A. Pendahuluan
Kaidah-kaidah fiqih (Hukum Islam) merupakan hal yang penting dalam menentukan sebuah hukum. Kaidah-kaidah ini disusun oleh para ulama fiqih secara praktis disertai contoh-contoh untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami dan mengambil keputusan hukum dengan cepat dan tepat .
Diantara kaidah-kaidah hukum ini adalah kaidah-kaidah tentang kekuasaan/politik, di mana penulis akan memaparkannya pada makalah berikut ini.
B. Pembahasan
Seperti diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang kekuasaan. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi hukum tata negara, administrasi negara, hukum internasional dan hukum ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqh siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam ruang lingkup satu negara atau antarnegara atau dalam kebijakan ekonomi-ekonominya baik nasional maupun internasional.
Di bawah ini beberapa kaidah fiqih di bidang fiqh siyasah yang dianggap penting untuk diketahui:
1. Kaidah yang Pertama adalah:
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Yang dimaksud dengan rakyat disini adalah manusia secara umum yang hidup di bawah kekuasaan pemimpin tersebut. Dan yang dimaksud dengan pemimpin adalah adakalanya pemimpin umat Islam secara keseluruhan seperti para khalifah dan dinasti-dinasti yang sesudahnya dan ada kalanya pemimpin negeri-negeri Islam seperti sekarang ini. Adapun makna disini adalah bermakna muallaqun (terkait) atau murtabathun (terikat)
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam As-Syafi’i:
“Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”
Menurut beliau (imam Syafi’i), fatwa beliau berasal dari fatwa Umar bin Khattab ra yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur dari Abu Ahwash dari Abu Ishaq dari Barra bin ‘Azib yang berbunyi:
“ Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan aku mengambil dari padanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan aku menjauhinya”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keinginan keluarganya atau kelompoknya.
Secara umum sesungguhnya kaidah ini sudah termasuk dalam kandungan hadis Nabi:
“Masing-masing dari kamu adalah pengembala (pemimpin), dan tiap-tiap pengembala (pemimpin) dimintai pertanggung jawaban atas pengembalaanya (kepemimpinannya)”
Selain itu para ulama ada yang menyebutkan bahwa kaidah ini bersumber dari firman Allah SWT:
“Sesungguhnya aku akan menjadikan kamu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia; Ibrahim berkata’: dan keturunanku’; Allah berfirman: ‘janjiku tidak mengena pada orang-orang yang zhalim “
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut, yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan mamfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pembangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka lapangan kerja padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga lingkungan, mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan profesional, dan lain sebagainya.
2. Kaidah yang ke dua adalah:
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”
Kekuasaan umum adalah kekuasaan yang tidak dikhususkan dengan menguasai orang-orang tertentu, tetapi, kekuasaan yang menguasai seluruh orang dan kemaslahatan-kemaslahatan mereka, seperti khalifah misalnya. Sedangkan kekuasaan khusus adalah kekuasaan yang terikat dan dikhususkan dengan orang-orang tertentu seperti kewalian ayah terhadap anaknya.
Dalam fiqih siyasah, ada pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan. Pembagian kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam satu negara. Ada khalifah sebagai lembaga kekuasaan eksekutif (al-hai’ah al-tanfidziyah), ada lembaga legislatif atau ahl al-halli wa al-aqdi (al-hai’ah al-tasyri’iyah), dan lembaga yudikatif (al-hai’ah al-qadhaiyah), bahkan ada lembaga pengawasan (al-hai’ah al-muraqabah).
Maksud kaidah tersebut adalah pada sebagian masalah, lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaanya daripada lembaga yang umum. Sehingga lembaga umum tidak dapat bertindak langsung terhadap persoalan yang ada lembaga khususnya, selama penguasa khususnya masih ada dan berfungsi, seperti dalam Adagium, ada yang disebut lex specialis derogat legi generali (Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum)
Contohnya, kedudukan hukum dagang yang bersifat khusus terhadap hukum perdata yang bersifat umum atau wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama. sesuai dengan hadis Nabi saw:
Artinya:
“Barang siapa diantara perempuan yang nikah dengan tidak diijinkan oleh walinya maka nikahnya batal” (H. R. Turmuzhi)
Dalil di atas menunjukkan bahwa wali khusus (ayah) lebih kuat kekuasaanya atas wali umum, dan mengenai hal-hal lain yang bersifat kekuasaan diqiyaskan dengannya. Kecuali ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan bagi kemaslahatan kedua belah pihak.
Atau di contoh lain hakim tidak dapat membelanjakan harta anak yatim yang berada di bawah kekuasaan wali atau orang yang mendapatkan kepercayaan dari ayah anak kecil tersebut, sebab wali dan orang yang mendapatkan kepercayaan tadi adalah merupakan yang mempunyai kekuasaan khusus terhadap anak kecil tadi. 16 atau KPK misalnya, berwenang mengurus korupsi dari pada yang lainnya.
3. Kaidah yang ke tiga adalah:
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”
Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberikan alternatif pemecahan masalah. Tetapi, mencapai kesepakatan itu disenangi, setelah terjadi perbedaan pendapat agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali.
Dasar kaidah ini adalah Sabda Nabi saw:
“Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya” (Muttafaq alaih)
Menurut Tajudin as-Subky, kaidah ini berasal dari firman Allah:
“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa”
Dalam memutuskan suatu suatu masalah, hendaknya sang pemimpin mencari kesepakatan bersama untuk mencapai kemaslahatan umum, bahkan tidak terbatas hanya pada agama dan kehormatannya saja. Seperti pemimpin DPR misalnya, dalam memutuskan suatu kebijakan harus melalui kesepakatan bersama kalau kesepakatan tidak bisa dilakukan maka melalui voting, yang menunjukkan kesepakatan mayoritas.
4. Kaidah yang ke empat adalah:
“Tidak diterima di negeri muslim, pernyataan tidak tahu hukum”
Sudah barang tentu yang dimaksud tidak tahu hukum disini adalah hukum yang bersifat umum karena masyarakat semestinya mengetahui Dalam adagium Romawi juga berlaku “setiap orang dianggap tahu akan Undang-Undang” (iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare consetur= in dubio proreo) .
Menaati suatu peraturan atau hukum sendiri dalam sebuah negara merupakan sebuah keharusan bagi penduduknya, terutama menaati pemimpin negeri, selama pemimpin tersebut benar-benar menegakkan keadilan dan kebenaran. Allah SWT dalam firmannya mensinyalir hal demikian:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu” (Q. S. an-Nisa: 59)
Sementara itu dalam negeri Islam, baik muslim ataupun non muslim yakni orang-orang Dzimmy atau orang-orang yang hanya tinggal untuk sementara waktu di negeri muslim (musta’min), mereka juga harus mengetahui hukum-hukum yang harus berlaku bagi diri mereka masing-masing. Oleh sebab itu jika mereka melakukan perbuatan yang melawan hukum, maka kepada mereka itu dikenakan hukuman yang berlaku bagi mereka, di mana mereka tidak dapat mengadakan suatu pembelaan dengan mengajukan alasan belum mengetahui dengan hukum yang diberlakukan atasnya.
Misalnya apabila ada seorang dzimmy yang berbuat pidana, yakni mencuri. Karena ia berada dalam negeri Islam, maka baginya dikenakan pidana hukum potong tangan. Dalam hal ini yang berlaku baginya adalah sama dengan yang berlaku bagi muslim. Namun hal-hal lain tidak dapat disamakan dengan hal-hal yang berlaku bagi orang-orang Islam, seperti tidak diperlukan hukum yang bertalian dengan hal ibadah. Adapun dalam konteks kekinian, tidak ada alasan bagi para pengendara sepeda motor tidak mempunyai SIM dengan alasan tidak mengetahui kewajiban memilikinya, atau masyarakat yang tidak membayar pajak dengan alasan tidak tahu kewajibannya sebagai wajib pajak, atau wajibnya masyarakat yang berumur 17 tahun memiliki KTP karena sosialisasi mengenai hal ini sudah sering dilakukan dan masyarakat umumnya sudah mengetahuinya, dan lain sebagainya.
Tetapi kaidah ini ada pengecualian bagi penduduk yang tinggal jauh dari kota dan tidak ada sosialisasi tentang peraturan disana, atau karena ketidaktahuan masyarakat terhadap sebuah peraturan baru. Maka, pemerintah atau yang berwenang mungkin memberikan maaf atau memberikan keringanan baginya.
5. Kaidah yang ke lima adalah:
“ Perbuatan khiyanat itu tidak terbagi-bagi”
Apabila seseorang khiyanat terhadap salah satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka dia harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya. bukan hanya di bidang yang ia bekhianat tersebut.
Contohnya: seorang kepala daerah memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya, baik tentang keuangan, kepegawaian dan lain sebagainya. Apabila dia menyalahkan wewenangnya, misalnya, di bidang keuangan dengan melakukan korupsi, maka dia harus dihukum dan dipecat. Artinya, seluruh amanah lain yang dibebankan kepadanya, karena jabatannya itu menjadi lepas semuanya. Sebab melanggar salah satunya berarti melanggar keseluruhannya. Apalagi dalam sebuah hadis, Nabi menyamakan perilaku khianat ini sebagai sifatnya orang munafik, Rasulullah bersabda:
Artinya:
“Ada empat perkara yang apabila kesemuanya terdapat pada diri seseorang, maka orang itu adalah seorang munafik yang sesungguhnya. Dan barang siapa yang di dalam dirinya ada salah satu dari empat perkara tadi, maka ia dihinggapi oleh salah satu sifat kemunafikan sampai ia meninggalkan sifat tersebut, yaitu: apabila dipercaya berkhianat, apabila berbicara dusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila berselisih ia curang” (Muttafaq-„alaih).
6. Kaidah yang ke enam adalah:
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya”
Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah diambil tetapi dalam pelaksanaannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus ditinggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan, itulah yang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada.
Kaidah ini sesuai dengan Firman Allah SWT: “ Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Q. S. al-Baqarah: 286), dan Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan. (Q. S. al-Haj: 78). Begitu pula hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, an-Nasa’i dan Ahmad “hendaklah kamu permudah, jangan kamu persulit. Dan hendaklah kamu gembirakan, jangan kamu bikin mereka lari menjauhi.”
Contoh kaidah ini seperti dalam pemberantasan korupsi oleh KPK, tentu saja KPK tidak bisa memberantas korupsi semuanya, karena tidak semua kasus dapat dibongkar dan dicari buktinya. Maka KPK harus tetap menjalankan amanat presiden dalam memberantas korupsi walaupun hanya sebagiannya saja, sesuai dengan kasus dan bukti yang dapat ditemukan.
7. Kaidah yang ke tujuh adalah:
“ Seorang pemimpin itu salah dalam memberi maaf lebih baik dari pada salah dalam menghukum ”
Maksud kaidah tersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpin mengakibatkan kemudaratan kepada rakyat dan bawahannya. Apabila seorang pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan antara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah memberi maaf. Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya maka seorang pemimpin harus berani dan tegas mengambil keputusan. Karena kalau sampai keputusan yang dikeluarkan pemimpin salah, maka ketidak adilan akan terjadi disana. Kehati-hatian dalam mengambil keputusan ini senada dengan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:
Artinya:
“…Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa…” (Q. S. al-Maidah: 8)
Dan di dalam hadis Nabi bersabda:
Artinya:
“Tidaklah mereka memutuskan suatu perkara antara dua orang sedangkan dia dalam keadaan marah” .
8. Kaidah yang ke delapan adalah:
“Hukum asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian”
Ajaran Islam baik dalam hubungan antarmanusia, maupun antarnegara adalah perdamaian. Perang hanya dilakukan untuk mempertahankan diri dari agressor. Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya penyelesaian adalah perang. Perang itu dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, harus memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan kembali kepada perdamaian baik dengan cara penghentian sementara, perjanjian, atau dengan melalui lembaga arbitrase. Allah berfirman:
Artinya:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas” (Q. S. al-Baqarah: 190)
Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa, Islam tidak mengajarkan peperangan kecuali untuk membela diri.
9. Kaidah yang ke sembilan adalah:
“Setiap barang yang tidak sah dijualbelikan di negeri Islam maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi”
Negeri harbi adalah negara yang sedang berperang dengan negara Islam. Kaidah ini dipegang oleh mazhab Maliki dan Syafi’i. kaidah ini berkaitan dengan teori nasionalitas. Artinya, di mana pun berada, barang-barang yang haram tetap haram hukumnya. Jadi seorang muslim yang pergi ke luar negeri, tetap haram baginya makan daging babi, minum minuman yang memabukkan, melakukan hal-hal yang bersifat riba dan sebagainya. Selain itu, dia harus tetap shalat, puasa, memegang amanah, dan lain sebagainya. Sesuai dengan hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi:
Artinya:
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, dan ikutkanlah kejahatan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejahatan tersebut, dan berakhlaklah terhadap manusia dengan akhlak yang baik” (H. R. Turmuzhi)
Dari hadis di atas dapat kita pahami bahwa, dimana pun kita tinggal sekalipun di negeri harbi, kita tetap wajib melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Kecuali dalam hal darurat.
10. Kaidah yang ke sepuluh adalah:
“Setiap perjanjian dengan orang nonmuslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesama muslim”
Sesuai dengan firman Allah swt:
Artinya:
“…Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (terhadap mereka), berlaku adillah, karena (berlaku adil) itu lebih dekat kepada takwa…” (al-Maidah: 8)
Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian, atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan non muslim secara bilateral dan unilateral.
11. Kaidah yang ke sebelas adalah:
“Pungutan harus disertai dengan perlindungan”
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat, fae, rikaz, ma’dun, kharaj (pajak tanah bagi non muslim), wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkan apa yang dipungut tadi. Pemerintah tidak punya hak untuk memungut tanpa melindungi rakyatnya. Apabila tidak ada perlindungan dari pemerintah terhadap rakyatnya, maka pemerintah tidak berhak memungut apapun dari rakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindungan disini adalah rakyat harus dilindungi hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk di dalamnya menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang halal serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya. Kaidah ini sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis berikut:
1. Al-Qur'an :
Dalam al-Qur’an surat Yusuf (12): 66, Nabi Ya'kub berkata:
"Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku..."
Selanjutnya pada ayat 72 surat yang sama Allah SWT. berfirman:
"Penyeru-penyeru itu berkata "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."
2. Al-Sunnah :
Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?". Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: "Ya, dua dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah : "Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).
Dari dalil-dalil di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa apabila seseorang sudah melakukan penjaminan seperti membayar pajak misalnya. Maka dia berhak mendapat perlindungan dari pemerintah. Karena seperti yang kita lihat pada surah Yusuf, orang yang menyerahkan piala yang hilang saja bisa mendapatkan jaminan, atau pada hadis ketika ada yang menjamin hutang si mayyit maka Rasulullah pun menyalatkannya. Ini menunjukkan bahwa orang yang sudah membayar jaminan atas dirinya seperti pajak atau visa bagi turis wajib bagi pemerintah melindungi mereka.
12. Kaidah yang ke dua belas adalah :
“Bagi mereka ada hak-hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”
Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban di antara sesama warga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah, meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, budaya serta kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar warga negara muslim dan dzimmi. Mereka berkedudukan sama dengan di hadapan penguasa dan hukum. Sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi dalam surah al-Mumtahinah ayat 8-9:
Artinya:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil () Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka itu sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q. S. al-Mumtahanah: 8-9).
13. Kaidah yang ke tiga belas adalah :
“Didahulukan pada setiap kekuasaan, orang-orang yang lebih berani menegakkan hak-hak dan kemaslahatannya.
Misalnya, dalam mengangkat menteri, seorang pemimpin harus memilih orang yang ahli dalam bidangnya, cakap dalam memimpin dan mengetahui tugas dan kewajibannya. Jangan sampai mengangkat orang yang bukan ahlinya, karena hal yang demikian hanya akan mengakibatkan kekacauan dan menimbulkan kemudharatan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sesuai dengan hadis Rasulullah saw yang berbunyi:
“Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat (masa kehancurannya).” (HR. Bukhary).
14. Kaidah yang ke empat belas adalah :
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah haram atau dilarang kecuali ada dalil (bukti) yang menunjukkkan atas kebolehannya”
Maksud kaidah ini adalah hukum segala sesuatu pada dasarnya haram (tidak boleh) kecuali ada bukti yang menjadikannya berubah menjadi boleh. Kaidah ini adalah kaidah kehati-hatian karena itu seorang pemimpin harus berhati-hati dalam memberikan izin terhadap suatu hal, dan hukum asalnya tidak boleh kecuali setelah diperiksa dan diteliti tidak memudharatkan bagi masyarakatnya.
Seperti misalnya izin perusahaan tambang, pemerintah harus teliti sebelum memberi izin apakah memudharatkan bagi masyarakat atau tidak, kecuali setelah diteliti pertambangan itu aman bagi lingkungan dan masyarakat. Atau contoh lainnya memberi izin terhadap perusahaan makanan dan minuman, apakah makanan dan minuman yang akan diedarkan ke masyarakat itu sudah sesuai standar kesehatan dan tidak berbahaya. Karena apabila berbahaya maka yang paling dirugikan adalah masyarakat, seperti makanan dan minuman yang mengandung perwarna berbahaya, dan lain-lain. Idealnya pemerintah tidak sembarangan memberikan izin terhadap perusahaan-perusahaan sebelum diteliti kemudharatannya. Seperti yang ada di Perancis, pemerintah sana menggunakan kaidah ini, yaitu dengan tidak mengijinkan perusahaan-perusahaan, restoran-restoran dibuka kecuali setelah diuji dan diteliti apakah sudah sesuai dengan standar kesehatan dan lingkungan atau tidak.
15. Kaidah yang ke lima belas adalah :
“Tidak boleh bagi seseorang mempergunakan harta orang lain kecuali dengan izinnya.”
Contoh kaidah ini adalah seseorang/pemerintah tidak boleh menggunakan tanah orang lain untuk tujuan apapun kecuali atas izin dari pemilik tanah tersebut. Pemakaian tanah tanpa izin ini dilarang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960-LN 1960-158 Tantang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
16. Kaidah yang ke enam belas adalah :
“Perintah yang menyuruh untuk menggunakan harta orang lain adalah batal/tidak sah”
Contoh kaidah ini adalah apabila pemerintah memerintahkan kepada pegawainya untuk menggunakan tanah masyarakat untuk sesuatu apapun tanpa ada izin pemiliknya sama sekali, maka perintah tersebut tidak sah, dan seandainya pegawai yang diperintahkan tersebut tetap melakukannya, maka masyarakat berhak menuntut ganti rugi atau mengadukannya ke Pengadilan.
17. Kaidah yang ke tujuh belas adalah :
“Tidak boleh bagi seseorang mengambil harta orang lain tanpa ada sebab yang syar’i”.
Contoh kaidah ini adalah pemerintah tidak boleh semena-mena melakukan penggusuran terhadap rumah masyarakat yang memiliki surat-surat yang sah kecuali dengan alasan kebersihan dan menata kota. Itupun harus ada izin dari masyarakat setelah diberi dispensasi uang atau ganti rugi.
C. Penutup
Kaidah tentang kekuasaan ini mungkin masih ada kekurangan untuk menjadi standar atau acuan bagi pemerintah. Hal ini disebabkan karena kaidah-kaidah ini di buat beberapa abad yang lampau yang ketika itu masih zaman kerajaan. Ini menunjukkan bahwa kaidah-kaidah ini butuh tambahan dan penyempurnaan dan pintu ijtihad untuk menambah kaidah-kaidah yang sudah ada masih terbuka.
Kaidah-kaidah yang bisa penulis susun ini berjumlah 17 kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut mungkin ada pengecualiannya. Seandainya pemerintah bisa melaksanakan semuanya mungkin akan menjadikan Indonesia menjadi negara yang makmur, adil dan sejahtera.
Daftar Pustaka
Mudjib, Abdul, 2001, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, Kalam Mulia, Jakarta
Musbikin, Imam, 2001, Qawa’idal-Fiqhiyyah, RajaGrafindo, Jakarta
Http://khi/kaidah-hukum-islam.html
0 Response to " Kaidah-Kaidah Hukum Islam Tentang Politik/Kekuasaan "
Posting Komentar