibacakan
Yang mendidih darah memanggang udara
Menjelang setiap pasukan terlibat pertempuran
Mengibarkan Panji fi-sabilillah…

Hamba menulis puisi juga
Tapi betapa kurus puisi hamba
Kurang sikap ikhlas hamba
Banyak ria dan ingin tepuk tangan...
Apalah artinya dibandingkan puisi Perang sabi Muhammad Pante Kulu ...
Allah, berkahi penyair abad sembilan belas ini
Beri dia firdaus seluas langit bumi…

Begitu hebatnya Tgk. Chik Pante Kulu di mata penyair Taufik Ismail. Sampai-sampai Taufik menilai puisi-puisi yang ditulisnya selama ini belum memiliki arti apa-apa dibandingkan kebesaran syair hikayat perang sabil yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu. Ulama dan pujanggawan kelahiran 1836 M di Desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kota Bakti, Pidie ini, telah lama meninggalkan kita. Namun hikayat perang sabil yang ditinggalkan tetap hidup di jiwa orang yang memang Aceh sebagai hasil karya sastra terbesar yang diakui dunia pada zamannya.

0 Response to " Teuku Chik di Tiro "

Posting Komentar