Ali Hasjmy

Siapa yang tidak mengenal Ali Hasjmy? Tokoh Aceh ini dikenal sebagai ulama, sastrawan, dan politikus. Ia lahir di Lampaseh, Aceh, pada tanggal 28 Maret 1914. Nama kecilnya adalah Muhammad Ali Hasjim. Ia juga memiliki sejumlah nama samaran yang digunakan dalam berbagai karangannya tentang puisi dan cerpen, seperti nama al-Hariry, Aria Hadiningsun, dan Asmara Hakiki. A. Hasjmy merupakan anak kedua Teungku Hasyim dari delapan bersaudara. Ayahnya merupakan pensiunan pegawai negeri.
A. Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz pada tanggal 14 Agustus 1941. Ketika itu A. Hasjmy berumur 27 tahun, sedangkan istrinya berumur 15 tahun (lahir pada Agustus 1926).
Mereka dikaruniai tujuh putra-putri, yaitu: (1). Mahdi A. Hasjmy (lahir pada tanggal 15 Desember 1942); (2). Surya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 11 Februari 1945); (3). Dharma A. Hasjmy (lahir pada tanggal 9 Juni 1947); (4) Gunawan A. Hasjmy (lahir pada tanggal 5 September 1949 dan meninggal pada tanggal 12 September 1949); (5) Mulya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 23 Maret 1951); (6) Dahlia A. Hasjmy (lahir pada tanggal 14 Mei 1953); (7) Kamal A. Hasjmy (lahir pada tanggal 21 Juni 1955).
Hasjmy menempuh pendidikan formal pertamanya di Government Inlandsche SchoolMontasie Banda Aceh, sebuah lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar (SD). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Thawalib di Padang Panjang, baik pada jenjang pendidikan tsanawiyah (menengah tingkat pertama) maupun jenjang ‘aliyah (menengah tingkat atas). Sekolah ini telah mendidiknya jiwa patriot, cinta tanah air yang kuat, dan menanamkan nasionalisme yang mendasar.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di al-Jami‘ah al-Qism Adabul Lughah wa Tarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) di Padang. Sekembalinya dari Padang Panjang dan Padang, A. Hasjmy menjadi guru dan pendidik di Aceh. Ketika umurnya menginjak usia 50-an, ia pernah mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.
Pada masa mudanya, A. Hasjmy dikenal sangat aktif ikut serta dalam berbagai kegiatan organisasi kepemudaan. Tercatat, antara tahun 1932 hingga tahun 1935, ia menjadi anggota Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII), dan antara tahun 1933 hingga tahun 1935 ia menjadi Sekretaris HPII Cabang Padang Panjang. HPII merupakan sebuah organisasi underbow partai politik Permi (Persatuan Muslimin Indonesia), sebuah partai radikal yang menganut sistem nonkooperasi terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1935, A. Hasjmy mendirikan Sepia (Serikat Pemuda Islam Aceh) bersama dengan sejumlah pemuda yang baru pulang dari Padang. Sepia kemudian berubah menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), dan ia menjadi salah seorang pengurus besarnya. Paramiindo merupakan organisasi kepemudaan radikal yang giat melakukan gerakan politik untuk menentang penjajahan Belanda.
Sejak tahun 1939, A. Hasjmy aktif sebagai anggota Pengurus Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Aceh Besar, serta menjadi Wakil Kwartir Kepanduan KI (Kasysyafatul Islam) Aceh Besar. PUSA merupakan organisasi non-partai politik yang kegiatannya lebih pada gerakan menentang penjajahan Belanda.
Pada tahun 1941, bersama sejumlah teman di PUSA, ia mendirikan suatu gerakan rahasia bawah tanah, yaitu Gerakan Fajar. Tujuan gerakan ini mengorganisir pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda. Sejak awal tahun 1942, gerakan ini melakukan kegiatan sabotase di seluruh Aceh, bahkan dengan cara perlawanan fisik. A. Hasjmy ikut memimpin kegiatan pemberontakan ini. Karena keterlibatan itu, ayahnya, Teungku Hasjim ditangkap Belanda dan baru bisa bebas setelah Belanda meninggalkan Aceh.
Pada awal tahun 1945, bersama sejumlah pemuda yang bekerja pada Kantor Aceh Sinbun dan Domei, A. Hasjmy mendirikan organisasi IPI (Ikatan Pemuda Indonesia), suatu organisasi rahasia yang bertujuan melakukan persiapan untuk melawan kekuasaan Belanda yang pada saat itu kembali ke Aceh karena kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945, IPI aktif melakukan gerakan secara terang-terangan terhadap para pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Lambat laun, IPI berubah menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia), dan kemudian berubah lagi menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Dalam perkembangan selanjutnya, Pesindo Aceh memisahkan diri dari DPP Pesindo karena pada saat itu DPP telah dipengaruhi oleh ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pesindo Aceh berdiri sendiri dengan menjadikan Islam sebagai dasarnya. Organisasi ini mendirikan sebuah divisi laskar bernama Divisi Rencong. Sejak masih di IPI hingga di divisi ini, A. Hasjmy bertindak sebagai pemimpinnya.
A. Hasjmy pernah juga aktif di sejumlah partai politik lain, yaitu Permi (Persatuan Muslim Indonesia) dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Ketika masih di Aceh, ia pernah menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PSII. Ia bahkan pernah ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, dalam kurun waktu September 1953 sampai Mei 1954 karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Ketika pindah ke Jakarta, ia menjadi Ketua Departemen Sosial Lajnah Tanfiziyah DPP PSII.
Selain aktif di berbagai kegiatan organisasi, A. Hasjmy juga aktif memegang sejumlah jabatan pemerintahan. Pada masa awal Indonesia merdeka, ia aktif sebagai pegawai negeri dan memegang jabatan-jabatan sebagai berikut: Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946-1947); Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950); Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial Kementerian Sosial di Jakarta (1957); Gubernur Aceh (1957-1964); dan diperbantukan sebagai Menteri Dalam Negeri (1964-1968). Pada tahun 1966, ia pensiun dari pegawai negeri sebelum masanya (52 tahun) karena atas permintaannya sendiri.
Penunjukan A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh disebabkan karena pada saat itu Aceh sedang dalam masa krisis, di mana sering terjadi konflik bersaudara. Masyarakat Aceh menilai penunjukan dirinya tepat, terbukti ia berhasil memulihkan keamanan Aceh pada saat itu. Apalagi, sejak masa pemulihan itu, ia beserta beberapa kawan seperjuangannya mulai memikirkan dan memusatkan perhatian pada pengembangan dunia pendidikan di berbagai wilayah di Aceh. Pengabdiannya terhadap dunia pendidikan berhasil mengangkat Aceh sebagai Kopelma (Kota Pelajar dan Mahasiswa) Darussalam.
Kopelma merupakan pusat pendidikan untuk tingkat provinsi (Aceh). Di Aceh terdapat dua buah perguruan tinggi yang terkenal, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Di samping itu, berdiri sejumlah perkampungan pelajar di beberapa kabupaten dan juga berdiri sejumlah taman pelajar di beberapa kecamatan di seluruh Aceh (yang kini bernama Pusat Pendidikan Tinggi Darussalam Mini).
Setelah tidak lagi memegang jabatan pemerintahan, A. Hasjmy kemudian aktif dalam berbagai kegiatan intelektual. Ia diangkat sebagai Dekan Fakultas Dakwah (Publisistik) IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 1968. Ia diangkat dan dikukuhkan sebagai Guru Besar (Prof) dalam ilmu dakwah di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, pada tahun 1976. Ia kemudian menjabat sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry sejak tahun 1977 hingga November 1982.
A. Hasjmy sebenarnya juga pernah memegang sejumlah jabatan non-birokratis lainnya, baik di pemerintahan maupun di pendidikan, yaitu:
  • Anggota Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (1946-1947);
  • Anggota Staf Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo (1947);
  • Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (1949);
  • Pimpinan Kursus Karang Mengarang di Kutaraja dan menjadi staf pengajarnya juga (1947-1948 dan 1950-1951);
  • Ketua II Panitia Persiapan Universitas Sumatera Utara (USU), Medan (1957);
  • Wakil Ketua Umum Panitia Persiapan Fakultas Ekonomi Negeri Kutaraja (1958);
  • Ketua Umum Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Agama Islam Negeri, Kutaraja (1959);
  • Anggota Pengurus Besar Front Nasional (1960);
  • Ketua Umum Panitia Persiapan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry (1960);
  • Ketua Umum Panitia Persiapan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) (1960);
  • Ketua DPR-GR Daerah Istimewa Aceh (1961);
  • Ketua Dewan Kurator Universitas Syiah Kuala (1962-1964);
  • Pimpinan Umum Harian Nusa Putra dan Staf Redaksi Harian Karya Bhakti di Jakarta (1964-1965);
  • Anggota MPRS Golongan B (wakil Daerah Istimewa Aceh) (1967);
  • Menjadi dosen mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dan Ilmu Dakwah pada beberapa fakultas di Kopelma Darussalam (sejak tahun 1967);
  • Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Aceh (sejak tahun 1969);
  • Ketua Umum MUI Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sejak tahun 1982);
  • Anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat (sejak berdirinya lembaga ini);
  • Ketua Umum LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh) (sejak berdirinya lembaga ini);
  • Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Daerah Istimewa Aceh (sejak berdirinya lembaga ini); dan
  • Anggota Dewan Penasehat ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Pusat.
Ketika tidak aktif di pemerintahan dan hanya aktif di dunia pendidikan, telah puluhan kali A. Hasjmy menyampaikan makalah dalam berbagai kesempatan seminar, lokakarya, simposium, konferensi, dan muktamar, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Sebagai bentuk apresiasi dirinya terhadap pengembangan keilmuan, ia mendirikan Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy pada awal tahun 1989. Pada tahun 1990, atas persetujuan istrinya dan semua putra-putrinya, ia mewakafkan kepada yayasan tersebut berupa tanah seluas hampir 3.000 m2, rumahnya, buku-buku lebih dari 15.000 jilid, naskah-naskah tua, album-album foto bernilai sejarah dan budaya, dan masih banyak sekali benda budaya lainnya.
Semua barang miliknya dijadikan koleksi Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy. Pada tanggal 15 Januari 1991, perpustakaan dan museum ini diresmikan oleh Prof. Dr. Emil Salim, Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada saat itu.
Pemikiran 
A. Hasjmy merupakan tokoh besar Aceh yang memiliki pemikiran multi-dimensi. Ia dikenal sebagai ulama, politisi, sastrawan, dan juga sekaligus budayawan. Berikut ini dikemukakan sejumlah butir pemikirannya yang dikelompokkan dalam beberapa bidang pemikiran.
Politik Kebangsaan 
A. Hasjmy mempunyai jiwa nasionalisme dan patriotisme yang sungguh besar. Hal ini dibuktikan dengan perannya dalam mempengaruhi pemerintah RI pusat agar mau melepaskan Aceh dari “kungkungan” Provinsi Sumatera Utara dan berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi. Pada tanggal 1 Januari 1957, usahanya berhasil mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno, Presiden RI Pertama.
Oleh Kabinet Ali Sastroamidjoyo ke-2, A. Hasjmy diminta menjabat sebagai Gubernur Aceh yang pertama kali (1957). Tugasnya yang paling pokok adalah menyusun pemerintahan daerah dan memulihkan keamanan. Ia pernah berhasil mengatasi pemberontakan Darul Islam dengan cara damai. Hal itu ia lakukan menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (untuk kembali ke UUD 1945 dengan dasar Pancasila), tepatnya ketika Sidang Istimewa Kabinet Karya dilakukan pada permulaan bulan Mei 1959.
Sidang ini secara khusus membahas tentang penyelesaian pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sidang ini dipimpin oleh Perdana Menteri Ir. H. Juanda, yang juga dihadiri oleh sejumlah pejabat negara, termasuk Panglima Kodam I Kolonel Sjamaun Gaharu dan Gubernur Aceh A. Hasjmy.
Dalam sidang itu, A. Hasjmy memberikan penjelasan tentang perjuangan rakyat dalam menegakkan dan mempertahankan NKRI sejak masa Revolusi 1945 sampai Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Ia mengajak Darul Islam agar kembali ke pangkuan NKRI dengan cara memberikan status keistimewaan pada Provinsi Aceh.
Makna keistimewaan berarti memperkokoh NKRI yang berpedoman pada Pancasila, dengan tetap memperhatikan kekhususan dan kekhasan sejarah sosial-budaya Aceh yang memang banyak didasarkan pada ajaran Islam.
A. Hasjmy berpandangan bahwa realitas budaya Aceh yang sangat khas dan bernafaskan Islam tidak menghalangi penerimaan masyarakat Aceh terhadap Pancasila. Menurutnya, Pancasila merupakan pedoman hidup nasionalisme yang tetap memperhatikan religiusitas dan monoteisme. Dengan demikian, nafas dan nyawa masyarakat Aceh adalah sama dengan struktur dan kultur seluruh bangsa Indonesia dalam bingkai Pancasila itu sendiri. Sehingga, masyarakat Aceh tidak perlu alergi terhadap Pancasila.
Sebagai tindak lanjut dari Sidang Istimewa Kabinet Karya, PM Juanda memberitahukan kepada A. Hasjmy bahwa Kabinet Karya akan mengirimkan Misi Pemerintah ke Aceh di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri II Idham Chalid. A. Hasjmy menolak penunjukkan itu dengan mengusulkan agar yang memimpin misi pemerintah tersebut adalah Mr. Hardi, Wakil Perdana Menteri I pada Kabinet Karya. Padahal, Mr. Hardi merupakan tokoh nasionalis (anggota DPP PNI/Partai Nasionalis Indonesia), berbeda dengan Idham Chalid yang jelas-jelas berasal dari kelompok Islam karena ia seorang ulama (Nahdhatul Ulama/NU) terkenal pada saat itu.
Ketika ditanya oleh PM. Juanda tentang apa alasan A. Hasjmy lebih suka menunjuk Mr. Hardi daripada Idham Chalid, A. Hasjmy menjawab dengan lugas: “NU, partainya Pak Idham Chalid sudah sejak semula mendukung kebijaksanaan pemulihan keamanan di Aceh; sementara PNI semenjak Mr. Ali Sastroamidjojo memimpin kabinet terus menentang penyelesaian dengan cara bijaksana. Kalau Wakil PM Idham Chalid yang memimpin misi, besar sekali kemungkinan PNI tidak akan menyetujui hasil-hasil yang dicapai misi. Lain halnya, kalau orangnya sendiri yang memimpin misi, yaitu Wakil PM Mr. Hardi”.
A. Hasjmy memiliki pemikiran yang strategis terhadap pemulihan kondisi di Aceh secara damai. Ia tidak memperdulikan apakah yang memegang amanat misi pemerintah itu harus berasal dari kelompok Islam atau tidak, mengingat Aceh begitu kental dengan nuansa keagamaannya.
Ia berpikir bahwa kelompok yang selama ini kontra (kelompok nasionalis) justru perlu dirangkul dengan menjadikan salah satu tokohnya sebagai pemimpin misi pemerintah ke Aceh (Mr. Hardi). Maka, dengan cara seperti ini kepentingan semua kelompok dapat diakomodir, tidak hanya satu kelompok saja. Berdasarkan pemikiran semacam itu, A. Hasjmy merupakan tokoh politisi yang mau bersikap terbuka dengan menerima berbagai perbedaan yang ada.
Kebudayaan dan Keagamaan
Pemikiran keagamaan A. Hasjmy banyak berhubungan dengan kondisi Aceh yang selama ini dikenal sangat kental dengan nuansa keislamannya, dalam sistem sosial, politik, dan kehidupan keberagamaannya. Pada tahun 1990, ia menjabat sebagai Ketua LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh).
LAKA didirikan untuk meningkatkan peran, fungsi, dan sistem lembaga adat dan kebudayaan agar sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia. Rumusan tujuan LAKA sudah tercermin dalam UUD 1945 pasal 32 yang berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”.
Dalam Penjelasan UUD 1945 tentang pasal 32 dinyatakan bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus melaju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemauan bangsa Indonesia”.
Di bawah kepemimpinan A. Hasjmy, LAKA banyak melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian adat dan kebudayaan Aceh. Di samping itu, lembaga ini juga menyegarkan adat dan kebudayaan tersebut dengan mengintrodusir pengaruh-pengaruh positif dari adat dan kebudayaan lain (di luar Aceh). Apa yang dilakukan A. Hasjmy bersama lembaganya itu tiada lain mencerminkan jiwa nasionalisme Indonesia yang tidak sempit, dengan tetap mengakar kepada adat dan kebudayaan Aceh.
Jika kita menelisik pemikiran A. Hasjmy secara seksama, maka akan terlihat progresivitas dalam berbagai pemikirannya. Ia pernah mengatakan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh tidak perlu dipahami secara eksklusif karena pada dasarnya umat manusia diberikan kebebasan untuk memilih Islam.
Tentang hal ini, ia mengatakan: “Islam tidak memaksa. Anda dengan rela memilih Islam, kita menerimanya, Aceh selalu terbuka!” Artinya, Islam adalah agama yang tidak memaksa. Islam adalah agama yang menyeru kepada kebaikan, sehingga umat manusia dapat menerimanya atau tidak menerimanya. Hanya saja, memang orang yang dapat menerima Islam sebagai pedoman hidup merupakan orang yang tepat karena telah menjadikan agama ini sebagai pedoman jalan hidupnya.
Islam dan adat dalam kehidupan sosial-kebudayaan Aceh seakan-akan tidak dapat dipisahkan karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling menyatu. Kaitan erat keduanya, misalnya dapat terlihat pada kesenian atau kerajinan tangan Aceh yang banyak merujuk pada simbol-simbol keislaman.
Segala sesuatu hal yang berbau kesenian atau keindahan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu di luar agama. Tentang hal ini, A. Hasjmy pernah berujar: “Kita tidak menolak hal-hal yang membawa kesan keindahan, kerajinan, dan ketenangan. Seni itu indah, ia dilahirkan oleh dasar keinsafan dan kemuliaan”. Maka, tidak aneh jika ternyata kesenian dan kerajinan tangan Aceh terus berkembang.
A. Hasjmy dikenal sebagai ulama yang berpenampilan sangat sederhana. Sehari-harinya ia mengenakan kopiah yang rapi dengan motif yang sering berbeda-beda. Ia memang dikenal sangat bangga mengenakan pakaian adat Aceh dalam kehidupan sehari-harinya.
Ada makna apa di balik baju Aceh itu? Ternyata, di balik itu ada makna budaya yang sangat mendalam. Konon, pakaian adat Aceh memberikan getaran semangat kepada si pemakainya. Jika dilihat dari sudut pandang budaya Islami, kemungkinan ia sedang menerjemahkan berbagai bentuk budaya Islami dalam model budaya keacehan. Ia sedang melakukan “pribumisasi” atau “kontekstualisasi” terhadap budaya Islami yang ketika itu memang lebih dahulu berkembang di berbagai pelosok dunia.
Pendidikan
Pada masa awal kemerdekaan, tingkat pendidikan di Aceh masih sangat rendah. Hal itu memang telah disengaja oleh Belanda agar mereka lebih dapat berkuasa dan menjajah Aceh dalam waktu yang cukup lama. Ketika A. Hasjmy menjadi Gubernur Aceh banyak hal yang berhasil dilakukannya, termasuk dalam bidang pendidikan.
Kecintaan A. Hasjmy terhadap dunia pendidikan tidak dapat disangsikan lagi. Ia sangat mementingkan pendidikan dalam hidupnya. Bahkan, ia sering menasehati generasi muda agar memperhatikan pendidikan sebagai modal penting dalam hidup ini. Kecintaannya terhadap pendidikan tersebut dilukiskan dalam syairnya berikut ini:

Memetik bakti
Sungguh berat tanggungan pemuda
Pelindung umat harapan bangsa
Karena itu wahai pemudaku
Berkemaslah saudara siapkan diri
Penuhkan dadamu dengan ilmu
Ajarkan hati bercita tinggi

Biarkan kita miskin harta
Asal ruhani kaya raya
Janganlah saudara beriba hati
Karena papa tiada beruang
Apa guna kaya jasmani
Kalau jiwa bernasib malang

Ingatlah wahai pemudaku sayang
Bunda tiada mengharapkan uang
Beliau menanti sembahan suci
Dari puteranya pemuda baru
Mari saudaraku memetik bakti
Kita persembahkan kepada ibu
(Dewan Sajak, 1938)
Ketika menjabat sebagai gubernur, A. Hasjmy berpikir bahwa tugas atau program pokok pemerintahannya adalah meningkatkan pendidikan rakyat. Sebagai implementasi dari program ini, maka muncul apa yang disebut sebagai gerakan “Konsepsi Pendidikan Darussalam”. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk melahirkan manusia Pancasila yang berjiwa benar, berpengetahuan luas, dan berbudi luhur.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pada tahap awal direncanakan pembangunan pusat-pusat pendidikan pada:
  • Tiap-tiap ibukota kecamatan yang dinamakan Taman Pelajar, yang mencakup di dalamnya: Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, guru, asrama pelajar, dan sebagainya;
  • Tiap-tiap ibukota kabupaten yang dinamakan Perkampungan Pelajar, mencakup di dalamnya: Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, rumah guru, asrama pelajar, dan sebagainya;
  • Di ibukota Daerah Istimewa Aceh yang dinamakan Kota Pelajar/Mahasiswa Darussalam, mencakup di dalamnya: sekolah lanjutan atas dan berbagai lembaga pendidikan tinggi.
Dalam waktu yang relatif singkat, program pembangunan Kota Pelajar/Mahasiswa Darussalam atau yang lebih dikenal Kopelma Darussalam benar-benar terwujud. Di Aceh, berdiri dua universitas besar kenamaan, yaitu Universitas Syiah Kuala dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jami‘ah Ar-Raniry. Universitas yang pertama dikenal sebagai pusat pendidikan tinggi yang bersifat umum, sedangkan universitas yang kedua dikenal sebagai pusatnya kajian keagamaan, khususnya Islam.
Program pembangunan pendidikan tersebut masih dilanjutkan dan dikembangkan oleh generasi pasca-A. Hasjmy, bahkan hingga kini. Pembangunan sumberdaya manusia di Aceh telah mendapatkan dasar-dasar pemikirannya melalui para tokoh pembaharu pendidikan pada masa lalu, terutama melalui pembentukan sejumlah universitas di sana.
Dengan demikian, hasil pembangunan yang sekarang diraih merupakan buah dari pohon yang telah ditanam dalam kepemimpinan masa lalu. Dalam hal ini, A. Hasjmy ikut berkontribusi penting karena telah membuat Pola Dasar Pembangunan Lima Tahun yang pertama atau disebut dengan sebutan “Aceh Membangun”, yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 19/1962 tanggal 17 Januari 1962.
Landasan dari konsep “Aceh Membangun” adalah cita-cita dan kepribadian rakyat Aceh sebagaimana dinyatakan di dalam Piagam Pancacita. Penyusunan konsep ini dilakukan oleh sebuah komisi yang dibentuk secara resmi melalui keputusan Gubernur Kepala Daerah Aceh. Untuk mengimplementasikannya, maka pada setiap tahunnya konsep ini dijabarkan secara rinci sehingga menjadi jelas dalam proses pelaksanaannya.
A. Hasjmy pernah mengeluarkan Keputusan No. 90 Tahun 1960 yang menetapkan tanggal 2 September sebagai Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Hal itu dilakukan untuk memajukan pendidikan di Aceh. Dalam rangka Hari Pendidikan Daerah itu dibuatkan piala bergilir yang diperebutkan setiap tahunnya. Ketika itu juga diciptakan dua lagu mars, yaitu Mars Hari Pendidikan dan Mars Darussalam. Kedua lagu wajib itu harus dinyanyikan para murid sekolah dasar hingga perguruan tinggi di Daerah Istimewa Aceh.
Pasca-kepemimpinan A. Hasjmy, pembangunan pendidikan di Aceh masih terus berjalan dengan sistem yang terintegrasi secara baik. Generasi muda setelahnya dengan mudah meneruskan kegiatan-kegiatan pendidikan karena generasi sebelumnya telah memberikan panduan yang komprehensif tentang konsep pembangunan pendidikan.
Pada tanggal 13 Mei 1967, Gubernur Kepala Daerah Daerah Istimewa Aceh ketika itu melalui suratnya No. 27/1967 menetapkan bahwa tugas pengawasan dan pembangunan Kopelma Darussalam diserahkan kepada Yayasan Pembangunan Darussalam (YPD). Ketika itu, A. Hasjmy menjabat sebagai Ketua YPD. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan Kopelma Darussalam yang telah dirintis sejak tahun 1958 masih berjalan.
Kesusastraan
A. Hasjmy memberi kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia. Ia juga pernah membina cikal bakal pengembangan jurnalisme tanah air, terutama di Aceh, sejak sebelum Perang Dunia Kedua. Ia memulai kiprah dalam bidang penulisan sastra sejak usia 16 tahun. Sejak saat itu, ia aktif menulis prosa, roman, esai, puisi, dan karangan ilmiah.
A. Hasjmy merupakan pengamat teks Melayu klasik. Pada masanya, Aceh memang dikenal melahirkan banyak pengarang kesusastraan, baik dalam bahasa Aceh, bahasa Melayu, dan bahasa Arab. A. Hasjmy banyak menggunakan teks-teks dari ketiga bahasa itu untuk memperkuat bukti-bukti sejarah pada setiap karya yang ditulisnya. Di antara teks-teks yang dimaksud adalah Sufinat al-Hukkam, Hikayat Malem Dagang, Syarah Rubai Hamzah Fansuri, Idharul Haaq, Hikayat Putra Nurul A‘la, Hikayat Perang Sabi, Qanun al-Asyi, Hikayat Pocut Muhammad, dan lain-lain.
Perjuangan
Salah satu karya sastra A. Hasjmy yang menggunakan salah satu dari teks-teks tersebut adalah Hikayat Perang Sabil: Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda (Banda Aceh: Firma Pustaka Faraby, 1971).
Buku tersebut mendasari sepenuhnya pemikiran dan latar belakang sejarah dalam karya klasik Teungku Chik Pante Kulu, Hikayat Prang Sabi, yang ditulis pada masa penjajahan Belanda di bumi Aceh (1873-1888). Menurut sejumlah sumber, A. Hasjmy melakukan penambahan terhadap isi karya Teungku Chik Pante Kulu dan kemudian menerbitkannya ulang.
Syair-syair dalam buku A. Hasjmy itu pernah digunakan dalam sebuah tuntutan referedum mayarakat Aceh pada tanggal 8 November 1999. Sekitar dua juta masyarakat Aceh memadati Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Tidak henti-hentinya massa meneriakkan tuntutan referendum sembari membacakan syair-syair dalam buku A. Hasjmy tersebut.
A. Hasjmy dikenal sebagai sastrawan angkatan Pujangga Baru. Buku Hikayat Perang Sabil terkait dengan masa penjajahan Belanda. Pada bagian mukadimah buku ini terdapat puji-pujian kepada Allah SWT yang kemudian dilanjutkan dengan seruan untuk melakukan Perang Sabil. Disebutkan bahwa barangsiapa yang mau berjihad dalam perang sabil, maka akan mendapatkan pahala. Salah satu bentuk pahala yang dimaksud bahwa mereka akan bertemu dengan dara-dara dari surga.
Buku ini memuat empat kisah penting, yaitu Kisah Ainul Mardliyah, Kisah Pasukan Gajah, Kisah Said Salmy, dan Kisah Budak Mati Hidup Kembali. Di antara empat kisah ini, Kisah Pasukan Gajah merupakan satu-satunya kisah yang bersumber dari ajaran Islam. Inti dari keseluruhan kisah tersebut adalah memberikan pengertian kepada para pembaca bahwa berjuang atau berperang melawan musuh (penjajah Belanda) merupakan suatu ibadah dan kesyahidan yang akan mendatangkan pahala di akhirat kelak.
Kisah Ainul Mardliyah bercerita tentang penyambutan ratu bidadari surgawi bagi mereka yang mati syahid. Dikisahkan, ketika hendak berperang ada seorang pemuda bernama Muda Belia yang bermimpi bahwa dirinya di surga dan bertemu ratu bidadari surgawi bernama Ainul Mardliyah. Sang ratu menolak cinta pemuda itu karena yang hanya dicintainya adalah seseorang yang mau mati syahid. Maka, Muda Belia berperang melawan musuh-musuh hingga akhirnya ia mati syahid.
Kisah Pasukan Gajah bercerita tentang kegagalan serangan sebuah pasukan besar untuk menghancurkan Kabah di Mekkah pada tahun 570 M. Kerajaan Habsjah dan Kerajaan Parsia Majusi pernah menyerang Mekkah dengan pasukan berkendaraan gajah.
Namun, ternyata mereka justru diserang oleh suatu wabah penyakit yang menyebabkan pasukan tersebut kocar-kacir berlarian untuk menyelamatkan diri. Sedangkan Kisah Said Salmy dan Kisah Budak Mati Hidup Kembali sebenarnya sama saja dengan Kisah Ainul Mardliyah, yaitu tentang mati syahid dan pahala bagi yang melakukannya.
Berdasarkan paparan isi singkat buku Hikayat Perang Sabil, pemikiran A. Hasjmy terlihat bermuatan tentang pergerakan kepada masyarakat tanah air, terutama masyarakat Aceh untuk berjuang melawan penjajahan musuh, di antaranya Belanda. Maka, tidak aneh jika masyarakat Aceh yang menuntut referendum di Masjid Baiturrahman Banda Aceh membacakan syair-syair buku itu sebagai salah satu sumber kekuatan untuk menyemangati harapan dan perjuangan mereka.
Ada satu sajak karya A. Hasjmy yang menggambarkan betapa perjuangan melawan penindasan dan penjajahan Belanda perlu dilandasi dengan kesabaran dan ketabahan hati yang sangat kuat.

Sungguhpun godaan datang berpalun,
Setiap saat gelombang menyerang,
Namun imanku tidak kan goyang.

Biarpun cobaan datang beruntun,
Hatiku tetap bagai semula,
Rela badan jadi binasa.
Sajak di atas dibuat A. Hasjmy pada tahun 1936 yang menunjukkan betapa kegigihan dan ketabahan dirinya ketika masih muda. Ia merupakan salah satu tokoh puncak Aceh yang pernah melakukan perjuangan fisik bersama tokoh-tokoh lainnya dalam mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung dalam kesatuan laskar bersenjata Divisi Rencong.
Sastra Praksis
A. Hasymi memiliki perasaan iba terhadap nasib rakyat bawah. Hal itu diekspresikan dalam sejumlah sajak-sajak yang ditulisnya. Perasaan dan sentuhan emosionalnya dalam menangkap jeritan rakyat kecil di lingkungannya telah membangkitkan refleksi dirinya terhadap apa yang disebut sebagai sastra praksis (pembebasan). Ada salah satu sajaknya yang merefleksikan hal ini:

Beri Hamba sedekah, o toean,
Beloem makan dari pagi,
Tolonglah patik, wahai toean,
Setegoek air, sesoeap nasi.

Lihatlah, toean nasib kami,
Tiada sanak tiada saudara,
Pakaian di badan tidak terbeli,
Sepandjang djalan meminta-minta,
Lihatlah, toean, oentoeng kami,
Pondok tiada, hoema tiada,
Bermandi hoedjan, berpanas hari,
Di tengah djalan terloenta-loenta.

Boekan salah boenda mengandoeng,
Boeroek soeratan tangan sendiri,
Soedah nasib, soedah oentoeng,
Hidoep malang hari ke hari.

O, toean djangan kami ditjibirkan,
Djika sedekah tidak diberi,
Tjoekoep soedah sengsara badan,
Djangan lagi ditoesoek hati…
(Dewan Sajak, 1938)
Sajak di atas menunjukkan bahwa sejak muda A. Hasjmy tidak hanya menempatkan dirinya di barisan orang-orang penting, tetapi ia juga ikut merasakan bagaimana nasib rakyat jelata. Ia tidak mau terlena dengan kehidupan kaum elit yang memanjakan kesenangan dan kebahagiaan, namun tidak peka terhadap kondisi kemiskinan di sekelilingnya. Ia justru melihat bahwa isu-isu kemiskinan dan ketertindasan sebagai masalah yang harus segera dipecahkan.
Karya-karya A. Hasjmy sangat banyak, di antaranya sebagai berikut:
Karya di Bidang Sastra
  1. Kisah Seorang Pengembara (sajak), (Medan: Pustaka Islam, 1936)
  2. Sayap Terkulai (roman perjuangan), 1983, tidak terbit, naskahnya hilang di Balai Pustaka waktu pendudukan Jepang.
  3. Dewan Sajak (puisi), Medan: Centrale Courant, 1938.
  4. Bermandi Cahaya Bulan (roman pergerakan), Medan: Indische Drukkrij, 1939; Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
  5. Melalui Jalan Raya Dunia (roman masyarakat), Medan: Indische Drukkrij, 1939; Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
  6. Suara Azan dan Lonceng Gereja (roman antar agama), Medan: Syarikat Tapanuli, 1940; Jakarta: Bulan Bintang, 1978; Singapura: Pustaka Nasional, 1982.
  7. Cinta Mendaki (roman filsafat/perjuangan), naskah ini hilang pada Balai Pustaka, Jakarta pada saat pendudukan Jepang.
  8. Dewi Fajar (roman politik), Banda Aceh: Aceh Sinbun, 1943.
  9. Rindu Bahagia (kumpulan sajak dan cerpen), Banda Aceh: Pustaka Putro Cande, 1963.
  10. Jalan Kembali (sajak bernafaskan Islam), Banda Aceh: Pustaka Putro Cande, 1963 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Hafiz Arif (Harry Aveling).
  11. Semangat Kemerdekaan dalam Sajak Indonesia Baru (analisa sastra), Banda Aceh: Pustaka Putro Cande, 1963.
  12. Hikayat Perang Sabil: Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda, Banda Aceh: Firma Pustaka Faraby, 1971.
  13. Ruba‘i Hamzah Fansury, Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1974.
  14. Sumbangan Kesusasteraan Aceh dalam Pembinaan Kesusasteraan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
  15. Tanah Merah (roman perjuangan), Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
  16. Meurah Johan (roman sejarah Islam di Aceh), Jakarta: Bulan Bintang, 1950.
  17. Sastra dan Agama, Banda Aceh: BHA Mejelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, 1980.
  18. Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah, Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
  19. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
  20. Hikayat Pocut Muhammad dalam Analisa, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
  21. Kesasteraan Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
  22. Sejarah Kesusasteraan Islam Arab (tidak diterbitkan)
Karya di Bidang Sejarah dan Agama
  1. Kerajaan Saudi Arabia (riwayat perjalanan), Jakarta: Bulan Bintang, 1957.
  2. Pahlawan-pahlawan Islam yang Gugur (saduran dari bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1981, cet. IV; Singapura: Pustaka Nasional, 1971 dan 1982 (cet. IV).
  3. Sejarah Kebudayaan dan Tamaddun Islam, Banda Aceh: Lembaga Penerbit IAIN Jami‘ah Ar-Raniry, 1969.
  4. Yahudi Bangsa Terkutuk, Banda Aceh: Pustaka Faraby, 1970.
  5. Islam dan Ilmu Pengetahuan Moderen (terjemahan dari bahasa Arab), Singapura: Pustaka Nasional, 1972.
  6. Dustur Dakwah Menurut Al-Qur‘an, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 dan 1994 (cet. III).
  7. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 dan 1993 (cet. V).
  8. Cahaya Kebenaran (Terjemahan Al-Qur‘an, Juz Amma), Jakarta: Bulan Bintang, 1979; Singapura: Pustaka Nasional, tahun belum diketahui datanya.
  9. Iskandar Muda Meukuta Alam: Sejarah Hidup Sultan Iskandar Muda, Sultan Aceh Terbesar, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
  10. Surat-surat dari Penjara (catatan sewaktu ia dalam penjara berupa surat-surat kepada anak-anaknya kurun waktu tahun 1953-1954), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
  11. Peranan Islam dalam Perang Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
  12. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
  13. Langit dan Para Penghuninya (terjemahan dari bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
  14. Apa Sebab Al-Qur‘an tidak Bertentangan dengan Akal (terjemahan dari Bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
  15. Mengapa Ibadah Puasa Diwajibkan Akal (terjemahan dari Bahasa Arab), Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
  16. Mengapa Ummat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  17. Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang, Jakarta: Mutiara, 1978.
  18. Dakwah Islamiyah dan Kaitannya dengan Pembangunan Manusia, Jakarta: Mutiara, 1978.
  19. Pokok Pikiran Sekitar Dakwah Islamiyah, Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, 1981.
  20. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Ma‘arif, 1981.
  21. Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh di Nusantara, Surabaya, Bina Ilmu, 1984.
  22. Bernarkah Dakwah Islamiyah Bertugas Membangun Manusia, Bandung: Al-Ma‘arif, 1983.
  23. Publisistik dalam Islam, Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
  24. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
  25. Malam-malam Sepi di Rumah Sakit MMC Kuningan Jakarta, Banda Aceh: Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1992.
  26. Mimpi-mimpi Indah di Rumah Sakit MMC Kuningan Jakarta, Banda Aceh: Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1993.
  27. Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang (belum diketahui data penerbitnya).
Karya di Bidang Politik
  1. Di Mana Letaknya Negara Islam (tata negara Islam), Singapura: Pustaka Nasional, 1970; Surabaya: Bina Ilmu, tahun belum diketahui datanya.
  2.  Pemimpin dan Akhlaknya, Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh, 1973.
  3. Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda (berasal dari buku Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda, setelah ditambahkan dan disempurnakan), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  4. Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
  5. Perang Gerilya dan Pergerakan Politik di Aceh untuk Merebut Kemerdekaan Kembali, Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, 1980.
  6. Mengenang Kembali Perjuangan Missi Hardi, Bandung: Al-Ma‘arif, 1983.
  7. Ulama Indonesia sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamaddun Bangsa (belum diketahui data penerbitnya).
Karya di Bidang Hukum
  • Sejarah Hukum Islam, Banda Aceh: Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1970.
Karya di Bidang Etika
  • Risalah Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Karya di Media Massa
A. Hasjmy aktif menulis di berbagai majalah dan harian yang terbit di Banda Aceh, Medan, Padang Panjang, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Singapura, dan Malaysia. Berikut ini adalah daftar media massa yang pernah ditulisnya:
  • Sebelum Perang Dunia II: Pujangga Baru (Jakarta), Angkatan Baru (Surabaya), Pahlawan Muda (Padang), Kewajiban (Padang Panjang), Raya, Matahari Islam, Pemimpin Redaksi (Padang), Panji Islam, Pedoman Masyarakat, Gubahan Maya, Suluh Islam, Miami (Medan), Fajar Islam (Singapura),
  • Setelah Perang Dunia II: Dharma, Pahlawan, Widjaya, Bebas, Sinar Darussalam, Majalah Puwan, Gema Ar-Raniry, Serambi Indonesia (Banda Aceh), Nusa Putera, Karya Bakti, Majalah Amanah, Panji Masyarakat, Harmonis, Mimbar Ulama (Jakarta), Harian Waspada (Medan).
PenghargaanA. Hasjmy mendapatkan penghargaan Bintang Maha Putera Utama dari pemerintah Republik Indonesia yang langsung diserahkan oleh Presiden Soeharto pada saat upacara memperingati Hari Ulang Tahun RI ke-48 (tanggal 17 Agustus 1993). Pemerintah Mesir juga pernah menganugerahi bintang perhargaan tertinggi kepada A. Hasjmy yang langsung disematkan oleh Presiden Hosni Mubarak ketika itu.

Sumber Melayu Online,

0 Response to " Ali Hasjmy "

Posting Komentar