Kesultanan Islam Lamuri
|
1. Sejarah
Data tentang
sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur. Data yang pernah
dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih bersifat spekulatif dan
tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana dan bersifat sementara karena
keterbatasan data yang diperoleh.
Secara umum,
data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti
yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India,
dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal,
seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang
keberadaan kesultanan ini.
Data tentang
lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang
ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut sebelah
barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli
sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri merupakan suatu
tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari
Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires,
letak Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah
Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas dari pantai hingga ke daerah
pedalaman.
Menurut T.
Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa kesultanan ini berada di tepi laut (pantai),
tepatnya berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh,
menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di Aceh Besar dekat dengan
Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya,
M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di dekat Kampung Lam
Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Berdasarkan
sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih
menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun
demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan
laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak
kesultanan ini berada di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu
bernama Bandar Lamuri. Kata “Lamuri”
sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya). Istana
Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di
Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.
Berdasarkan
sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri telah ada sejak
pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar
tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi
sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun
943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah kekuasaan
Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai kerajaan Islam
yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban untuk
mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga datang
melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.
Menurut
Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah diserang
oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada
akhirnya, Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah
memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut
mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti
sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti
Kerajaan Chola.
Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri
merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan
pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa
sekaligus oleh para pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt,
pada tahun 1416 M semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam.
Menurut sebuah historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan daerah kedua di
Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia mengislamkan
Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kesultanan
Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.
Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup
terkenal di Kesultanan Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah
moyang dari salah seorang sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan
Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat pemerintahan Kesultanan Lamuri
dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh) yang terletak
di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut dikarenakan adanya serangan dari
Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara sungai. Sejak saat itu, nama
Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama Kesultanan Makota Alam.
Dalam
perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri beserta
dengan Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir
(Pidie), Perlak, Benua Tamiang, dan Samudera Pasai bersatu menjadi
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah
(1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa Kesultanan
Lamuri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam.
Nama kesultanan ini berasal dari salah satu desa di Kabupaten Aceh Besar, yang
pusat pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.
2. Silsilah
(Masih dalam
proses pengumpulan data)
3. Periode Pemerintahan
Kesultanan
Lamuri berumur sekitar lebih dari 6 abad karena terhitung sejak tahun 900-an
hingga tahun 1513. Kesultanan ini berakhir setelah menyatu bersama dengan
beberapa kerajaan lain di Aceh ke dalam Kesultanan Aceh Darussalam.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah
kekuasaan Kesultanan Lamuri mencakup daerah yang kini dikenal sebagai wilayah
administratif Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
Indonesia.
5. Struktur Pemerintahan
Struktur
pemerintahan Kesultanan Lamuri tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan
yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena kedua kesultanan ini memiliki
pola pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam dan konsep maritim
(kelautan). Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri, sultan merupakan
penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu
seorang perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan
Laut (dengan gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah
Agama (atau disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab pada urusan
pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung komunikasi antara sultan
dan pedagang-pedagang dari luar).
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Kesultanan
Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di
kesultanan ini di samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil
perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari
luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud
berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak.
Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak
perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara
keseluruhan.
(HS/sej/36/12-07)
Sumber:
- “Kerajaan Lamuri”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Lamuri, diakses tanggal 15 Desember 2007.
- “PariwisataNangroeAcehDarussalam”,dalamhttp://www.tamanmini.com/anjungan/nad/pariwisata/kota_banda_aceh, diakses tanggal 15 Desember 2007.
- Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
- “Menapaki Sejarah Kota Banda Aceh”, dalam http://zainalbakri.multiply.com/journal?&page_start=60, diakses tanggal 15 Desember 2007.
Kerajaan Islam Jeumpa, Khilafah
Islam Pertama Nusantara
Latar Belakang (Menurut Teori, Data,
Penelitian dan Sejumlah Ahli Sejarah)
Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat
ini masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim
maupun non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada
teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi di
Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung
(i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab).
Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut
secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan
fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi
terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad
saw membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan
dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut
yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan
lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang
sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai
kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan
logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina
menuju Persia ataupun Arab.
Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti
Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti
kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah
asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur
Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja
dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan
Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan
inovasi minyak wangi mewahnya.
Sejak dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur
Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur
darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara
lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini,
yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang
sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai
dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India;
dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah,
dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut
antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah
Masehi.lv
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur
perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan
Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini
kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan
terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang
pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan
tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi
pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.lvi
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah
menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau
Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan
Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai,
termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan
yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini
dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan
Islam Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada
disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana
kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau
Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang
semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota
persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang
tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan
panjang.
Shahrianshah Salman Al-Farisi Pendiri Kerajaan Jeumpa Aceh (777
M)
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di
tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah
Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 777 Masehi yang berada
di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat
sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di
desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot
Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat
penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di
Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang
besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari
Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong
atau ke ”Pintoe Rayeuk” (Pintu Besar).
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang
dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao,
Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India
Belakang ) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin
dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri
Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi
ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805
Masehi.
Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar
pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan
gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil
dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja
Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan
Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad
saw atau keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah yang dikeluarkan
Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan. Namun menurut
pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk
keturunan Sayyidina Husein ra. Dikarenakan :
Beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas
menunjuk kepada moyangnya. Beliau mengawinkan anak perempuannya dengan
cucu Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini.
anak beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda
Khalifah, bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan
Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di
Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia.
Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda
Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai
bagian keluarga.
Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman Al-Parsi memilih
kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota
metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang
pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa
kemungkinan, Beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan
memutuskan tinggal di sana, Beliau merasa nyaman dan sesuai dengan
penguasa (meurah), Keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat
Barus, Lamuri dan lainnya dan Menghindar dari pandangan penguasa.
Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan
utama. Mengingat Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari
Parsia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang
didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an
Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau
Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat
banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia.
Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk
menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak
terlalu menyolok. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan
nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau
sebagai Abdullah.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa
berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan
Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman
Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan
besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya
Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah
satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir
utara pulau Sumatra.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas
hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik
di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina.
Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas
adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama
Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin,
kemenangan yang nyata.
Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah
mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat,
berhampiran dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu,
beliau mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli
yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau
mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak
pada tahun 804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi
kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang
dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang.
Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah
seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik,
cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama
Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi
Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana
Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara
Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang
strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan
yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat
pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam
Jeumpa menjadi kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang
mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama
dan pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda
Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel.
Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel.
Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya
kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat
dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan Kerajaan
Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan bagi para ulama
dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan data tentang masalah ini.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat
Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai
(1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap
memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan
beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan
bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal
dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan
bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang
terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah
seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa,
Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim.
Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan,
dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah,
Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali
Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir Majapahit
melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang
selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui
sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak
inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi
Kerajaan Islam Jeumpa Aceh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan
Islam Pasai yang telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam
menaklukkan dan mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan
mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam
di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya
berasal dari Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan
Jeumpa Acehlah yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
dengan strategi penaklukan lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali
Sembilan, yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun
Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi
tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah
ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan
atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun
peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah
keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan.
Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa
mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan
diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari
keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
Kesultanan
Islam Peureulak
1. Sejarah
Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia dipahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa datangnya Islam ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia. Teori Gujarat memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14. Teori ini biasanya banyak digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah seorang penganutnya, W.F. Stuterheim menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke nusantara pada abad ke-13 yang didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa.
Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia dipahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa datangnya Islam ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia. Teori Gujarat memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14. Teori ini biasanya banyak digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah seorang penganutnya, W.F. Stuterheim menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke nusantara pada abad ke-13 yang didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa.
Teori Persia
lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat
Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh misalnya kesamaan
konsep wahdatul wujud-nya Hamzah Fanshuri dengan
al-Hallaj. Sedangkan teori Arab berpandangan sebaliknya. T.W. Arnold, salah
seorang penganutnya berargumen bahwa para pedagang Arab yang mendominasi
perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus melakukan
penyebaran Islam di nusantara pada saat itu. Penganut teori ini lainnya, Naquib
al-Attas melihat bahwa bukti kedatangan Islam ke nusantara ditandai dengan
karaktek Islam yang khas, atau disebut dengan “teori umum tentang Islamisasi
nusantara” yang didasarkan pada literatur nusantara dan pandangan dunia Melayu.
Di samping tiga teori umum di atas, ada teori lain yang memandang bahwa
datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau yang disebut dengan teori
Cina.
Berdasarkan
paparan teori-teori di atas, dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia sejak abad 7 atau 8 M. Pada abad ke-13, Islam sudah berkembang pesat.
Menurut catatan A. Hasymi, Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama
di Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan
ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Negeri Aceh.
Nama Kesultanan Perlak sebagai
sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia kurang begitu dikenal
dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Namun demikian, nama Kesultanan
Perlak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1293.
a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan
Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses berdirinya
tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan
Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang
raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir
Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun 840
ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai Sumatera
yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang
sekaligus membawa sejumlah da‘i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan
Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak
meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara
sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan
bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin
Ja‘far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang merupakan adik dari
Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan
mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang
menjadi sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak
yang semula bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah
sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah
keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok
Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan
terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang
menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syi‘ah
datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia.
Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari
dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan
antara kelompok Syi‘ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi‘ah di Mesir mulai
terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan.
Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk
pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan
pengikut Syi‘ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai
informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu
dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu
kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh
Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu,
Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii, sehingga nama mereka
berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa
Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap pemikiran dan
pengikut Syi‘ah.
Aliran Sunni
mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3,
Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H
(913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan
kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok
Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari
aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4
(915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum
Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok
Sunni.
Kurun waktu
antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti.
Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin
Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara
kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan
kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan
kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin
oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman
(Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan
Berdaulat (986 – 1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu
kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan
Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil
dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan
semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya
menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada
Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun
1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum
ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua
aliran tersebut.
2. Silsilah
Sebelum
berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu
Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara
lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di
Kesultanan Pelak adalah sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin
Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin
Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum
Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum
Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
18. 18. Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah
dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli
(Syahir Nuwi).
3. Periode Pemerintahan
Sultan Perlak
ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat,
melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua
orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan
Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan
Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah
Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat
meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan
Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada
saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari
al-Malik al-Saleh.
4. Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan
Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan
sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah
aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh
Darussalam, Indonesia.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi,
Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus
untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari
Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para
pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini.
Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak
pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang
bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai
pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai
terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat
pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan
misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak
hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap
perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Sumber :
- Setiawan, Aji. 2006. “Islam Masuk ke Indonesia”, www.islamlib.com.
- Smith Alhadar, “Sejarah dan Tradisi Syiah Ternate”, www.fatimah.org.
- www.osdir.com.
- wikipedia.org.
Kesultanan
Samudera Pasai
Nisan Pasai
|
1. sejarah
Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1297 Masehi.
Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1297 Masehi.
Sejumlah ahli sejarah dan peneliti
dari Eropa pada masa pendudukan kolonial Hindia Belanda telah beberapa kali
melakukan penyelidikan untuk menguak asal-usul keberadaan salah satu kerajaan
terbesar di bumi Aceh ini. Beberapa sarjana dan peneliti dari Belanda, termasuk
Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer,
H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa Kesultanan Samudera
Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan
Malik Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, 2006:50).
Nama Malik Al Salih sendiri dikenal dengan sebutan dan penulisan yang berbeda,
antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau
Malik Ul Saleh.
a. Asal-Usul
Penamaan Samudera Pasai
Nama lengkap
Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang artinya “Kerajaan
Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin, 1961:116). Pusat
pemerintahan kerajaan tersebut sekarang sudah tidak ada lagi namun diperkirakan
lokasinya berada di sekitar negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah yang
dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang
disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah
Pulau Perca.
Sedangkan para
pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama “Chincou”,
yang artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui berdasarkan
tulisan-tulisan I‘tsing. Raja Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari yang
terkenal, menyebut daerah ini dengan nama Suwarnabhumi, yang artinya ternyata sama dengan apa yang disebut oleh orang-orang
Tiongkok, yakni “Pulau Emas”.
Kesultanan
Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara
Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Catatan
tertulis yang selama ini diyakini oleh para sejarawan untuk melacak sejarah
Kesultanan Samudera Pasai adalah tiga kitab historiografi Melayu yakni Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu, danHikayat
Raja Bakoy. Hikayat Raja Pasai memberikan andil yang cukup besar dalam
upaya menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai, meskipun nuansa mitos masih
menjadi kendala dalam menafsirkan kebenarannya.
Mengenai nama
“Samudera” dan “Pasai”, muncul sejumlah pendapat yang mencoba mengurai
asal-usul penggunaan kedua nama tersebut. Salah satunya adalah seperti yang
dikemukakan oleh sarjana Eropa, J.L. Moens, yang menyebut bahwa kata “Pasai”
berasal dari istilah “Parsi”. Menurut Moens, kaum pedagang yang datang dari
Persia mengucapkan kata “Pasai” dengan lafal “Pa‘Se”. Analisis Moens ini bisa
jadi berlaku, dengan catatan bahwa sejak abad ke-7 Masehi para saudagar yang
datang dari Persia sudah tiba dan singgah di daerah yang kemudian menjadi
tempat berdirinya Kesultanan Samudera Pasai (M.D. Mansoer, 1963:59).
Pendapat Moens
mendapat dukungan dari beberapa kalangan, termasuk Prof. Gabriel Ferrand,
melalui karyanya yang berjudul L‘Empire (1922), juga dalam buku The Golden Khersonese (1961) yang ditulis oleh Prof. Paul Wheatley. Kedua karya itu menyandarkan
data-datanya pada keterangan para pengelana dari Timur Tengah yang melakukan
perjalanan ke wilayah Asia Tenggara. Baik Gabriel Ferrand maupun Paul Wheatley
sama-sama menyepakati bahwa sejak abad ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan besar di
Asia Tenggara, termasuk di kawasan Selat Malaka, telah ramai dikunjungi oleh
kaum musafir dan para saudagar yang berasal dari Asia Barat. Disebutkan juga
bahwa pada setiap kota-kota dagang tersebut telah terdapat fondasi-fondasi atau
permukiman-permukiman dari para pedagang Islam yang singgah dan menetap di
situ.
H. Mohammad
Said, seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk
meneliti dan menerbitkan buku-buku hal ihwal Aceh, termasuk tentang Kesultanan
Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam, cenderung menyimpulkan bahwa
asal-muasal penamaan “Pasai” berasal dari para pedagang Cina. Menurut Said,
istilah “Po Se” yang populer digunakan pada pertengahan
abad ke-8 Masehi, seperti yang terdapat dalam catatan-catatan dan laporan perjalanan
pengelana dari Cina, identik dan mirip sekali dengan penyebutan kata “Pase”
atau “Pasai” (Said, 1963:2004-205).
Ada pula
pendapat yang menyebut bahwa nama “Pasai” berasal dari kata “tapasai”, yang artinya “tepi laut”. Kata “tapa” masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa Polinesia yang berarti “tepi”.
Kata “sai” dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga termasuk dalam kosa kata
Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai” adalah sinonim dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang juga berarti “tidak jauh dari laut”. Jadi, baik “Samudera” atau
“Pasai” mengandung arti yang kurang lebih sama, yaitu “negara yang terletak di
tepi laut” (Slamet Muljana, 2005:136).
Nama Samudera
dan Pasai sering disebut-sebut dalam berbagai sumber yang berhasil ditemukan,
baik sumber yang berasal dari luar maupun sumber-sumber lokal. Sumber-sumber
dari luar nusantara yang kerap menyebut keberadaan wilayah yang bernama
Samudera dan Pasai antara lain adalah laporan atau catatan perjalanan para
musafir asal Cina, Arab, India, maupun Eropa, yang pernah singgah ke wilayah
Samudera Pasai. Catatan-catatan perjalanan tersebut seperti yang ditulis oleh
Marco Polo, Odorico, Ibnu Batutah, Tome Pires, serta berita-berita dari Cina. Sedangkan sumber dari dalam negeri salah satunya seperti yang termaktub
dalam kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis dalam kurun abad ke-13 sampai abad ke-14
Masehi.
Ibnu Batutah,
seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya, dalam catatannya
mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M. Ibnu Batutah, yang
singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan Kesultanan Samudera Pasai
sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan
indah.‘‘ Ibnu Batutah menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia melihat
kapal Sultan Pasai di negeri itu. Memang, sumber-sumber Cina ada yang
menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan
upeti.
Catatan pada
Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra, termasuk Kerajaan
Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan Mongol yang berada di
bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai mulai mengadakan hubungan
dengan Dinasti Mongol pada 1282. Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan
dengan imperium besar di Asia itu melalui perutusan Cina yang kembali dari
India Selatan dan singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai
permulaan kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol (Muhammad Gade
Ismail, 1997:23).
|
Informasi lain
juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan utusan ke
Quilon, India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Pasai
memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri.
Selain itu, dalam catatan perjalanan berjudul Tuhfat Al-Nazha, Ibnu Batutah menuturkan, pada masa
itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Pencatat asal
Portugis yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi Pires, menyebutkan
bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh Sumatra, karena
tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu kecuali Pasai. Nama kota
tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai Samudera dan kemudian lekat dengan
nama Samudera Pasai serta menjadi simbol untuk menyebut Pulau Sumatra. Kota
Pasai, menurut catatan Tomi Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari
20.000 orang (Ismail, 1997:37).
Marco Polo
melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di kepulauan
nusantara, yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo berkunjung ke
Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih, tepatnya tahun 1292 Masehi,
ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun sudah memperlihatkan potensi
kemakmurannya. Marco Polo singgah ke Samudera Pasai dalam rangkaian
perjalanannya dari Tiongkok ke Persia. Kala itu, Marco Polo ikut dalam
rombongan dari Italia yang melawat ke Sumatra sepulang menghadiri undangan dari
Kubilai Khan, Raja Mongol, yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo
menyebutkan, penduduk di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk
agama (Islam), namun komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama Saraceen— sudah cukup banyak dan berperan penting
dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh. Marco Polo menyebut kawasan yang
disinggahinya itu dengan nama “Giava Minor” atau “Jawa Minor” (H. Mohammad
Said, 1963:82-83).
Selain
sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana, keterangan
lain yang setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak riwayat Kesultanan
Samudera Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan, seperti
makam-makam kuno yang dibuat dari batu granit atau pualam dan mata uang—bernama Deureuham atau Dirham— yang ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara,
Nanggroe Aceh Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri
Kesultanan Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera
pada sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau bertepatan
dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih dilahirkan belum
ditemukan keterangan yang lebih jelas.
Sumber-sumber tentang asal-muasal Kesultanan Samudera Pasai versi sarjana-sarjana Barat yang dirumuskan pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda ternyata berbeda dengan apa yang diyakini tokoh-tokoh sejarawan dan cendekiawan nasional pada masa setelah Indonesia merdeka. Dalam “Seminar Sejarah Nasional” yang diselenggarakan di Medan, Sumatra Utara, tanggal 17-20 Maret 1963, maupun dalam seminar "Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh", yang digelar pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang antara lain dihadiri oleh Prof Hamka, Prof A. Hasjmy, Prof H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M.D. Mansoer, telah dimunculkan perspektif yang berbeda dalam upaya menelisik riwayat berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. |
Berdasarkan
sejumlah petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari
keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara serta dua naskah
lokal yang ditemukan di Aceh yakni "Idhahul Hak Fi Mamlakatil
Peureula" karya Abu Ishaq Al Makarany dan "Tawarich Raja-Raja
Kerajaan Aceh", para pakar sejarah nasional berkesimpulan bahwa Kerajaan
Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke-11, atau tepatnya tahun 433
Hijriah alias tahun 1042 dalam penanggalan Masehi (Sufi & Wibowo, 2005:52).
Mengenai lokasi
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai, telah dilakukan juga usaha-usaha
penelitian dan penyelidikan, salah satunya upaya penggalian yang dikerjakan
oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dari upaya penyelidikan ini diketahui bahwa lokasi Kesultanan Samudera Pasai
terletak di daerah bernama Pasai, yakni yang sekarang berada di wilayah
Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Menurut G.P. Rouffaer, salah seorang
sarjana Belanda yang serius menyelidiki tentang sejarah Kesultanan Samudera
Pasai, mengatakan bahwa letak Pasai mula-mula berada di sebelah kanan Sungai
Pasai, sementara Samudera terletak di sisi kiri sungai. Namun, lama-kelamaan,
kedua tempat ini terhimpun menjadi satu dan kemudian dijadikan tempat
berdirinya sebuah kerajaan besar, yakni Kesultanan Samudera Pasai (T. Ibrahim
Alfian, 1973:21).
b. Samudera,
Pasai, dan Pengaruh Mesir
Terdapat
beberapa pendapat berbeda yang merumuskan serta menafsirkan tentang asal muasal
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. Salah satunya adalah pendapat yang
mengatakan bahwa Kesultanan Samudera Pasai merupakan kelanjutan dari riwayat
kerajaan-kerajaan pra Islam yang telah eksis sebelumnya. Dalam buku berjudul
“Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”,
Slamet Muljana menulis bahwa Nazimuddin Al Kamil, Laksamana Laut dari Dinasti
Fathimiah di Mesir, berhasil menaklukkan sejumlah kerajaan Hindu/Buddha yang
terdapat di Aceh dan berhasil menguasai daerah subur yang dikenal dengan nama
Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai
Pasai itu pada 1128 Masehi dengan nama Kerajaan Pasai. Alasan Dinasti Fathimiah
mendirikan pemerintahan di Pasai didasarkan atas keinginan untuk menguasai
perdagangan di wilayah pantai timur Sumatra yang memang sangat ramai.
Untuk
memuluskan ambisi itu, Dinasti Fathimiah mengerahkan armada perangnya demi
merebut Kota Kambayat di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai, dan
menyerang daerah penghasil lada yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri di
Minangkabau. Dalam ekspedisi militer untuk merebut daerah di Minangkabau itu,
Nazimuddin Al-Kamil gugur dan jenazahnya dikuburkan di Bangkinang, di tepi
Sungai Kampar Kanan pada 1128 itu juga (Muljana, 2005:133). Pada 1168, Dinasti
Fathimiah, yang berdiri sejak tahun 976 Masehi, dikalahkan oleh tentara
Salahuddin yang menganut madzhab Syafi‘i. Dengan runtuhnya Dinasti Fathimiah,
maka hubungan Pasai dengan Mesir otomatis terputus.
Dalam sumber
yang sama disebutkan bahwa penerus Nazimuddin Al-Kamil sebagai penguasa
Kerajaan Samudera adalah Laksamana Kafrawi Al-Kamil, namun pada 1204 Masehi
kekuasaan Kerajaan Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan Jani dari Pulau We. Di
bawah kendali Laksamana Johan Jani yang merupakan peranakan India-Parsi,
Kerajaan Pasai bertambah kuat dan sempat menjelma menjadi negara maritim yang
paling kuat di Nusantara (Muljana, 2005:114).
Di Mesir,
muncul dinasti baru untuk menggantikan Dinasti Fathimiah. Dinasti baru itu
adalah Dinasti Mamaluk yang hidup dalam rentang waktu dari tahun 1285 sampai
dengan 1522. Seperti halnya pendahulunya, Dinasti Mamaluk juga ingin menguasai
perdagangan di Pasai. Pada tahun-tahun awal berdirinya, Dinasti Mamaluk
mengirim utusan ke Pasai, yakni seorang pendakwah yang lama belajar agama Islam
di tanah suci Mekkah bernama Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad, bekas ulama dari
Pantai Barat India.
Di Pasai, kedua utusan ini bertemu
dengan Marah Silu yang kala itu menjadi anggota angkatan perang Kerajaan Pasai.
Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad berhasil membujuk Marah Silu untuk memeluk
agama Islam. Selanjutnya, dengan bantuan Dinasti Mamaluk di Mesir, mereka
mendirikan Kerajaan Samudera sebagai tandingan bagi Kerajaan Pasai. Marah Silu
ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Samudera. Baik Kerajaan Samudera maupun
Kerajaan Pasai, keduanya berada di muara Sungai Pasai dan menghadap ke arah
Selat Malaka.
c. Riwayat
Samudera Pasai dalam Hikayat
Versi lain
tentang riwayat muncul dan berkembangnya Kesultanan Samudera Pasai diperoleh
dari sejumlah hikayat yang mengisahkan eksistensi kerajaan ini, terutama dalam Hikayat Raja Pasai. Menurut pengisahan yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai, kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Malik Al
Salih mula-mula bernama Kerajaan Samudera. Adapun Kerajaan Pasai adalah satu
pemerintahan baru yang menyusul kemudian dan mengiringi eksistensi Kerajaan
Samudera. Asal mula pemberian nama kedua kerajaan ini terdapat cerita yang
melatarbelakanginya.
Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, munculnya nama Kerajaan
Samudera bermula ketika Marah Silu sedang berjalan-jalan bersama anjing
kesayangannya yang bernama Pasai. Ketika mereka tiba di suatu tanah tinggi,
anjing milik Marah Silu tiba-tiba menyalak keras karena bertemu dengan seekor
semut merah yang berukuran besar. Marah Silu kemudian menangkap semut raksasa
tersebut dan lantas memakannya. Dari sini timbul ilhamnya untuk menamakan
kerajaan yang baru didirikannya dengan nama Kerajaan Samudera yang dalam bahasa
asalnya bisa diartikan sebagai “semut merah yang besar”.
Salinan Halaman Pertama Hikayat Raja Pasai
|
Sedangkan
mengenai asal mula Kerajaan Pasai, hikayat yang sama mencatat, pada suatu hari,
Marah Silu yang kala itu sudah bergelar Sultan Malik Al Salih setelah memimpin
Kerajaan Samudera, bersama para pengawalnya sedang melakukan kegiatan perburuan
di mana anjing sultan yang bernama Pasai itu pun ikut serta. Terjadi suatu
kejadian yang aneh ketika Pasai dilepaskan ke dalam hutan dan bertemu dengan
seekor pelanduk, kedua binatang berbeda spesies itu saling bercakap-cakap
dengan akrabnya. Ketika Sultan Malik Al Salih hendak menangkapnya, pelanduk
tersebut lari ke pelukan anjing Sultan yang bernama Pasai itu. Dalam
keheranannya, Sultan Malik Al Salih kemudian berpikiran untuk membangun sebuah
negeri di tempat itu.
Setelah negeri
tersebut berdiri, oleh Sultan Malik Al Salih diberi nama Pasai, seperti nama
anjing kesayangannya yang menjadi inspirasi dibangunnya negeri baru tersebut.
Anjing itu sendiri kemudian mati di negeri baru tersebut. Sebagai wakil Sultan
Malik Al Salih yang tetap bersemayam di Kerajaan Samudera, maka dititahkanlah
putra Sultan yang bernama Muhammad Malikul Zahir untuk memimpin Kerajaan Pasai
(Russel Jones [ed.], 1999:23).
Meskipun cukup
banyak peneliti yang menyandarkan Hikayat Raja Pasai sebagai landasan sumber informasi untuk menguak sejarah dan asal-usul
Kesultanan Samudera Pasai, namun tidak sedikit pula yang meragukan kebenarannya.
Hal ini disebabkan karena hikayat bukanlah suatu rangkaian catatan sejarah
murni, melainkan banyak yang disisipi dengan cerita-cerita yang belum tentu
benar-benar terjadi, malah tidak jarang kisah-kisah itu berupa mitos yang sukar
diterima logika, sebagai legitimasi pemerintahan kerajaan yang ada pada masa
itu.
Keraguan atas kebenaran yang
terdapat dalam Hikayat Raja Pasai tersebut antara lain seperti yang
dikemukakan oleh A.D. Hill yang menyatakan bahwa dari teks Hikayat Raja Pasai ternyata hanya sepertiga bagian awal saja.
Demikian pula dengan Teuku Ibrahim Alfian yang karena kecewa terhadap Hikayat Raja Pasai dalam menyebutkan data sejarah, maka ia
terpaksa mengambil informasi dari sumber-sumber lain. Bahkan, Snouck Hugronje
pernah menyebut bahwa Hikayat Raja Pasai adalah “a chlidren fairy story”. Pernyataan
pedas Hugronje ini tampaknya merupakan suatu puncak kefatalan Hikayat Raja Pasai sebagai sumber informasi terhadap sejarah.
Data tersebut menujukkan bahwa selama ini karya-karya tulis tersebut telah
dilihat dalam dimensi pragmatis lewat kajian historis atau pun filologis (Siti
Chamamah Soeratno, 2002:36).
d. Perjalanan
Eksistensi Samudera Pasai
Sebelum memeluk
agama Islam, nama asli Malik Al Salih adalah Marah Silu atau Meurah Silo.
“Meurah” adalah panggilan kehormatan untuk orang yang ditinggikan derajatnya,
sementara “Silo” dapat dimaknai sebagai silau atau gemerlap. Marah Silu adalah
keturunan dari Suku Imam Empat atau yang sering disebut dengan Sukee Imuem
Peuet, yakni sebutan untuk keturunan empat Maharaja/Meurah bersaudara yang
berasal dari Mon Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama
kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum masuk dan berkembangnya agama Islam.
Leluhur yang
mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Aceh tersebut di antaranya adalah
Maharaja Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh
Timur, Syahir Tanwi yang mengibarkan bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di
Peusangan (Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang menegakkan panji-panji
Kerajaan Sama Indra di Pidie, serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya
Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan bahwa Marah Silu berayahkan
Marah Gadjah dan ibunya adalah Putri Betung. Marah Silu memiliki seorang
saudara laki-laki bernama Marah Sum. Sepeninggal orang tuanya, dua bersaudara
ini meninggalkan kediamannya dan mulai hidup mengembara. Marah Sum kemudian
menjadi penguasa di wilayah Bieruen, sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu
Sungai Peusangan yang terletak tidak jauh dari muara Sungai Pasai hingga
akhirnya ia menjadi pemegang tahta Kerajaan Samudera.
Batu Nisan Sultan Malik Al Salih
|
Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, Marah Silu alias Sultan Malik Al Salih memeluk
Islam atas bujukan utusan Dinasti Mamaluk dari Mesir, yakni Syaikh Ismail dan
Fakir Muhammad. Keislaman Marah Silu ditegaskan kembali dalam Hikayat Raja Pasai dengan memberikan catatan bahwa Nabi
Muhammad telah menyebutkan nama Kerajaan Samudera dan juga agar penduduk di
kerajaan tersebut diislamkan oleh salah seorang sahabat Nabi, dalam hal ini
yang dimaksud adalah Syaikh Ismail. Dengan adanya catatan dari hikayat ini,
bukan tidak mungkin ajaran agama Islam sudah masuk ke wilayah Aceh tidak lama
setelah Nabi Muhammad wafat, yakni pada sekitar abad pertama tahun Hijriah,
atau sekitar abad ke-7 atau ke-8 tahun Masehi. Dapat diperkirakan pula bahwa
agama Islam yang masuk ke Aceh dibawa langsung dari Mekkah (Sufi & Wibowo,
2005:58-59).
Data-data
tentang Islam di Pasai menurut Hikayat Raja Pasai menunjukkan bahwa Pasai adalah tempat pertama kali yang diislamkan.
Tampaknya, demikian seperti yang ditulis dalam Hikayat Raja Pasai, Nabi Muhammad
(Rasulullah) pulalah yang membawa Islam ke Samudera/Pasai, ialah dalam tatap
muka di kala tidur antara Marah Silu dengan Rasulullah. Nabi Muhammad pula yang
mensyahdatkan dan membuat Marah Silu dapat membaca Alquran sebanyak 30 juz,
yakni sesudah Rasulullah meludahi mulut Marah Silu. Rasulullah pula yang
membuat Marah Silu telah berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung Rasulullah
kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Pasai. Dalam proses inilah Marah
Silu tinggal dinobatkan sehingga proses Islamisasi dapat berjalan dengan lancar
(Chamamah, 2002:40).
Ketika Malik Al
Salih dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Samudera pertama, upacara penobatan
dilakukan dengan gaya Arab di mana Malik Al Salih dinobatkan dengan mengenakan
pakaian kerajaan anugerah dari Mekkah. Ini berarti, penobatan dilakukan secara
Arab, bukan dengan cara India. Artinya lagi, Malik Al Salih kemungkinan besar
sudah memeluk agama Islam pada saat dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan
Samudera. Setelah upacara penobatan, sekalian hulubalang dan rakyat serta-merta
menjunjung dan menyembah sultan baru mereka dengan menyerukan: “Daulat
Dirgahayu Syah Alam Zilluilahi fil-alam”. Penyebutan gelar kehormatan kepada
raja tersebut juga sangat lekat dengan nama Arab.
Dalam rangkaian
upacara yang sama, juga telah ditetapkan dua Orang Besar, sebagai penasehat
Sultan, yakni Tun Sri Kaya dan Tun Sri Baba Kaya. Aroma Islam semakin terasa
ketika kedua Orang Besar ini kemudian diberi gelar berkesan Arab, masing-masing
dengan nama Sayid Ali Khiatuddin untuk Tun Sri Kaya dan Sayid Asmayuddin untuk
Tun Sri Baba Kaya (Said, 1963:85).
Sultan Malik Al
Salih menikah dengan Putri Ganggang Sari, keturunan Sultan Aladdin Muhammad
Amin bin Abdul Kadi dari Kerajaan Perlak. Dari perkawinan ini, Sultan Malik Al
Salih dikaruniai dua orang putra, yaitu Muhammad dan Abdullah. Kelak, Muhammad
dipercaya untuk memimpin Kerajaan Pasai, bergelar Sultan Muhammad Malikul Zahir
(Sultan Malik Al Tahir), berdampingan dengan ayahandanya yang masih tegap
memimpin Kerajaan Samudera. Putra kedua Sultan Malik Al Salih, Abdullah,
memilih keluar dari keluarga besar Kerajaan Samudera dan Pasai, dengan mendirikan
pemerintahan sendiri Kesultanan Aru Barumun pada 1295.
Di bawah
pimpinan Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai mengalami masa kejayaan.
Ibnu Batutah merekam masa-masa keemasan yang dicapai Kerajaan Pasai pada era
pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir ini. Ibnu Batutah mencatat bahwa
tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu subur. Aktivitas perdagangan dan
bisnis di kerajaan itu sudah cukup maju, dibuktikan dengan sudah digunakannya
mata uang, termasuk mata uang yang terbuat dari emas, sebagai alat transaksi
dalam kehidupan ekonomi warga Kerajaan Pasai. Selain menjalin kongsi dengan
negara-negara dari luar Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang
dari Pulau Jawa pun begitu baik. Bahkan, para saudagar Jawa mendapat perlakuan
yang istimewa karena mereka tidak dipungut pajak. Biasanya, kaum pedagang dari
Jawa menukar beras dengan lada.
|
Ibnu Batutah
mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk
wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah
tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai.
Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi
dinding yang megah. Ibnu Batutah mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat
mil dengan naik kuda dari pelabuhan yang disebutnya Sahra untuk sampai ke pusat kota. Pusat pemerintahan kota itu cukup besar dan
indah serta dilengkapi dengan menara-menari yang terbuat dari kayu-kayuan kokoh.
Di pusat kota ini, tulis Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa
dan bangsawan kerajaan. Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan dan masjid
(Ismail, 1997:37).
Di dalam pagar
yang mengelilingi kota, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan
kerajaan yang dilindungi oleh rakyat di luar pagar. Semua kehidupan komersial
di kota, para pendatang baru dari desa, orang-orang asing, para pengrajin, dan
segala aktivitas urban lainnya ditempatkan di luar pagar di sekeliling pusat
kota. Orang-orang asing seringkali tidak diizinkan menetap dalam jarak tertentu
dari Istana Sultan, bahkan adakalanya mereka harus tinggal di luar kota.
Apabila
penjelasan dari Ibnu Batutah ini dianggap benar, maka dapatlah dikatakan bahwa
Kota Pasai sebagai pusat pemerintahan sultan-sultan yang berkuasa di Pasai,
pada tengah-tengah areal terdapat suatu daerah inti yang ditempati oleh Istana
Sultan. Istana tersebut memiliki pagar yang berfungsi sebagai batas yang
membedakan kawasan Istana Sultan dengan kawasan pasar di mana aktivitas
perdagangan dan kegiatan lainnya berlangsung.
Masih menurut
catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan sosok pemimpin
yang memiliki gairah belajar yang tinggi dalam menuntut ilmu-ilmu Islam.
Batutah juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan
menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Ibnu Batutah bahkan
memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari tujuh
raja di dunia yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki
kemampuan luar biasa menurut Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan
Muhammad Malikul Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam,
Raja Romawi yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang
sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa,
serta Raja Turkistan yang bijaksana.
Kesan Ibnu
Batutah terhadap sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir memang begitu mendalam.
Sebagai raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang yang sangat saleh,
pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian terhadap fakir miskin. Meskipun
ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Sultan Muhammad Malikul Zahir tidak
pernah bersikap jumawa. Sultan ini, kata Batutah, adalah seorang pemimpin yang
sangat mengedepankan hukum Islam. “Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat
ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan
rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” begitu Ibnu
Batutah menggambarkan sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir. Kerendahan hati sang
Sultan tersebut salah satunya ditunjukkan saat menyambut rombongan Ibnu Batutah
(Republika, 21 Mei 2008).
Di masa
keemasannya, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Samudera menjelma menjadi pusat perdagangan
internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi para
pedagang dan saudagar dari berbagai benua seperti, Asia, Afrika, Cina, dan
Eropa. Wilayah di mana Kerajaan Samudera dan Pasai berdiri, yakni di kawasan
Selat Malaka, memang merupakan bandar niaga yang sangat strategis. Pada saat
itu, kawasan Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang sering menjadi
lokasi transaksi dan disinggahi para saudagar dari berbagai penjuru bumi,
seperti dari Siam (Thailand), Cina, India, Arab, hingga Persia (Iran).
Di samping
sebagai pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga merupakan pusat
perkembangan agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan pertama di Nusantara
yang menganut ajaran Islam. Kejayaan Kesultanan Samudera dan Kesultanan Pasai
yang berlokasi di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan
sejumlah kerajaan kecil di daerah Perlak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang.
Dalam kurun abad ke-13 hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah
penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu
komoditas andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan
produksi yang cukup besar. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas
lainnya seperti sutra, kapur barus, dan emas.
Sultan Muhammad
Malikul Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud dan Malikul
Mansur. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya meninggal dunia
karena sakit, tampuk kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk sementara diserahkan
Sultan Malik Al Salih, yang juga memimpin Kerajaan Samudera, karena kedua putra
Sultan Muhammad Malikul Zahir masih berusia sangat belia. Oleh Sultan Malik Al
Salih, kedua cucunya itu diserahkan kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya
mereka dapat dengan baik memimpin kerajaan pada suatu saat nanti. Malikul
Mahmud diserahkan kepada Sayid Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur dididik
oleh Sayid Semayamuddin.
Ketika kedua
pangeran ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap memimpin pemerintahan, maka
Sultan Malik Al Salih pun mengundurkan diri dari singgasananya yang meliputi
dua kerajaan, yakni Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai. Sebagai gantinya,
sesuai dengan kesepakatan Orang-Orang Besar, diangkatlah Malikul Mahmud menjadi
Sultan Kerajaan Pasai, sementara Malikul Mansur sebagai Sultan Kerajaan
Samudera. Namun, keharmonisan kedua sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung
lama karena terjadi perseteruan di antara mereka. Penyebabnya adalah ulah
Sultan Mansur yang ternyata menggilai salah seorang istri Sultan Mahmud yang tidak
lain adalah abang kandungnya sendiri. Pada akhirnya, Sultan Mansur ditangkap
dan diusir dari kerajaannya hingga kemudian meninggal dunia dalam perjalanan.
Jadilah Sultan Malikul Mahmud menguasai singgasana Kerajaan Samudera dan
Kerajaan Pasai hingga digabungkanlah kedua kerajaan itu menjadi Kesultanan
Samudera Pasai.
Sejak tahun
1346, kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim Sultan Malikul
Mahmud digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Permadala Permala. Setelah
dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Samudera Pasai, ia kemudian dianugerahi
gelar kehormatan dengan nama Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir
dikaruniai lima orang anak, tiga orang di antaranya laki-laki sementara dua sisanya
adalah anak perempuan. Tiga putra Sultan Ahmad Malik Az-Zahir masing-masing
bernama Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil, serta Tun Abdul Fadil. Sedangkan dua
anak perempuannya diberi nama Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara.
Sempat terjadi
hal yang sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir yang pada akhirnya memang lekat dengan citra sebagai pemimpin yang
buruk. Menurut Hikayat Raja Pasai, Sang Sultan
ternyata menaruh berahi terhadap kedua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun
Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Sikap yang keterlaluan dari Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir ini tentu saja menimbulkan kemurkaan dari banyak pihak, termasuk Tun
Beraim Bapa yang tidak lain adalah putra sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.
Tun Beraim Bapa
sekuat tenaga melindungi kedua saudara perempuannya dari kebuasan Sultan Ahmad
Malik Az-Zahir dengan melarikan mereka untuk diamankan di suatu tempat. Merasa
ditentang oleh anaknya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir naik pitam dan
kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Tun Beraim Bapa. Pangeran
yang seharusnya menjadi putra mahkota ini akhirnya tewas setelah memakan racun
yang diberikan utusan sang ayah (Jones [ed.], 1999:35-56). Tidak lama kemudian,
kedua saudara perempuan Tun Beraim Bapa pun menyusul abangnya dengan memakan
racun yang sama.
Keganasan
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir belum berhenti sampai di situ. Sang Sultan kembali
berulah biadab ketika mendengar kabar bahwa ada seorang putri dari Kerajaan
Majapahit, Radin Galuh Gemerencang, jatuh cinta kepada putra kedua Sultan Ahmad
Malik Az-Zahir, yakni Tun Abdul Jalil. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir merasa
terhina karena ia sendiri juga menaruh hati pada kecantikan putri Raja
Majapahit tersebut. Maka kemudian, seperti yang termaktub dalam Hikayat Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kembali
memberikan mandat kepada anak buahnya untuk menghabisi nyawa Tun Abdul Jalil
dan ketika rencana itu berhasil, mayat Tun Abdul Jalil ditenggelamkan ke laut.
Sementara itu, oleh sebab rasa cinta yang tidak tertahankan, Radin Galuh
Gemerencang bertekad pergi ke Pasai bersama para pengawalnya untuk menemui Tun
Abdul Jalil.
Sesampainya di
Pasai, rombongan dari Majapahit itu mendapat kabar bahwa pujaan hati Radin
Galuh Gemerencang sudah tewas, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sang Putri tidak
kuasa menahan sedih dan kemudian menenggelamkan diri ke dalam laut di mana
jenazah Tun Abdul Jalil telah dibenamkan sebelumnya. Sisa rombongan pengawal
yang mengiringi Radin Galuh Gemerencang segera kembali ke Jawa dan melapor kepada
Raja Majapahit tentang kejadian tragis tersebut.
Sang Raja tentu
saja murka mendengar kematian putrinya serta kebiadaban Sultan Pasai itu, dan
kemudian segera menitahkan kepada bala tentara Majapahit untuk bersiap
menyerang Kerajaan Pasai. Meski sempat memberikan perlawanan, ternyata armada
perang Kerajaan Majapahit lebih unggul dan berhasil menduduki Pasai. Karena
semakin terdesak, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir melarikan diri ke suatu tempat
bernama Menduga, yang terletak kira-kira lima belas hari perjalanan dari Negeri
Pasai.
Sementara itu,
seusai meraih kemenangan gemilang dengan menaklukkan Pasai, pasukan perang
Majapahit mulai bersiap untuk kembali ke Jawa setelah sebelumnya mengambil
harta rampasan dan tawanan perang dari Pasai. Dalam perjalanan menuju Jawa,
laskar tentara Majapahit terlebih dahulu singgah di Palembang dan Jambi untuk
menaklukkan kedua negeri itu, sekaligus membawa barang jarahan yang semakin
banyak. Demikianlah kisah penaklukan oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan
Pasai seperti yang dikisahkan dalam kitab Hikayat Raja Pasai (Jones [ed.], 1999:57-65).
Dalam silsilah
para penguasa yang memimpin Kesultanan Samudera Pasai, ternyata terdapat sultan
perempuan yang pernah bertahta di kerajaan besar tersebut. Sultanah Nahrasiyah
(Nahrisyyah) Malikul Zahir bertahta dari tahun 1420 hingga 1428 atau kurang
lebih delapan tahun lamanya. Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat bernama
Ariya Bakooy dengan gelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy
sebenarnya merupakan sosok kontroversial. Ia pernah diperingatkan kaum ulama
agar tidak mengawini puterinya sendiri namun peringatan itu ditentangnya.
Bahkan, Ariya Bakooy kemudian malah membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya
tewas di tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang
tidak lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah, dengan bantuan Sultan Mahmud
Alaiddin Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).
Sultanah
Nahrasiyah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal ini
dibuktikan dengan hiasan makamnya yang sangat istimewa. Pada nisannya, tertulis
nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: ”Inilah kubur wanita yang bercahaya
yang suci ratu yang terhormat, almarhum yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah,
putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra
Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan
dosanya. Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.” (Pocut
Haslinda Hamid Azwar, www.modusaceh-news.com, 2009).
|
e. Keruntuhan dan Peninggalan Peradaban
Samudera Pasai
Kejayaan
Kesultanan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban terbesar di
Jawa waktu itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada sebagai
mahapatihnya yang paling legendaris. Gadjah Mada diangkat sebagai patih di
Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit yang kala itu
dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada naik pangkat menjadi Mahapatih
ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan
Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut
dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa
sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Mahapatih
Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran
Kesultanan Samudera Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir akan
pesatnya kemajuan Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian Gadjah
Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit untuk menaklukkan Samudera
Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara Majapahit, yang menganut agama
Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di
kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di
bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa
tahapan.
Serangan awal
yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan karena lokasi
itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Namun, Gadjah Mada
tidak membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan mencari tempat lapang di
pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan
pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang dikenal
dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada (Muljana, 2005:140).
Selanjutnya,
Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut
dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap pesisir di Lhokseumawe
dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan darat dilakukan lewat Paya
Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa. Serangan dari darat tersebut
ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera
Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai
istana.
|
Selain alasan
faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor
kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran rakyat Kesultanan
Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai
kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai
telah dilakukan berulangkali dan Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu
bertahan sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya
pengaruh Majapahit di Selat Malaka.
Hingga
menjelang abad ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya
sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para
ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa
Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional
di nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan (Said, 1963:125).
Namun kemudian,
peranan Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan di kawasan
Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya bandar
perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu (Ismail, 1997:24). Bandar Malaka segera
menjadi primadona dalam bidang perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai.
Tidak lama setelah Malaka dibangun, kota itu dalam waktu yang singkat segera
dibanjiri perantau-perantau dari Jawa.
Akibat kemajuan
pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Pasai kian lama
semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan
akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah
kedatangan Portugis yang berambisi menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu.
Orang-orang Portugis yang pada 1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera
Pasai (Rusdi Sufi, 2004:57).
Tidak hanya
itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi
kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju.
Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas
puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam,
seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan
Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan
Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor
kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh.
Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa
Kesultanan Aceh Darussalam.
Jejak-jejak
peninggalan peradaban Kesultanan Samudera Pasai yang berhasil ditemukan, pada
1913 dan 1915 oleh seorang ilmuwan Belanda bernama J.J. de Vink, yang
berinisiatif mengadakan inventarisasi di bekas peninggalan Samudera Pasai.
Selanjutnya, pada 1937 telah dilakukan upaya pemugaran pada beberapa makam
sultan-sultan Samudera Pasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian,
tahun 1972, 1973, serta tahun 1976 peninggalan Kesultanan Samudera Pasai yang
ditemukan di Kecamatan Samudera Geudong, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh
Darussalam, telah diinventarisasi oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Perkembangan
terbaru, dalam tahun 2009 telah ditemukan beberapa peninggalan yang terkait
dengan sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Pada bulan Maret 2009, Tim Peneliti
Sejarah Kebudayaan Islam memberitahukan bahwa mereka telah menemukan makam Al
Wazir Al Afdal, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Kesultanan
Samudera Pasai. Makam itu berlokasi di Desa Teupin Ara, Kecamatan Samudera,
Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Al Wazir Al
Afdhal diketahui pernah menjabat sebagai perdana menteri pada masa pemerintahan
rezim Samudera Pasai yang terakhir, Sultan Zain Al Abidin atau yang sering
dikenal juga dengan nama Sultan Zainal Abidin, yang memerintah selama dua
periode, yakni pada kurun 1477-1500 dan 1513-1524. Dari penemuan itu diperoleh
keterangan bahwa Al Wazir Al Afdal wafat tanggal 7 bulan Zulkaedah tahun 923 H
atau 1518 M. Di tahun yang sama, Sultan Zainal Abidin pun wafat. Pada nisan
makam Al Wazir Al Afdal, terdapat syair yang menjelaskan tentang kezuhudan
bahwa dunia ini fana, tak ubahnya seperti sarang yang dirajut laba-laba. Syair
tersebut sama dengan yang tertulis pada makam Sultan Malik Al Salih yang
mengungkapkan tenggelamnya peradaban Samudera Pasai (www.indowarta.com, 25
Maret 2009).
Pada kesempatan
yang sama, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam juga menyatakan telah
menemukan sebuah stempel atau cap yang diperkirakan berusia 683 tahun. Stempel
kerajaan yang ditengarai milik Sultan Muhammad Malikul Zahir, sultan kedua
Samudera Pasai, ini ditemukan tidak jauh dari makam Abdullah bin Muhammad, di
Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Abdullah bin
Muhammad (wafat 816 H/1414 M) sendiri adalah salah seorang keturunan Khalifah
Abbasiyah, Al-Mustanshir Billah, yang bergelar Shadr Al Akabir (pemuka para
pembesar) di Kesultanan Samudera Pasai pada waktu itu.
Stempel yang
ditemukan telah patah pada bagian gagangnya tersebut berukuran 2×1 centimeter,
dan tampaknya terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Dari lokasi ditemukannya
di Kuta Krueng, diperkirakan cap ini telah digunakan sampai dengan masa
pemerintahan pemimpin terakhir Samudera Pasai, Sultan Zainal Abidin (www.acehlong.com,
17 Maret 2009).
Selanjutnya,
pada Juni 2009, tim peneliti dari Yayasan Waqaf Nurul Islam (YWNI) Lhokseumawe
mengumumkan bahwa mereka telah menemukan makam yang diyakini sebagai tempat
persemayaman terakhir Raja Kanayan, seorang panglima perang pada pemerintahan
Sultan Zain Al-Abidin. Makam Raja Kanayan ditemukan di Desa Meunasah Ujoung
Blang Me, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan penelitian,
diketahui bahwa Raja Kanayan wafat pada hari Jum‘at, tanggal 3 Sya‘ban 872 H
atau 1468 Masehi. Dengan demikian, Raja Kanayan telah hidup pada masa
pemerintahan beberapa rezim Kesultanan Samudera Pasai dan meninggal dunia pada
masa Sultan Zainal Abidin.
Selain makam
Raja Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim peneliti
memprediksi masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam tanah di kompleks
makam yang terletak tidak jauh dari tepi Sungai Pasai sebelah timur itu.
Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum tercatat dalam inventaris situs
sejarah Dinas Kebudayaan (www.waspadaonline.com, 20 Juni 2009).
Terakhir, pada
Agustus 2009, Lembaga Penelitian Sejarah Islam (LePSI) Lhokseumawe
mengungkapkan bahwa mereka sedang mengkaji naskah surat Sultan Zainal Abidin,
wafat tahun 923 Hijriah atau 1518 Masehi. Surat itu ditujukan kepada Kapitan
Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India. Fotografi naskah
tersebut dapat disaksikan di Museum Negeri Aceh, sementara naskah aslinya
tersimpan di Lisabon, Portugal.
Naskah tersebut memberikan banyak
informasi sejarah tentang ihwal Samudera Pasai di awal abad ke-16, terutama
menyangkut kondisi terakhir yang dialami kerajaan Islam pertama di Asia
Tenggara ini, setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada 1511 Masehi.
Naskah surat berbahasa Arab itu juga mencantumkan nama beberapa negeri atau
kerajaan yang punya hubungan erat dengan Samudera Pasai sehingga dapat
diketahui pengejaan asli dari nama-nama negeri atau kerajaan tersebut, antara
lain Nergeri Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka) (www.waspadaonline.com, 21 Agustus 2009).
2. Silsilah Raja-Raja
Berikut
nama-nama sultan/sultanah yang diketahui pernah memimpin Kesultanan Samudera
Pasai:
1. Sultan Malik Al-Salih (1267—1297)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir
3. Sultan Malikul Mahmud
4. Sultan Malikul Mansur
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346—1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383—1405)
7. Sultanah Nahrasiyah atau Sultanah Nahrisyyah (1420—1428)
8. Sultan Sallah Ad-Din (1402)
9. Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir 1455)
10. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1455—1477)
11. Sultan Zain Al-Abidin (1477—1500)
12. Sultan Abdullah Malik Az-Zahir (1501—1513)
13. Sultan Zain Al-Abidin (1513—1524)
Silsilah Sultan/Sultanah Kesultanan Samudera Pasai Menurut Hikayat Raja Pasai |
Sultan Malik Al Salih memimpin Kesultanan Samudera, sementara putranya, Sultan Muhammad Malikul Zahir adalah penguasa Kesultanan Pasai. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir wafat, pemerintahan Kesultanan Pasai dipegang oleh Sultan Malik Al Salih untuk sementara sembari menunggu kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir, yakni Malikul Mahmud dan Malikul Mansur, beranjak dewasa. Setelah kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir tersebut dinilai mampu untuk menjadi pemimpin, Sultan Malik Al Salih mengundurkan diri dari sebagai sultan dari kedua kerajaan yang dipimpinnya tersebut.
Selanjutnya,
Sultan Malik Al Salih menyerahkan kendali pemerintahan kepada kedua cucunya
tersebut, masing-masing Kesultanan Pasai kepada Malikul Mahmud serta Kesultanan
Samudera kepada Malikul Mansur. Masa periode pemerintahan ketiga sultan, yaitu
Sultan Muhammad Malikul Zahir, Sultan Malikul Mahmud, dan Sultan Malikul
Mansur, sengaja tidak disebutkan karena masih terdapat beberapa kejanggalan
mengenai hal tersebut, termasuk yang tercatat dalam Hikayat Raja Pasai.
Kesimpang-siuran mengenai periode
pemerintahan masing-masing sultan/sultanah menjadi kendala tersendiri, dan
karena itulah kurun tahun yang dicantumkan dalam daftar di atas merupakan
interpretasi dari beberapa informasi yang berhasil ditemukan. Demikian pula
dengan penyebutan nama atau gelar dari masing-masing sultan/sultanah yang
ternyata ditemukan banyak sekali versinya. Selain itu, ketidaklengkapan
informasi mengenai siapa saja sultan/sultanah yang pernah memerintah Kesultanan
Samudera Pasai secara urut dan runtut juga menimbulkan permasalahan lain karena
belum tentu apa yang ditulis dalam silsilah di atas mencatat semua penguasa
yang pernah bertahta di Kesultanan Samudera Pasai.
3. Wilayah Kekuasaan
Pada kurun abad ke-14, nama Kesultanan Samudera Pasai sudah sangat terkenal
dan berpengaruh serta memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Armada
perang yang kuat sangat mendukung Kesultanan Samudera Pasai untuk semakin
melebarkan sayap kekuasaannya, baik dengan tujuan menguasai dan menduduki
wilayah kerajaan lain ataupun demi mengemban misi menyebarkan agama Islam.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai pada masa kejayaannya terletak di
daerah yang diapit oleh dua sungai besar di Pantai Utara Aceh, yaitu Sungai
Peusangan dan Sungai Pasai. Daerah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai tersebut
juga meliputi Samudera Geudong (Aceh Utara), Meulaboh, Bireuen, serta Rimba
Jreum dan Seumerlang (Perlak).
Sementara itu, ada pula yang
menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera Pasai meliputi wilayah yang
lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu hingga ke muara Sungai Jambu Ayer
(Ismail, 1997:7). Yang jelas, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai
melingkupi sepanjang aliran sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman
Dataran Tinggi Gayo, sekarang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten
Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam. Kesultanan Samudera Pasai juga berhasil
meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh. Beberapa daerah luar yang menjadi
negeri taklukan Kesultanan Samudera Pasai antara lain Minangkabau, Palembang,
Jambi, Patani, Malaka, bahkan hingga mencapai beberapa kerajaan di pesisir
pantai di Jawa (Sufi & Wibowo, 2005:61).
4. Sistem Pemerintahan
Komposisi
masyarakat yang menjadi warga Kesultanan Samudera Pasai menunjukkan sifat yang
berlapis-lapis. Menurut Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas Sultan dan
Orang-Orang Besar kerajaan pada lapisan atas sampai dengan hamba sahaya pada
lapisan yang paling bawah (Ayatrohaedi, 1992). Pada lapisan kelompok birokrasi
terlihat adanya kelompok Orang-Orang Besar, perdana menteri, menteri, tentara,
pegawai, dan kaum bangsawan kerajaan yang lainnya.
Adanya
orang-orang yang bergerak dalam perdagangan, misalnya orang-orang yang
berniaga, orang berlayar, orang pekan, nahkoda, dan lain-lainnya. Kendati
jumlah populasi orang-orang Arab yang berdiam di Pasai tidak sebanyak
orang-orang dari India, namun kalangan orang Arab sangat berpengaruh dalam
jalannya pemerintahan kerajaan, bahkan atas kebijakan Sultan Pasai sekalipun.
Keadaan ini terlihat sejak masa awal terbentuknya Kesultanan Pasai dan
berlangsung lama hingga nama kerajaan ini berubah menjadi Kesultanan Samudera
Pasai.
Pada masa
pemerintahan Sultan Malik Al Salih sebagai penguasa pertama di Kesultanan
Pasai, terdapat sejumlah Orang-Orang Besar di negeri itu, antara lain Tun Sri
Kaya dan Tun Baba Kaya. Nama-nama itu jelas menunjukkan kedudukan mereka yang
dinamakan Orang-Orang Besar tersebut. Hal ini sesuai dengan penyebutan
Orang-Orang Besar kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kesultanan Aceh Darussalam
sebagai Orang Kaya (Ismail, 1997:39).
Kedua Orang
Besar yang ikut mengontrol jalannya pemerintahan di Kesultanan Pasai itu
masing-masing kemudian diberi gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bagian keislaman Marah Silu atau
Sultan Malik Al Salih. Dalam hikayat digambarkan dengan jelas bahwa Orang-Orang
Besar itu disebutkan sebagai perdana menteri, satu untuk Kesultanan Pasai dan
seorang lagi untuk Kesultanan Samudera. Kedudukan mereka yang sangat penting di
sana berlangsung sejak rezim Sultan Malik Al Salih sampai era pemerintahan
cucunya yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.
|
Di masa kedua
cucu Sultan Malik Al Salih itu berkuasa di masing-masing kerajaannya, terjadi
sengketa di antara keduanya, yakni ketika Malikul Mansur melakukan perbuatan
yang tidak senonoh terhadap salah seorang istri Malikul Mahmud. Mengetahui
perbuatan hina saudaranya itu, Sultan Malikul Mahmud sempat berucap bahwa
sekiranya ia tidak menghormati Sayid Asmayuddin, yang menjadi penasehat Sultan
Malikul Mansur di Kesultanan Samudera, niscaya Sultan Malikul Mahmud sudah
membunuh saudaranya sendiri atas perbuatan hina yang tidak termaafkan. Fragmen
ini sudah cukup membuktikan bahwa betapa kuatnya pengaruh Orang-Orang Besar
tersebut dalam ikut mengendalikan roda pemerintahan kerajaan, bahkan sampai pada
tingkat mempengaruhi kondisi personal dan psikis Sultan.
Pada era
kepemimpinan yang berikutnya, yakni di bawah rezim Sultan Ahmad Malik Az-Zahir
(1346-1383), pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai dikawal oleh empat orang
perdana menteri, yang masing-masing bernama Tulus Agung Tukang Sukara, Baba
Mentuha, Sulaiman Dendang Air, dan Tun Syah Alam Kota (Jones [ed.], 1999:36).
Masih sama seperti pada masa-masa sebelumnya, keempat perdana menteri tersebut
menjalankan fungsinya sebagai penasehat Sultan dan ikut mempengaruhi kebijakan
kerajaan kendati keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan Samudera
Pasai. Kehidupan sosial dan politik warga Kesultanan Samudera Pasai sangat
diwarnai oleh unsur agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahannya bersifat teokrasi
(berdasarkan ajaran Islam) dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
Referensi:
·
-------. 25 Maret 2009. “Makam
Perdana Menteri Samudera Pasai Ditemukan”, dalam http://indowarta.com.
Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.
·
-------. 17 Maret 2009. “Stempel
Usia 683 Tahun Milik Kerajaan Pasai Ditemukan”, dalam http://acehlong.com.
Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.
·
-------. 20 Juni 2009. “Peneliti
Temukan Makam Panglima Pasai”, dalam http://www.waspada.co.id.
Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.
·
-------. 21 Agustus 2009. “LePSI
Kaji Naskah Surat Sultan Samudera Pasai”, dalam http://www.waspada.co.id.
Data Diunduh pada 06 Oktober 2009.
·
Alfian, T. Ibrahim. 1973. Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
·
Ayatrohaedi. 1992. “Struktur
Masyarakat Pasai”, dalam Makalah yang Disampaikan pada Diskusi mengenai Pasai
dalam Sejarah, Cisarua, 25-28 September 1992.
·
Azwar, Pocut Haslinda Hamid. 2009.
“Sultanah Nahrasiyah”, dalam http://www.modusaceh-news.com,28
April 2009.
·
Ismail, Muhammad Gade. 1997. Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 sampai Awal Abad ke 16. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
·
Jones, Russell. 1999. Hikayat Raja Pasai. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Penerbit
Fajar Bakti.
·
Mansoer, M.D. "Beberapa
Tjatatan tentang Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara",
dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia. 1963. Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam Ke Indonesia.
·
Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
·
Ruslan, Heri. 2009. “Samudera Pasai
Khilafah Islam Nusantara”, dalam Republika, 18 Maret 2009
·
Said, Mohammad, H. 1963.
"Mentjari Kepastian tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke
Indonesia", dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke
Indonesia. Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknya Islam Ke Indonesia.
·
_______. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan.
·
Soeratno, Siti Chamamah. 2002.
“Islamisasi sebagai Pembina Kebesaran Melayu: Analisis Kontekstual Data
Islamisasi Nusantara dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai”, dalam
Sunaryo Purwo Sumitro. 2002. Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta:
Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian. Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia.
·
Sufi, Rusdi. “Mata Uang
Kerajaan-Kerajaan Aceh”, dalam Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo. 2004. Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh:
Badan Perpustakaan NAD.
·
Sufi, Rusdi & Wibowo, Agus Budi.
2006. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh:
Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
·
Zainuddin, H.M. 1961. Tarikh Aceh dan Nusantara. Medan:
Pustaka Iskandar Muda.
Sejarah
Lengkap : Kesultanan Aceh
Darussalam (Mengulas Lebih Detail)
Istana Daruddunia Kesultanan Aceh Darussalam ; Ilustrasi
|
1. Sejarah Awal Mula
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan
Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai
diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad
ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di
nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan
Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha
yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan
Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil
ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang
pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh
beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan
Aceh adalahSultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1
Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak
dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat
Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang
XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah
meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau
pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di
Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu
Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah.
Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim
yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal
dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30
November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah
yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh
Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya
Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal
yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti
untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh
dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a, 1981:157).
|
Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan
besar pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di tanah ini
telah berdiri pula Kerajaan Islam Lamuri selain Kesultanan Malaka yang memiliki
peradaban besar di Selat Malaka. Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam tidak
lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal
dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah.
Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam
yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15,
dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat
singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam
perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi Sufi & Agus Budi
Wibowo a, 2006:72-73).
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam
pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam hikayat Aceh seperti
yang dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul
“Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan
Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari
gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan
Iskandar Muda. Sultan terbesar dari Aceh ini justru bukan merupakan pemimpin
dari generasi awal Kesultanan Aceh Darussalam. Meski siapa penulis Hikayat Aceh
tidak diketahui dan tidak tersimpan pula tanggal mengenai penyusunan karyanya,
namun bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh tersebut disusun selama masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan bahwa raja itu menyuruh salah
seorang pujangga istananya untuk menyusun riwayat hidupnya (Denys Lombard,
2007:43).
Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena,
selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat
Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber
sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun
tersebut sukar diperiksa kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard,
misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat
singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat bahwa orang
Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi
Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian, Snouck
Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama
sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat pada
November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari orang
Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja
diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard,
2007:62).
Dalam buku karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul
“Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh
ialah daerah yang sempat dinamakan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya
bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih sebagai
sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang
dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk
Untuk nama ini, ada juga yang menyebutkan nama "Aceh Lhee Sagoe"
(Aceh Tiga Sagi). Selain itu, terdapat pula yang menggunakan Aceh Inti (Aceh
Proper) atau “Aceh yang sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya
menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan juga letak ibukotanya," untuk
menamakan Aceh.
Nama Aceh sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota
kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya
bernama Bandar Aceh Darussalam. Tentang nama Aceh belum ada suatu
kepastian dari mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan. Orang-orang
asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda.
Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama “Achem”, “Achen”,
dan “Aceh”, orang Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”, “Dagin”,
dan Dacin”, sedangkan orang Cina menyebutnya dengan nama “Atje”
dan “Tashi” (Sufi & Wibowo a, 2006:73-74).
Dalam karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang lain, yaitu yang terangkum dalam buku dengan judul “Ragam Sejarah Aceh” (2004), disebutkan bahwa selain sebagai penyebutan nama tempat, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Bumi Aceh. Terdapat cukup banyak etnis yang bermukim di wilayah Aceh, yakni etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk, Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Aceh, termasuk suku bangsa Aceh, itu telah eksis semenjak Aceh masih berupa sebuah kerajaan/kesultanan (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo b, 2004:1-2). |
Sementara itu, menurut penelitian K.F.H. van Langen yang
termaktub dalam karya ilmiah berjudul “Susunan Pemerintahan Aceh Masa
Kesultanan” (1986), dituliskan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk
asli Aceh disebut Ureueng Mante. Sejauh mana riwayat itu dapat
dianggap benar dan apakah Mante itu termasuk juga dalam suku Mantra yang
mendiami daerah antara Selangor dan Gunung Ophir di
Semenanjung Tanah Melayu, menurut van Langen, ini adalah pertanyaan-pertanyaan
yang harus dipecahkan lagi dalam studi perbandingan bahasa Melayu-Polinesia.
Tetapi sejauh masalah itu belum dapat dipecahkan, maka tetaplah bisa dianggap
bahwa Mante adalah penduduk asal daerah Aceh, terutama karena
nama itu tidak merujuk pada penduduk asal suku-suku bangsa lain (K.F.H. van
Langen, 1986:3).
a. Masuknya Kolonialisme Barat
Kedatangan bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis selaku bangsa
Eropa yang pertama kali tiba di Aceh, menjadi salah satu faktor utama runtuhnya
Kerajaan Samudera Pasai, selain juga disebabkan serangan Majapahit. Pada 1508,
atau kurang dari setahun setelah Sultan Ali Mughayat Syah memproklamirkan
berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis pertama yang
dipimpin Diogo Lopez de Sequeira tiba di perairan Selat
Malaka. Armada de Sequeira ini terdiri dari empat buah kapal dengan
perlengkapan perang. Namun, kedatangan rombongan calon penjajah asal Portugis
yang pertama ini tidak membuahkan hasil yang gemilang dan terpaksa mundur akibat
perlawanan dari laskar tentara Kesultanan Malaka.
Kedatangan armada Portugis yang selanjutnya pun belum
menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Pada Mei 1521, penguasa Kesultanan
Aceh Darussalam yang pertama, Sultan Ali Mughayat Syah, memimpin perlawanan dan
berhasil mengalahkan armada Portugis yang dipimpin Jorge de Britto yang
tewas dalam pertempuran di perairan Aceh itu. Dalam menghadapi Kesultanan Aceh
Darussalam dan keberanian Sultan Ali Mughayat Syah, Portugis membujuk Kerajaan
Pedir dan Samudera Pasai untuk mendukungnya.
Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis
kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh Darussalam tetap
mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir. Pihak Portugis bersama
Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri lagi dan mencari perlindungan
ke Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat Syah meneruskan pengejarannya
dan berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan
yang berupa alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh
Darussalam untuk mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena pasukan Aceh
Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang milik Portugis
yang lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya (Said a, 1981:187). Sultan Ali
Mughayat Syah memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang pemberani dan penakluk
yang handal. Selain berhasil mengusir Portugis serta menundukkan Kerajaan Pedir
dan Samudera Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah, juga meraih kegemilangan dalam menaklukkan beberapa kerajaan
lainnya di Sumatra, seperti Kerajaan Haru, Kerajaan Deli, dan Kerajaan Daya.
Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis
oleh C.R. Boxer, mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada
perang Kesultanan Aceh Darussalam sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup
lengkap dan mutakhir. Bahkan, sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper
de Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih banyak
memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka
sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat lainnya, Veltman, salah satu
rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang berhasil dibawa pulang oleh
Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang kemudian diberi nama “Cakra
Dunia”. Lonceng bersejarah merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja
Samudera Pasai ketika panglima besar dari Kekaisaran Tiongkok itu
berkunjung ke Pasai pada awal abad ke-15 (Said a, 1981:168).
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam
hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan
Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal dunia
pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan
tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah
relatif singkat, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan
kokoh. Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri
Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain :
- Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
- Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara.
- Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat.
- Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
- Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal Sultan Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik
ini tetap dijalankan oleh sultan-sultan penggantinya. Sebagai penerus tahta
Kesultanan Aceh Darussalam, diangkatlah putra sulung almarhum Sultan Mughayat
Syah yang bernama Salah ad-Din sebagai penguasa Aceh
Darussalam yang baru. Di bawah pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan
Aceh Darussalam menyerang Malaka pada 1537 tetapi tidak berhasil. Tahun 1539,
kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dialihkan kepada anak bungsu Mughayat
Syah, yaitu Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering
dikenal juga dengan nama Sultan Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini
perlahan-perlahan mengukuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dengan
melakukan beberapa gebrakan. Tidak lama setelah dinobatkan, pada tahun yang
sama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar menyerbu orang-orang Batak yang
tinggal di pedalaman. Menurut Mendez Pinto, pengelana yang singgah
di Aceh pada 1539, balatentara Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ala
ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, terdiri atas laksar-laskar yang antara lain
berasal dari Turki, Kambay, dan Malabar (Lombard,
2007:65-66).
Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam pada era Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar dengan kerajaan-kerajaan mancanegara tersebut memang cukup solid. Pada
1569, misalnya, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar mengirimkan utusannya
ke Istanbul untuk meminta bantuan meriam. Tidak hanya memberikan meriam beserta
ahli-ahli senjata untuk dikirim ke Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa Turki
juga mengirimkan pasukan perang untuk mendukung Aceh melawan Portugis. Bahkan,
Sultan Turki juga memerintahkan Gubernur-Gubernur Yaman, Aden,
serta Mekkah untuk membantu laskar Turki yang sedang bertolak
menuju Aceh. Laksamana Turki, Kurt Oglu Hizir, diserahi memimpin
ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan
agama Islam, dan merampas benteng-benteng kafir (Said a, 1981:199).
Selain terus berteguh melawan kaum penjajah dari Barat, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar juga melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan lokal yang membantu Portugis. Pasukan Aceh Darussalam menyerbu Kerajaan Malaka sebanyak dua kali (tahun 1547 dan 1568), menawan Sultan Johor karena membantu Portugis, serta berhasil mengalahkan Kerajaan Haru (Sumatra Timur) pada 1564. Untuk melegalkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam atas Kerajaan Haru, maka diangkatlah Abdullah, putra pertama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, untuk memegang kendali pemerintahan Kerajaan Haru yang sudah takluk dan menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Namun, berbagai peperangan besar antara Kesultanan Aceh Darussalam melawan Portugis memakan banyak korban dari kedua belah pihak yang berseteru. Dalam suatu pertempuran yang terjadi pada 16 Februari 1568, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar kehilangan putra tercintanya, Sultan Abdullah yang memimpin bekas wilayah Kerajaan Haru. |
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8 Jumadil Awal
tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena
putra mahkota, Abdullah, gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka
yang diangkat untuk meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh
Darussalam adalah anak kedua almarhum yang bergelar Sultan Husin Ibnu
Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah atau yang juga sering dikenal dengan
nama Ali Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat
Syah merupakan sosok pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di bidang
politik serta pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin
Ri`ayat Syah berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam upaya mengusir
kolonialis Portugis dari bumi Aceh.
Akan tetapi, pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang ayah kendati dia sudah
melalukan penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575.
Ketahanan Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin limbung
ketika Aceh Darussalam menyerang Johor pada 1564, di mana Sultan ditangkap dan
menjadi tawanan perang. Akhir pemerintahan Sultan Husin Ibnu Sultan `Ala`uddin
Ri`ayat Syah, yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 7 tahun, berakhir
ketika sang Sultan wafat pada 12 Rabi`ul Awal tahun 987 Hijriyah atau
bertepatan dengan tanggal 8 Juni 1578 dalam tahun
Masehi.
Sepeninggal Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah, Kesultanan Aceh
Darussalam memasuki masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah
dipercayakan kepada anaknya, Sultan Muda, namun pemerintahannya hanya bertahan
selama 7 bulan. Karena ketika wafat Sultan Muda masih berusia belia dan belum
memiliki keturunan, maka yang diangkat sebagai penggantinya adalah Sultan Sri
Alam yang merupakan anak dari Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar,
penguasa ke-4 Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, Sultan Sri Alam, yang
sebelumnya menjadi raja kecil di Pariaman (Sumatra Barat),
ternyata tidak becus dalam mengelola Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam waktu
singkat, hanya 2 bulan memerintah, Sultan Sri Alam pun mati
terbunuh.
Roda pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dijalankan oleh Sultan
Zainal Abidin. Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam kali ini adalah cucu
dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau anak dari Sultan Abdullah,
pemimpin wilayah Haru yang tewas ketika pertempuran melawan Portugis. Sama
seperti penguasa sebelumnya, Sultan Zainal Abidin juga tidak mampu memimpin
Kesultanan Aceh Darussalam dengan baik. Bahkan, Sultan ini merupakan sosok yang
bengis, kejam, dan haus darah. Sultan Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh
demi memuaskan nafsu dan ambisinya. Sultan yang memerintah dengan tangan besi
ini memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas
pada 5 Oktober 1579 (Said a, 1981:205).
Setelah era tirani Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus kepemimpinan
Kesultanan Aceh Darussalam sempat bergeser dari garis darah yang mula-mula.
Dikisahkan, pada sekitar tahun 1577 Kesultanan Aceh Darussalam menyerang
Kesultanan Perak dan berhasil menewaskan pemimpin Kesultanan Perak, yakni Sultan
Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17 orang putra-putrinya dibawa ke
Aceh sebagai bagian dari rampasan perang. Putra tertua Sultan Ahmad, bernama
Mansur, dikawinkan dengan seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang
bernama Ghana. Tidak lama kemudian, Mansur ditabalkan menjadi
pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam menggantikan Sultan Zainal Abidin, dengan
gelar Sultan Ala al-Din Mansur Syah, dinobatkan pada 1579.
Sultan yang bukan berasal dari keturunan langsung sultan-sultan pendiri
Kesultanan Aceh Darussalam ini, berasal dari etnis Melayu Perak, adalah sosok
yang alim, shaleh, adil, tapi juga keras dan tegas. Pada masa kepemimpinan Sultan
Mansur Syah, Kesultanan Aceh Darussalam nuansa agama Islam sangat kental dalam
kehidupan masyarakatnya. Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur Syah
mendatangkan guru-guru agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun,
kepemimpinan agamis yang diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak membuat
Aceh Darussalam berhenti bergolak. Pada 12 Januari 1585, ketika
rombongan Kesultanan Aceh Darussalam dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke
Perak, Sultan Mansur Syah terbunuh.
Gugurnya Sultan Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh Darussalam
kembali rumit untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin Aceh
Darussalam yang selanjutnya. Atas mufakat para orang besar (tokoh-tokoh adat
dan kesultanan yang berpengaruh dan dihormati), maka diputuskan bahwa yang
berhak menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam untuk menggantikan Sultan
Mansur Syah adalah Sultan Buyong dengan gelar Sultan
Ali Ri`ayat Syah Putra yang merupakan anak dari penguasa
Inderapura, Sultan Munawar Syah. Namun, lagi-lagi kekuasaan pucuk
pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam tidak langgeng. Sultan Ali Ri`ayat Syah
Putra meninggal dunia pada 1589 dalam suatu peristiwa pembunuhan. Sebenarnya,
yang akan dijadikan pemimpin Aceh Darussalam sebelumnya adalah Raja
Ayim, cucu Sultan Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda ini juga tewas
terbunuh.
Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang berikutnya adalah Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604).
Pada era Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal berkuasa, kolonialisme
Eropa kian merasuki bumi nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda.
Tanggal 21 Juni 1595, armada dagang Belanda yang dipimpin de
Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick,
tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal “De Leeuw” sementara Frederick
bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada awalnya kedatangan
orang-orang Belanda disambut hangat oleh penduduk Aceh. Akan tetapi, kemunculan
kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan ancaman tersendiri
bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya. Portugis
sendiri pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam pada 1606 berkat
kegemilangan serangan yang dipimpin oleh Perkasa Alam yang
kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur dengan
nama Sultan Iskandar Muda.
b. Masa Keemasan di Masa Sultan Iskandar Muda
Ketika Houtman bersaudara beserta rombongan armada Belanda tiba
di Aceh, hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda berlangsung dengan
kedudukan yang setara, terutama dalam hal urusan perniagaan dan diplomatik (Isa
Sulaiman, eds. 2003:5). Mengenai hubungan perdagangan, de Houtman bersaudara
atas nama kongsi dagang Belanda, meminta kepada Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah
Said Al-Mukammal sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam, agar
diperbolehkan membawa lada dan rempah-rempah dari Aceh. Sebagai gantinya, de
Houtman berjanji akan membantu Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal untuk memukul Johor yang saat itu sedang berseteru
dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Selama Sultan Ala`udin Ri`ayat
Syah Said Al-Mukammal memerintah selama 20 tahun, Kesultanan Aceh Darussalam
terus-menerus terlibat pertikaian besar dengan Kesultanan Johor. Perselisihan
antara Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal dan de Houtman mulai
timbul ketika orang-orang Belanda yang berada di Aceh mulai bersikap tidak
sopan. Frederick de Houtman beberapa kali mengatakan
kebohongan ketika berbicara dengan Sultan Aceh Darussalam.
Salah satu tindakan dusta yang dilakukan Frederick de Houtman
adalah ketika Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal menanyakan di mana
letak negeri Belanda dan berapa luasnya. Frederick de Houtman lalu membuka peta
bumi dan ditunjukkanlah pada Sultan bahwa negeri Belanda itu besar, meliputi
hampir seluruh benua Eropa, yakni antara Moskow (Rusia) sampai dengan Venezia
(Italia). Akan tetapi Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tidak
begitu saja percaya terhadap bualan Frederick de Houtman itu. Secara diam-diam,
Sultan bertanya kepada orang Portugis bagaimana sebetulnya negeri Belanda itu.
Orang Portugis tersebut tentu saja menjawab yang sebenarnya bahwa negeri
Belanda hanya satu bangsa kecil, bahwa negeri Belanda adalah negeri yang tidak
punya raja (karena pada waktu itu Belanda merupakan negara republik yang baru
saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tentu saja murka
karena telah diperdayai oleh orang asing yang menetap di wilayahnya. Maka
kemudian Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintahkan tentaranya
untuk mencari, menangkap, dan kemudian memenjarakan Frederick de Houtman.
Konon, lima orang anak buah kapal Frederick de Houtman dibebaskan karena
bersedia masuk Islam. Rakyat Kesultanan Aceh Darussalam bertambah geram
terhadap awak-awak kapal Belanda karena kelakuan mereka yang dinilai melewati
batas. Ketika salah satu kapal Belanda merapat ke Pulau Malavidam yang
terletak di Lautan Hindia antara Sumatra dan Srilangka, Cornelis de
Houtman, saudara laki-laki Frederick, berkelakuan tidak sopan. Diceritakan,
Cornelis telah memaksa istri dari seorang tokoh masyarakat di pulau itu supaya
berjalan di hadapan orang-orang Belanda dalam keadaan telanjang bulat. Setelah
itu, Cornelis dengan paksa merampas barang-barang perhiasan yang menempel di tubuh
perempuan malang tersebut.
Kekejaman orang-orang Belanda belum berhenti. Tidak lama setelah
peristiwa memalukan di Pulau Malavidam, terjadi perampasan yang dilakukan oleh
para awak kapal Belanda terhadap kapal-kapal dan perahu-perahu milik nelayan
Aceh. Laksamana van Caerden, pemimpin kapal Belanda itu, tidak segan-segan
menyerang dan menenggelamkan kapal-kapal Aceh yang ditemuinya. Kelakuan
orang-orang Belanda tersebut jelas menimbulkan ketegangan dengan pihak
Kesultanan Aceh Darussalam dan kondisi ini ternyata menyulitkan pihak Belanda.
Jika bermusuhan terus dengan Aceh, kerugiannya teramat besar, selain keamanan
pelayaran laut, juga sumber perdagangan di bagian itu tidak dapat direbut
Belanda dari Portugis.
|
Ketika Portugis dan Belanda berebut pengaruh di tanah Aceh,
Kesultanan Aceh Darussalam justru mengalami konflik internal. Pada April 1604,
anak kedua Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, yaitu Sultan Muda,
melakukan kudeta terhadap ayahnya sendiri, lalu memproklamirkan dirinya menjadi
sultan dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah. Sebelumnya, Sultan Muda pernah
diangkat sebagai wakil Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, untuk
memimpin Pedir yang telah berhasil ditaklukkan. |
Namun, karena kinerja
Sultan Muda dinilai tidak memuaskan, maka kemudian ia ditarik kembali ke Aceh
Darussalam untuk membantu ayahnya sekaligus mendalami pengalaman dalam
mengelola pemerintahan. Kedudukan Sultan Muda di Pedir digantikan oleh
saudaranya, Sultan Husin, yang sebelumnya diserahi tugas untuk
mengkoordinir wilayah Pasai. Dari sinilah mulai timbul keinginan dari Sultan
Muda untuk merebut tahta ayahnya, terlebih lagi sang putra mahkota, anak
pertama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal yang bernama Mahadiradja,
telah gugur dalam suatu pertempuran. Tidak lama kemudian, masih di tahun 1604
itu, Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal akhirnya menutup mata.
Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat Syah
ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari
saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas
atas kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga
ditunjukkan oleh seorang anak muda yang pemberani, bernama Darma Wangsa atau
yang dikenal juga dengan panggilan kehormatan: Perkasa Alam. Karena
Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan Perkasa Alam cukup
membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah mengeluarkan perintah
penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa Alam terlebih dulu mengetahui
rencana itu dan lantas meminta perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan yang
cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan
dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang
terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan
Aceh Darussalam karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka
dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat
Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan
senjata, dia berjanji akan dapat mengusir Portugis dari Bumi Serambi
Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan
kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka permintaan Perkasa Alam
tersebut dikabulkan.
Perkasa Alam
kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan hasilnya
memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis tewas akibat
serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki Portugis
dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami kekalahan
terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka. Namun,
di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian menyerang
mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit
ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak
menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul
sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang
berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat
menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah
yang kemudian terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan
Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu
yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan
Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan mengkoordinir alat-alat
pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai Sultan Aceh
Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah
keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain,
di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah
memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama
Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama
kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang menyebutnya
dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja
Darmawangsa Tun Pangkat.
Berbagai nama dan
gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar Muda, baik
di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara, sejak
masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri
Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari
masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian
sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang (Said a, 1981:282).
Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa
Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk
meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam
rangka program tersebut adalah antara lain :
- Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
- Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
- Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
- Memukul Portugis dan merampas Malaka.
- Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan (Said a, 1981:285).
Semenjak Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah Aceh sendiri di sebelah timur sampai
ke Tamiang disusun kembali, dan di sebelah barat, terutama
daerah-daerah di luar Aceh yang sudah dikuasai, seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman, Salida,
dan Inderapura, kembali dipercayakan kepada pembesar-pembesar yang
cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk mengatur cukai-cukai dan
pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh Darussalam.
Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang
dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan
posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606,
Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau
tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk
menguasai tempat-tempat lain, terutama Jawa dan Maluku.
Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen,
memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619–1623 dan
1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan
cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau
pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun
merasakan kecemasan yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi
untuk beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga
mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam
masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga
Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut,
terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan
lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima untuk memimpin masing-masing
daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar
Muda juga sudah meluas diseluruh Sumatra Timur.
Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani,
dan Perak, boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan SumatraTimur,termasuk Siak, Indragiri, Lingga,
serta wilayah-wilayah di selatannya, dimana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi,
sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan Aceh Darussalam.
Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh
Darussalam mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu
menjadi komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga
harganya pun melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir
seluruh bandar dagang dan pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya,
demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam
koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika
perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan
bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan
lancar, demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Ekspedisi Milter Sultan Iskandar Muda
|
Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda
ternyata masih penasaran dengan Portugis yang berlindung di Malaka. Aceh
melihat kedudukan Portugis di Malaka merupakan suatu ancaman besar. Kendati
sudah dalam kondisi terdesak, Portugis masih saja melakukan kegiatannya dengan
menghubungi negeri-negeri kecil yang sudah berada dalam kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan Portugis harus dikalahkan dan
untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan program yang selalu harus
dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi pada 1629 di mana
angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan berkekuatan 236
buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.
Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka,
terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak
dalam perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang
sama juga terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang
perkasa mengurung laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak
berkutik. Meski di atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai
juga. Karena terlalu berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang
Aceh Darussalam tidak memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat
di laut, adanya bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri
telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan
menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya
meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27
Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun.
Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya
bertajuk “Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar
Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan
bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan
Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi,
Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam,
yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda
adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang berasal
dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu,
anak dari selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332).
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih
terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh
semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
C.
Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam pernah
pula dipimpin oleh seorang raja perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat,
sebagai penggantinya adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias
Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan
Sultan Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi
al-Din Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34
tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak
upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam
istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama
34 tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan
keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam
bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar
biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih
diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri
Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin
Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang
tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon,
dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi
al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan
kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri
Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum
akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678.
Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur
al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din
Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah
Zinat al-Din (1688-1699).
Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang
untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai
terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah
kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas
oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut,
Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893,
perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.
Memasuki abad ke-20,
dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus kokohnya dinding ideologi yang
dianut bangsa Aceh, termasuk dengan menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh
pendidikan Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat
Aceh. Snouck Hugronje sangat serius menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dariUniversitas
Leiden ini sempat memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di
dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa,
bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai
pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk (H. Mohammad Said b,
1985:91). Snouck Hugronjemenyarankan kepada pemerintah kolonial
Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu
berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama.
Menurut Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh
adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh,
maka serangan harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih
detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat
menguasai Aceh, antara lain :
|
- Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
- Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
- Rebut lagi Aceh Besar.
- Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
- Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.
- Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah (Said b, 1985:97).
Saran ini kemudian diikuti oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama,
sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck
Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh.
Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam semakin melemah seiring dengan
menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904,
hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda. Walaupun demikian,
sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap penjajah. Perlawanan
yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap berlangsung. Aceh
sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan berasal dari kalangan
kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima Polim, Cut
Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan
lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam
telah dipimpin lebih dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini
merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban
besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.
2. Silsilah
Sepanjang riwayat dari awal berdiri
hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan
hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang
pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
1. Sulthan Ali
Mughayat Syah (1496-1528)
2. Sulthan Salah
ad-Din (1528-1537)
3. Sulthan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4. Sulthan Husin Ibnu
Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
5. Sulthan Muda
(1575)
6. Sulthan Sri Alam
(1575-1576)
7. Sulthan Zain
Al-Abidin (1576-1577)
8. Sulthan Ala al-din
mansyur syah (1576-1577)
9. Sulthan Buyong
atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
10. Sulthan Ala`udin
Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
11. Sulthan Ali Riayat
Syah (1604-1607)
12. Sulthan Iskandar
Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
13. Sulthan Iskandar
Tsani (1636-1641)
14. Sulthanah (Ratu)
Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
15. Sulthanah (Ratu)
Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16. Sulthanah (Ratu)
Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sulthanah (Ratu)
Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sulthan Badr
al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sulthan Perkasa
Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sulthan Jamal
al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sulthan Jauhar
al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sulthan Syams
al-Alam (1726-1727)
23. Sulthan Ala al-Din
Ahmad Syah (1723-1735)
24. Sulthan Ala al-Din
Johan Syah (1735-1760)
25. Sulthan Mahmud
Syah (1760-1781)
26. Sulthan Badr
al-Din (1781-1785)
27. Sulthan Sulaiman
Syah (1785-1791)
28. Sulthan Alauddin
Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29. Sulthan Ala al-Din
Jauhar Alam Syah (1795-1815)
30. Sulthan Syarif
Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sulthan Ala al-Din
Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32. Sulthan Muhammad
Syah (1824-1838)
33. Sulthan Sulaiman
Syah (1838-1857)
34. Sulthan Mansyur
Syah (1857-1870)
35. Sulthan Mahmud
Syah (1870-1874)
36. Sulthan Muhammad
Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan
31 adalah orang yang sama )
3. Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil
Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh,
termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala
Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil
menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka,
kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah
pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan
ke Malaka pada 1629.
|
Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut: |
1. Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran
wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kecamatan) yang
masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Panglima Sagoe, yaitu:
- Sagoe XXII Mukim,
- Sagoe XXV Mukim
- Sagoe XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe
terdapat beberapa Uleebalang dengan daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim
(ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di
bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang
bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masing-masing dipimpin
oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.
2. Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam
daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar
Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama dengan aturan
wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
3. Daerah yang Berdiri
Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke
dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah
yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh
Darussalam (hasjmy, 1961:3)
4. Sistem
Pemerintahan
Ketika dipimpin oleh Sultan
Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1577-1589), Kesultanan Aceh
Darussalam sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Qanun Syarak
Kesultanan Aceh Darussalam. Undang-undang ini berbasis pada Al-Quran dan Hadits
yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai
aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai
kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh Darussalam telah
memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah
kerajaan konstitusional.
Pada era kepemimpinan Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604),
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki susunan pemerintahan yang sudah cukup
mapan. Kesultanan diperintah oleh Sultan dengan bantuan lima orang besar
(tokoh-tokoh yang dihormarti), bendahara, empat syahbandar. Pada saat itu,
angkatan perang yang dimiliki Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat, yaitu
mempunyai 100 kapal perang di mana setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400
orang prajurit. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak
sekali meriam-meriam besar yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan darat
diperkuat juga dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh para
hulubalang (Said a, 1981:218-219).
Selanjutnya, pemerintahan Kesultanan
Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
merupakan masa kebanggaan dan kemegahan, tidak hanya dalam hal pengaruh dan
kekuasaan, tetapi juga di bidang penertiban susunan pemerintahan, terutama
dalam hal mengadakan penertiban perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat
(sipil), kedudukan rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama anggota
pemerintahan, dan sebagainya. Sultan Iskandar Muda telah merumuskan
perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Makuta Alam yang disadur
dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan setelahnya.
Penertiban hukum yang dibangun Sultan
Iskandar Muda memperluas kebesarannya sampai ke luar negeri, antara
lain India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan
Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil aturan-aturan hukum di Aceh
untuk ditiru dan diteladani, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian
yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan demikian, Adat
Makuta Alam yang dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda adalah adat yang bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan Aceh
Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum adat.
Dalam makalah bertajuk “Ichtisar
Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda” (1961) yang
ditulis oleh A. Hasjmy disebutkan, susunan pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda menempatkan Sultan
sebagai penguasa tertinggi pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki
hak-hak istimewa, antara lain:
1.
Pembebasan orang dari segala macam hukuman.
2.
Membuat mata uang.
3.
Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau “Yang
Berdaulat”.
4.
Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan
perang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh beberapa lembaga pendukung kesultanan, yaitu antara lain: 1. Majelis Musyawarah Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam sendiri, sedangkan wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai. |
2. Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung)
Sultan Aceh Darussalam juga menjadi
ketua dari lembaga pengadilan tertinggi ini, sedangkan sebagai wakil adalah
Ketua Kadhi Malikul Adil, dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan ulama
dan cerdik-pandai.
3. Majelis Wazir (Dewan Menteri)
Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai
ketua majelis ini, sedangkan Wazir A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai
wakilnya, dan anggota-anggotanya adalah dari kalangan para menteri kesultanan.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam
bertindak sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan
dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang bergelar Laksamana sebagai
wakilnya. Sultan juga berposisi sebagai Pemimpin Tertinggi Kepolisian yang
dibantu oleh Kepala Polisi Negara selaku wakilnya. Ibukota Kesultanan Bandar
Aceh Darussalam (termasuk istananya) berada langsung di bawah pimpinan Sultan
yang dibantu oleh pejabat dengan gelar Teuku Panglima Kawaj sebagai wakilnya.
Di samping itu, Sultan dibantu pula oleh dua orang Sekretaris Kesultanan yang
terdiri dari dua gelar, yaitu (1) Teuku Keureukon Katibumuluk Sri
Indrasura (jabatan ini kira-kira seperti Menteri Sekretaris Negara),
dan (2) Teuku Keureukon Katibulmuluk Sri Indramuda (semacam
Ajun Sekretaris Negara) (Hasjmy, 1961:2).
5. Kondisi
Sosial-Ekonomi
Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang
karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu,
kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara
penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam,
tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga
suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan,
pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata uang. Uang yang
digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu, dan tahil (Said a,
1981:219).
***
Referensi :
·
Hasjmy, A. 1961. Ichtiar
Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda. Banda
Aceh: Tidak Diterbitkan.
·
Langen, van, K.F.H.
1986. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan. Alih Bahasa oleh
Aboe bakar. Banda Aceh: Dokumentasi dan Informasi Aceh
·
Lombard, Denys.
2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
·
Said, Mohammad, H., a.
1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). Medan: PT
Percetakan dan Penerbitan Waspada medan.
·
_______, b.
1985. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Kedua). Medan: PT Percetakan
dan Penerbitan Waspada medan.
·
Sufi, Rusdi &
Wibowo, Agus Budi, a. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. Banda
Aceh: Badan Perpustakaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
·
_______, b.
2004. Ragam Sejarah Aceh. Badan Perpustakaan Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
·
Sulaiman, Isa. 1997. Sejarah
Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
·
_______, & A.R.,
Madjid, A. (eds.). Belanda dan Aceh, Sebuah Bibliografi Sejarah. Aceh: Dinas
Kebudayaan Aceh.
Kerajaan Pedir / Poli
Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam
bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”,
berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan
sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga
kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur
dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam,
sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah
utara.
Sementara dalam kisah
pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam
kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok
tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan
pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus
kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20
hari perjalanan dari utara ke selatan.
Menurut
M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang
datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer
itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh
Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian
berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan
tersebut.
Setelah berlabuh dan
menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang
dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha
Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian
masuk pengaruh Hindu.
Lama kelamaan Kerajaan
Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan
Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa
dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di
Lhokseudu.
Kala itu Kerajaan Sama
Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan
kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama
Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,
Menurut M Junus
Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra
beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu
diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354
– 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari
Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah
tersebut.
Setelah kerajaan Sama
Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya,
Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan
muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam.
Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama
kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.
Meski sebagai kerajaan
otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap
dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat KerajaanAceh
Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum
mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie
beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah
kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.
Sementara Prof.
D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of
South East Asia", mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri
yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat
Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad
15.
Dalam catatan
Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang
Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad
tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri
maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal
asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.
Dari pelabuhan Pedir
juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar.
Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan
Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu
meningkat.
Bahkan vartheme
menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang
penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the
number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500
honderd moneychanger,” kata Varhtema.
Varthema oleh Muhammad
Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam untuk sebuah tujuan
penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari
Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari
Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis
sejumlah buku tentang Aceh.
Dalam catatannya
Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah
menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan
hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration
of Justice,”.
Selain itu Varthema
juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang,
yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang
keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat
alat-alat peletup atau senjata api.
Dalam sebuah riwayat
Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa
Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan
Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah,
berpakaian sutra dan bermahkota emas.
Untuk menjalin
hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim
utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I
Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. Ia disebut tinggal selama lima tahun
singgah dan tingagl di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan
Lamuri (Aceh Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak
(Aceh Timur) dan kerjaan Dangroian (?).
Poli sebagai Pidie
yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan
Nusantara” disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah
negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah
Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting,
yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal
sebagai Kuala Batee.
Menurut Varthema
sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir,
Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua
orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula
Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara
(Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.
Kemudian Raja Ibrahim
yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu
Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan
bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.
Selanjutnya dengan
sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada
tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta.
Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang
adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.
Adapun Silsilah
Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier saat itu adalah Sebagai berikut :
- Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
- Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
- Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun 1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
- Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah, tapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
- Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
- Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
- Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil.
- Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
- Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
- Meurah Po Itam : Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
- Meurah Po Puan : Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
- Meurah Po Thahir : Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
- Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
- Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan sebutan Keumangan Teungeut.
- Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
- Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.
Referensi :
Raja Pertama
Negeri Samalanga
Kali ini kita akan berjalan-jalan ke sebuah negeri di
pesisir utara Aceh, bernama Samalanga, Raja Pertama nya adalah
seorang Permata dari Melayu Johor , dialah Tun Sri Lanang. Tun Sri
Lanang sebenarnya dia dalah seorang Bendahara di Kerajaan Johor. Nama aslinya
adalah Tun Muhammad. Dia diangkat menjadi Raja Pertama Samalanga
pada tahun 1615. Kisah Tun Sri Lanang ini diambil dari rangkuman beberapa
penulis.
Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis
menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke
kerajaan lainnya yang belum dijamah Portugis. Sebut saja Pahang, Johor, Pidie,
Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan Aceh. Portugis berusaha
menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan tanpa perlawanan yang berarti.
Perkembangan tersebut membuat gundah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530).
Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di Sumatera
dan Semenanjung Tanah Melayu ini dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan
didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan para pencari suaka dari Melaka
yang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh
Darussalam pada tahun 1512, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil
seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip. “Siapa kuat hidup,
Siapa lemah tenggelam”. Karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun negeri
yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik, luar negeri,
militer yang tangguh, ekonomi yang handal dan pengaturan hukum/ketatanegaraan
yang teratur. Dengan strategi inilah, menurut pikiran Sultan, Kerajaan Islam
Aceh Darussalam akan menjadi negara yang akan diperhitungkan dalam percaturan
politik global, sesuai dengan masanya dan mampu mengusir Portugis dari negeri
Islam di nusantara yang telah didudukinya.
Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya Sultan Alaidin
Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil dan Iskandar Muda.
Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik yang ada di nusantara maupun
di dunia Internasional. Misalnya Turki, India, Persia,Maroko. Pada zaman inilah
Aceh mampu menempatkan diri dalam kelompok “lima besar Islam” negara-negara
Islam di dunia. Hubungan diplomatik dengan negeri nonmuslim pun dibina
sepanjang tidak mengganggu dan bertentangan dengan asas-asas kerajaan (A.
Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah).
Perseteruan kerajaan Aceh dengan Portugis terus berlangsung sampai tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang danTrenggano. Populasi penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk didaerah takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, Deli. Sultan Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor, pada tahun 1613. Seluruh pendudukJohor, termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar- pembesar negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Putroe Phang) dan Bendaharanya (Perdana Mentri), Tun Muhammad kemudian dipindahkan ke Aceh. Sultan Iskandar Muda kemudian menjadikan Tun SriLanang sebagai raja pertama ke Samalanga atas saran dari Putri Kamaliah. (A.K. Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949). Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat. |
Tun Sri Lanang Di Nobatkan Sebagai Raja Pertama Samalanga
Penobatan Tun Sri Lanang menjadi Raja Samalanga mendapat
dukungan rakyat, karena disamping dia ahli di bidang pemerintahan juga alim
dalam ilmu agama. Sultan Iskandar Mudamengharapkan dengan penunjukan tersebut
akan membantu pengembangan Islam di pesisir Timur Aceh. Namun penunjukkan Tun
Sri Lanang sebagai raja tidak serta merta berjalan mulus. Hal itu karena adanya
tentangan dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei.
Dia justru menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama
Samalanga.
Menurut kisah dan penuturan orang- orang tua di sana. Setelah
Hakim Peut Misee dan sebelas orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat
setempat selesai membuka negeri Samalanga, lalu mereka bermusyawarah untuk
menentukan siapa diantara mereka yang berhak menjadi raja pertamaSamalanga.
Diantara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan
keuleebalanganSamalanga dan daerah takluknya,terjadi perselisihan dan perbedaan
pendapat. Demi mengatasi perselisihan tersebut,atas saran masyarakat,
keduabelas orang panitia tersebut kemudian menghadapSultan Iskandar Muda.
Mereka menyerahkan keputusan tersebut kepada sultan, yang akan menentukan
pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam itu.
Rencana dan kabar tersebut diam-diam sampai juga ketelinga
Puteri Pahang. Dia mengetahui rencana pertemuan duabelas tokoh masyarakat yang
akan menghadap sultan. Putri Pahang menginginkan ke-uleebalangan Samalanga dan
daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara, yang bergelar Tun Sri Lanang, yang
tak lain adalah saudaranya sendiri. Siasat pun diatur dan berbagai cara juga
ditempuh. Lalu Tun Sri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, di sana dia
harus berpura-pura sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat
bintang. Berdasarkan rencanaPutri Pahang, Tun SriLanang harus sampai duluan di
Samalanga dan ke dua belas tokoh masyarakat tersebut diusahakan menggunakan
jasa Tun Sri Lanang untuk berlayar ke Kuala Acehmenghadap Sultan.
Pada hari yang telah di sepakati bersama, berangkatlah dua belas
orang panitia menghadap sultan dengan didampingi seorang pawang dari kuala
Samalanga menuju kuala Aceh. Ke dua belas orang itu kemudian bertemu dengan
Sultandan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mereka lalu meminta kepada Sultan
agar salah satu dari mereka dinobatkan menjadi ulee balang pertama Samalanga.
Setelah meminta pendapat orang - orang besar kerajaan dan Puteri Pahang, Sultan
setuju menobatkan salah satu dari mereka menjadi Raja pertama. Namun dengan satu
syarat apabila cincin kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok di
jari kelingking mereka.
Mereka lalu mecoba satu persatu di jari mereka, tetapi cincin
kerajaan tersebut terlalu besar untuk dipakai pada jari kedua belas orang
tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mereka apa ada orang lain yang tidak
dibawa ke balai rung Istana? Mereka dengan hati kesal menjawab memang masih ada
tukang perahu. Tun Sri Lanang pun kemudian dihadapkan kehadapan Sultan. Dia
mencoba cincin kerajaan itu, ternyata sangat cocok untuk jari kelingkingnya.
Karena itu kemudian Sultan Iskandar Muda menobatkan Tun Sri
Lanang menjadi Raja pertamaSamalanga. Namun sewaktu mereka pulang, Tun Sri
Lanang tiba-tiba dibuang di tengah laut di kawasan Laweung. Kejadian tersebut
kemudian dikenal dalam masyarakat Samalanga sebagaiPeristiwa Laut. Beruntung,
Tun Sri Lanang berhasil diselamatakan oleh Maha raja Lela Keujroeun Tjoereh
(Laweung).
Setelah menyelamatkan Tun Sri Lanang, Maharaja Lela Keujroeun
Tjoereh bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Sultan. Mereka
memberitahukan penemuan Tun Sri Lanang di tengah laut. Mendengar berita
tersebut, Sultan sangat murka, dia kemudian memerintahkan Maharaja Goerah
bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom danMaharaja Lela Keu jroeun Tjoereh
menemani Tun Sri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas orang
panitia persiapan ke uleebalangan pun akhirnya dihukum pancung oleh sultan.
Tun Sri Lanang menjadi Uleebalang pertama Samalanga pada tahun
1615-1659 M. Dia mangkat dan dimakamakan didesa Meunasah Leung Samalanga. Pada
masa pemerintahannya, dia berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat
pengembangan Islam di kawasan Timur Aceh. Tradisi itu terus berlanjut sampai
sekarang. Samalanga menjadi kubu kuat Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad
Daud Syah menentang penjajahan Belanda.
Disamping ahli pemerintahan, Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai
pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin.
Menurut Winstedt, kitab ini dikarang mulai bulan Februari 1614 dan selesai
Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai. Ketika di Batu Sawar,Tun
Sri Lanang sudah mulai menyusun penulisan sejarah Melayu berasaskan kitab
Hikayat Melayu yang diberikan oleh Yang Dipertuan di Hilir, Raja Abdullah. Dia
kembali menyambung pekerjaanya menyusun dan mengarang kitab sejarah Melayu
tersebut di Aceh sampai lengkap.
Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan
siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang –
pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil
karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sebagai
berikut : “Setelah fakir allazi murakkabun ‘a;a jahlihi maka fakir perkejutlah
diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan mohonkan taufik ke hadrat Allah,
Tuhan sani’il - ‘alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi’l ‘anam, dan minta
ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami’
tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda". Maka
fakir namai hikayaat ini “ Sulalatus Salatin” yakni “pertuturan segala
Raja-Raja”.
Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh yaitu Tun Rembau yang lebih
dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga
Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir
namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian keturunannya
kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) disana sepertiTun
Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang Riau, Lingga (1688- 1697).
KeturunanTun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Trenggano, Pahang, Johor
dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.
Kerajaan
Linge Gayo
Pendahuluan
Fhoto di atas adalah
sebagian bukti yang tidak jelas keberadaannya, yang merupakan "peninggalan
Kerajaan Linge", ada lagi peninggalan Kerajaan Linge konon orang desa
setempat mengatakan bahwa rumah adat pitu ruang (tujuh ruang) itu adalah tempat
tinggal Kerajaan Linge dari Raja Linge I-XIII, tapi ini semua di dapatkan
berdasarkan hasil wawancara saja. Pertanyaan yang mungkin timbul salah satu
dari kita adalah, siapakah raja yang I, II, III dan seterusnya sampai ke XIII
tersebut yang pernah menjadi raja di kerajaan linge itu sendiri? Kemudian dalam
hal ini juga ada sedikit yang belum jelas, yaitu tentang Silsilah dari Kerajaan
Linge itu sendiri, yang konon kata penjaga rumah itu ada sampai 13 Raja yang
berkuasa di Kerajaan Linge pada saat itu, tapi apakah benar adanya ini semua?
atau mungkin hanya cerita belaka saja, atau juga mungkin referensi tentang
menyangkut silsilah ini belum ditemukan.
Siapa yang harus di
salahkan? Pemerintah, Sejarawan, Tokoh Masyarakat, atau orang tua terdahulu?
Semua benar, mengapa demikian? Buktinya:
Pemerintah kurang
memperhatikan sejarah, bisa dilihat dari tempat kantor kerja pemerintah Aceh
Tengah, contohnya di kantor Bupati Aceh Tengah, di kantor ini hampir setiap
sudut ruangan tidak ada yang bercorak bangunan Gayo, Misal Kerawang Gayo. Di
daerah Pematang Siantar, setiap kantornya itu ada corak dari pada adat bangunan
kantor tempat mereka kerja. Sebab itulah kota Pematang Siantar menjadi terjaga
dan banyak di minati oleh wisata-wisatawan asing datang kesana, Pertanyaannya
adalah mengapa kita tidak bisa?.
Sejarawan juga kurang
spesifik dalam hal ini, pasalnya sejarawan kurang mengkaji lebih dalam tentang
Kerajaan Linge, akibat dari pada hal tersebut, semua orang yang ingin mengkaji
tentang Kerajaan Linge ini menjadi tidak berminat, ini lah yang terjadi pada
saat sekarang ini, semua generasi penerus tidak sedikit yang mau meneliti lebih
dalam tentang hal ini, tapi referensi dari Kerajaan Linge ini minim, kalaupun
ada, itu tidak dijadikan sumber utama, karena bukti-bukti dari referensi atau
sumber itu hanya kebanyakan dari hasil wawancara saja.
Tokoh masyarakat,
terkadang kita harus selalu menanyakan tentang apa saja yang terjadi di
masyarakat kita, yang selalu harus di korelasikan dengan tokoh masyarakat kita.
Misalnya saja dalam hal adat, ada pesta pernikahan, yang selalu di hadiri oleh
tokoh masyarakat dimana dia berdomisili, tetapi akankah tokoh masyarakat itu
mengerti bagaimana dengan adat gayo yang sebenarnya? Akankah Tokoh masyarakat
itu mengerti sejarah adat pernikahan gayo? Inilah yang seharusnya dilakukan
oleh tokoh masyarakat kita, yang mampu memperkenalkan sejarah lebih banyak
kepada masyarakatnya.
Pada hakikatnya suatu
negara, atau suku bangsa itu maju dengan mengerti akan jati diri mereka. Dewasa
ini kita sering mendengar dari kalangan ilmuan sains yang mengatakan bahwa
sejarah tidak memiliki arti penting dalam ilmu manapun, mereka membuktikan
dengan tidak adanya manfaat yang diberikan oleh ilmu sejarah di dalam berbagai
bidang ilmu pada saat ini, terlebih lagi jaman sekarang telah mengikuti
perkembangannya dengan ilmu pengetahuan yang serba canggih melalui media dunia
maya yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan perkembangan
jaman itu sendiri. Hal ini di akibatkan oleh kurangnya peranan dari kalangan
sejarawan atau orang-orang terdahulu yang mengimplementasikan sejarah itu
sendiri. Padahal, apabila kita tinjau dari beberapa pandangan mengenai arti
pentingnya ilmu sejarah itu sendiri adalah :
Ilmu sejarah dapat
menyadarkan kita kepada jaman terdahulu yang sangat maju dan berkembang dari
berbagai bidang, contohnya saja pada jaman penjajahan kolonial Belanda, bangsa
Belanda sendiri sangat sulit menguasai daerah Aceh sendiri, hal ini di sebabkan
oleh orang-orang Aceh sendiri yang memegang erat agamanya sendiri, hal itulah
yang menyebabkan penajajahan kolonial Belanda lama menguasai Aceh.
di nasional sendiri
kita pernah menguasai sebagian Asia, yaitu dengan kerajaan Majapahit, yang
dengan semboyan palapa-nya.
Dari kedua contoh
diatas kita seharusnya mengikuti jejak-jejak dari pada sejarah tersebut. Yang
mana seyogiayanya kita mengeratkan agama kita agar kita tidak dapat lagi di
kuasai oleh penjajahan yang tidak nampak jelas jika di pandang melalui
pandangan kasat mata. Karena dengan agama lah kita dapat menghambat datangnya
penguasa-penguasa yang memandang sebelah mata kepada kita.
Kemudian dari kerajaan
Majapahit kita selayaknya selalu membuat semboyan atau “visi-misi” istilah
sekarang yang membuat kita berpegang teguh dengan tujuan tersebut untuk
mencapai suatu tujuan dalam berbagai hal, baik dalam hal pendidikan, maupun
dalam hal politik dan lainnya.
Untuk mencoba membuat
referensi yang "detail" mengenai Kerajaan Linge itu sangatlah sulit,
karena amat sedikitnya referensi atau sumber mengenai Kerajaan Linge itu
sendiri. Kemudian timbul pertanyaan "Mengapa hal itu bisa terjadi hal
seperti itu? Sehingga membuat binggung generasi penerus dalam memberikan
penjelasan tentang jati diri dari suku Gayo itu sendiri!".
Suatu titipan bagi
generasi muda yang harus mengungkap bagaimana sejarah Kerajaan Linge itu
sebenarnya, apakah benar dengan adanya Kerajaan Linge itu? Semua kalangan harus
mengupas tuntas yang menyangkut hal ini, karena masalah ini adalah masalah jati
diri suku bangsa gayo itu sendiri. Dalam hal ini kembali kita ingat akan kata
pahlawan kita Jenderal Sudirman,"Tidak ada kemenangan kalau tidak ada
kekuatan, tidak ada kekuatan kalau tidak ada persatuan dan persatuan itu harus
disertai dengan silaturrahmi. Maka dari pernyataan tersebut, bisa dikutip,
untuk membuat suatu pernyataan, kita harus menyatukan perbedaan pendapat dalam
konteks Kerajaan Linge ini, tidak boleh mengutamakan pendapat suatu individu
untuk di jadikan referensi atau sumber yang utama.
Sangat sulit untuk
membuat suatu referensi tentang Kerajaan Reje Linge, pasalya semua ini di
akibatkan oleh kurangnya sumber-sumber tentang Kerajaan Linge itu sendiri.
Sampai saat ini orang-orang gayo sendiri sangat kurang dalam menulis tentang
Kerajaan Linge itu sendiri. Jika berbicara lebih luas mengenai Kerajaan Linge,
maka harus banyak juga melakukan penelitian, baik penelitian secara kualitatif,
maupun kuantitatif.
Sejarah kerajaan linge
ini adalah salah satu hasil penipuan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa yang
secara turun temurun mengelapkan kita untuk bangkit dalam mendalami asal
kejadian dari kerajaan linge itu sendiri yang merupakan juga asal dari pada
suku gayo itu sendiri.
Adanya Kerjaan Linge
itu betul ada, tapi yang diragukan sekarang adalah sejarah dari pada Kerjaan
Linge itu simpang siur. Dengan adanya beberapa bukti yang sampai saat ini masih
ada, kita mempercayai dinasti Kerjaan Linge itu ada, salah satu pecahanya adalah
samudra pasai (pase) yang merupakan keturunan Raja Lingga (linge).
Untuk membicarakan suatu kenyataan sejarah, maka tidak terlepas dengan bukti-bukti yang harus dikaitkan dalam penulisan. Dari referensi di atas menurut dapat disimpulkan adanya Kerajaan Linge itu sekitar 60%, mengapa demikian? Karena ilmu sejarah itu bisa di buktikan dengan 4 hal, 1) Fakta (bukti Peninggalan), 2) Waktu, 3) dimana terjadinya kejadian tersebut? 4) Wawacara dengan orang yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Dengan demikian Semua kejadian sejarah, di perlukan bukti yang kuat untuk menjadikannya suatu sejarah yang sah. |
Kerajaan Linge hingga
saat ini memang masih di masukkan dalam kemisteriusan dunia sejarah, terutama
di daerah Aceh Tengah sebagai asal dari Kerajaan Linge itu sendiri. Hal ini
dibuktikan dengan belum di resmikannya hingga saat ini Kerajaan Linge sebagai Kerajaan
yang permanen di Aceh Tengah.
Untuk mempersatukan
bangsa Indonesia, masing-masing individu dari suku bangsa tersebut harus
mengetahui jati diri mereka itu sendiri, tentunya semua itu harus dengan
mengerti sejarah dari suku bangsa itu sendiri. Dengan dimengertinya sejarah
dari pada suku bangsa itu, maka individu tersebut akan bersatu, itu semua di
sebabkan oleh mengerti dengan apa-apa yang harus mereka lakukan di dalam
kehidupan lingkungan masyarakat mereka sendiri. Mengetahui dan mengenal asal usul
suku bangsa sendiri maupun suku bangsa orang lain merupakan bentuk kepedulian
terhadap bangsa yang sedang di duduki ini. Dengan demikian, individu dapat
menghargai dan mempelajari lebih tentang dari suku sendiri maupu suku orang
lain, yang tujuannya adalah mempererat kebudayaan Indonesia.
Asal Kata Linge
Kata linge terdiri
dari dua kata; "ling" dan "nge". "Ling" dalam
bahasa Indonesia artinya adalah suara, sedangkan "nge" dalam bahasa
Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata
tersebut adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya
tidak jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang
atau masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi
Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti hanya
sedikit dari yang diharapkan.
Latar
Belakang Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah
sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H)
dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai
empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I
mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang
berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).
Pada saat Adi Genali
membangun Negeri Linge, maka pada saat bersamaan juga diberikan pusaka tersebut
kepadanya yang diberikan gelar "Cik Serule (Paman Serule)". Nama
serule disini adalah salah satu perkampungan yang ada di Kecamatan Linge Kabupaten
Aceh Tengah.
Pusaka ini diberikan
saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan
seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik
Serule". Menjadi suatu perselisihan dan kebinggungan yang mendalam dari
diri saya yang timbul, disebabkan oleh banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat
dari semua apa yang telah saya dapatkan dan saya baca.
Dari situs
http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/21/didong-dimulai-sejak-jaman-reje-linge-xiii/,
saya membaca tentang didong gayo yang menurut Ismuha, (13/7), Kabid kebudayaan
Pemkab Bener Meriah, kesenian didong dimulai sejak Reje Linge ke 13. Kemudian,
di sini timbul pertanyaan yang besar bagi kita, lantas kapan Reje Linge I-XII
itu terjadi?
Di situs lain dikatakan
juga oleh Fajri, Kokasih Bakar dan Uwein mengatakan bahwa Reje Linge itu
merupakan kekeberen istilah gayo dan berita rakyat dalam bahasa Indonesia, yang
langsung mereka wawancarai dengan A. Djamil seorang Sejarawan Gayô.Dalam
kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu
Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke
10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8
s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada
abad 12 M atau 13 M).Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal
kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara
yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau Tengku
Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih).Agama Islam yang dianut bisa
dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas
benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum
diketahui karena sudah kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa
dilihat dan disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja
Lingë yang pergi ke Karô).
Raja Lingë mempunyai 4
anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang perempuan bernama Datu Beru, dan
ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan Syah, Ali Syah dan Malam Syah.Ketika
besar khusus anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak
yang ke-3 bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan
pisau. Hal ini tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin
kepada Raja Lingë untuk pergi ke daerah Karô.
Walau pada mulanya
Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati sebelum kepergian
mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak
Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka). Sedangkan Datu Béru memegang kunci
khajanah Kerajaan Lingë.
Ali
Syah, anak ke-3 Raja Lingë I
Ali Syah bersama
rombongan berangkat menuju Karô menuju daerah yang disebut Blang Munté. Pada
daerah tersebut Ali Syah bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti dan
menetapkan bahwa tempat itu sebagai tempat ia terakhir bersama rombongan.
Tinggallah Ali Syah
seorang diri selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam sebuah kesempatan
ketika kemudian mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu dengan gadis dan bujang
sedang menyekot (mencari ika) yang kemdian diketahui berasal dari negeri
Pak-Pak. kemudian menjadi teman dan bergaul, akhirnya menikah dengan beberu
pak-pak tersebut sampai berketurunan. Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan
hidup disana.
Terdapat sebuah kisah
yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah yang sudah tua
tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan kenduri (dinamai kenduri
Mergang merdem). Acara kenduri tersebut diadakan agak jauh dari tempat Ali Syah
tinggal sehingga keturunannya atau cucunya ditugaskan untuk memberikan nasi
beserta ikan kepadanya. Ternyata ketika sampai di sana didapatinya ikannya
hanya tinggal tulang belulang saja karena telah dihabisi oleh anak cucunya,
mendengar ini ia amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén) anak cucu
keturunannya menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat buktinya disana
di Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.Namun, ternyata ada yang lolos dari
kutukkannya seorang aman mayak (pengantin Pria), inén mayak (Pengantin Wanita)
yang sedang hamil dan satu lagi adiknnya inén mayak tersebut. Melihat tersebut
Aman Mayak pergi meninggalkan daerah tersebut untuk menceritakan hal ini kepada
Raja Lingë. Mendengar hal tersebut segera dikirimkan rombongan kesana untuk
mencari tahu atau menguburkan bila ada yang meninggal.
Setelah lantas
diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang disebut dengan
Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar. Saat itu di pinggir sungai
tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum, mereka mecoba menangkap
Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka berdua melewati sungai
tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir terlepas dari pegangan kepada
Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang sedang mengandung tersebut
mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko lao’, atau ‘berhentilah kau air’,
sehingga sampai sekarang ada pusaran air disana. Dan karena ada kejadian inilah
orang-orang Gayô disana dilarang memakan daging Giôngén.
Sesampai diseberang
sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya dibawa arus air
sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya diselamatkan oleh adiknya di
pinggir sungai. Pada saat anak tersebut kehausan datanglah seekor Kerbau atau
Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya membiarkan anak kakaknya untuk menyusu
terhadap kerbau tersebut.
Akhirnya mereka berdua
ditangkap oleh orang kampông tersebut, saat itu mereka sedang mencari Kôrô
jégéd (Kerbau berwarna putih Krim) punya Raja yang hilang. Ketika menemukan
kerbaunya sedang menyusui seorang anak manusia maka orang-orang Kampung
tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat tersebut telah melahirkan.
Mereka lantas
melaporkan kepada Raja Bakal, lantas oleh Sang Raja anak tersebut dianggp
sebagai penerusnya, karena ia sampi saat itu tidak mempunyai seorang anakpun.
Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan sekaligus memelihara anak kakaknya yang
sudah tiada.
Dalam keadaan tersebut
sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di kampungnya Aman Mayak mereka
sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi, maka mereka pun berusaha mencari istri
dan adik istri dari Aman Mayak tersebut.Mereka pun akhirnya sampai di perkampungan
Bakal tersebut, lantas merekapun mendengar berita tentang keganjilan-keganjilan
yang terjadi saat itu. Mereka memutuskan untuk dapat menunggu lebih lama untuk
mencari informasi. Sampai akhirnya bertemu dengan adik dari istrinya dan
bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran bahwa sesungguhnya anak
dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak atau keturunan Raja Lingë.
Mengetahui hal
tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal, menyampaikan tujuan ke
kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya Kôrô Jégéd itu adalah
anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada saksi dari adiknnya
istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil keputusan akan ada perkelahian
antara Pang untuk bersitengkahan (bacok-bacokan). Pang Sikucil, dan Pang Réjé
Bakal bertengkah, panglima Réjé Bakal selalu bergeser bila ditengkah.
Sedangakan Pang Sikucil dari Lingë tidak bergeser sedikit pun. Zaman terebut
setelah bertengkah maka bersesebutan antara Réjé Bakal dan Réjé Lingë. Akhirnya
anaknya ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat nama Lingë tersebut
jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul (Paranormal Hebat),
mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan adanya hubungan
antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di Karô.Djohan Syah, Anak ke
2 Réjé Lingë
Sepeninggal adiknya
Djohan Syah juga ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau Bayeun (dalam
bahasa Aceh) di Kuala Simpang. Ingin belajar kepada Tengku Abdullah Kan’an dari
Arab, seorang Tengku yang terkenal. Cukup lama Djohan Syah menuntut ilmu hingga
mencapai gelar Mualim.
Ketika jumlah muridnya
cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada murid-muridnya bahwa ia berencana
akan mencoba mengembangkan Agama Islam ke Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih
belum Islam.
Ketika rombongan
Tengku tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam peperangan antara
Raja-Raja Besar yang ada dengan utusan dari Nan King atau China yang bernama
Nian Niu Lingkë , Pétroneng. Namun kekuatan dari Puteri Cina tersebut tidak
terlawan karena ada ilmu sihir, sehingga banyak Raja yang berhasil dikuasai dan
takluk kepada mereka, sampai akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak
Sibreh.
Ketika tiba rombongan
tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya kepada ke Réjé Lamkrak
dengan syarat mereka diberikan tempat khusus serta meminta syahadat dari Raja
Langkrak. Dengan alasan tersebut akhirnya masuk Islam Raja Langkra.
Setelah itu akhirnya
ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi Panglima Perang, satu per satu
dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan Syah, yang akhirnya menjadi
Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal oleh Tengku bekalnya, juga kepada
semua murid-muridnya untuk berperang.
Ke 300 orang ini kelak
disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari salah satu
Bangsa Aceh ini.
Setelah itu Djohan
Syah memimpin peperangan dengan berbekalkan ilmu Al quran sehingga akhirnya
Puteri dari Cina tersebtu akhirnya berhasil dikalahkan, Ratu Petromenk kalah,
sehingga ia mundur pada basis pertahannya terakhir di Lingkë.
Melihat hal tersebut
Djohan Syah merubah strateginya dalam memenangkan peperangan dengan memblockade
saja benteng terakhir ini, hingga Putri Neng meminta damai. Dalam perjanjian
damainya Tengku Abdullah megatakan mau berdamai dengan syarat Putri Neng
mengucapkan syahadat.Putri Neng mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara
rahasia. Akhirnya di tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian
terjadi dan sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa
belum sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan Syah
dengan Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan’an.
Kemenangan tersebut
megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat menjadi Sultan
Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah. Sehingga Raja-raja yang bergabung
disana mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I Djohan Syah, dan menjadikan Agama
Islam berkembang dengan pesat disana.
Malam Syah dan Datu
Beru tetap bersama Raja Lingë I, Malim Syah akan meneruskan Pemerintahan
Kerajaan Lingë sedangkan Datu Beru akan menjadi pemegang kunci rahasia Kerajaan
Lingë.
Kerajaan
Malik Ishaq
Islam pertama kali datang
dari Ghujarat dan Arab yang singgah di Perlak, sehingga menjadi salah satu
Kerjaan Islam di Pesisir Utara Sumatera.
Sewaktu terjadi
perangan Kerajaan Perlak dengan Sriwijaya dari Palembang sampai 20 tahun.
Sultan Malik Ishaq waktu itu ia menyuruh mengungsikan perempuan dan anak-anak,
ada suatu negeri yang ada Kuté-kuté yang akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah
Ishaq sekarang.
Anak Malik Ishaq
adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang Mersah. Kuburannya
sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi tidak bisa diketahui lagi
kuburannya karena sudah diratakan dengan tanah, namun telaga muyang mérsah
masih ada.
Muyang Mérsah
menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah Jérnah, Mérah Bacam, Mérah
Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang bungsu Mérah Mégé. Namun
Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua orang tuanya yang kerap kali
membuat iri dari adik-adiknya, sehingga mereka merencanakan akan
membunuhnya.Kesempatan itu datang pada saat merayakan Maulid Nabi di Ishaq maka
pihak perempuannya menyiapkan kreres (lemang) sedangkan laki-lakinya mungarô
(berburu) untuk lauk dari kreres tersebut. Akhirnya si bengsu diajak ngarô
untuk kemudian dibunuh, namun kakak-kakaknya ternyat tidak sampai hati membunuh
adiknya tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang datu. Mengetahui bahwa
anak bungsunya hilang membuat marah orang tuanya.
Ketika Mérah Mégé ada
di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari anjingnya yang bernama
‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang oleh abang-abangnya anjing
tesebut kemudian selalu mencarikan makanan untuk Mérah Mégé. Bahkan makanan
yang diberikan kepadanya. Dibawanya ke Loyang Datu untuk kemudian diberikan
kepada Mérah Mégé.
Keanehan atau
keganjilan dari Pase ini tentunya akhirnya mendapat perhatian dari Muyang
Mérsah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk dapat mengikuti anjing tesebut dengan
berbagai upaya, yaitu ketika memberikan makanan kepada anjing tersebut ia juga
menaruh dedak sehingga kemanapun anjing tersebut akan meninggalkan jejaknya.
Hingga akhirnya diketemukan Mérah Mégé tersebut. Yang kemudian dirayakan dengan
besar-besaran oleh Muyang Bersah.
Kemudian Mérah Mégé
menjagai pusaka, dan keturunannya tersebar diseluruh Aceh, Meulaboh, Aceh
Selatan daerah Kluet, seluruh perairan diseluruh Aceh, didahului dengan nama
Mérah.
Keenam
Anak Muyang Mérsah
Keenam Saudara Mérah
Mégé akhirnyua lari, pertama kali lari ke Ishaq karena malu. Namun begitu
diketahui Raja dan kemudian akan disusul mereka lari kembali ke Tukél kemudian
membuka daerah yang bernama Jagong, dikejar kembali sampai akhirnya ke Sérbé
Jadi (Serbajadi Sekarang). Dikejar terus anaknya, karena rasa sayang, setelah
rasa marahnya Raja tersebut hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya
akhirnya mereka sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama
Islam pada daerah yang akan ditempatinya.
Mérah Bacang, si
sulung, pergi ke batak untuk mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli.Yang
ke-2 Mérah Jérnang ke Kala Lawé, Meulaboh.
Yang ke-3 Mérah Pupuk
Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé antara Meulaboh dan Kutéréjé.
Yang ke- 4 dan 5 Mérah
Pôtéh Dan Mérah Itém di Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada
kuburannya.
Yang ke-6 Mérah Silu
ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén
Mérah
Sinabung
Mérah Silu mempunyai
seorang anak yang bernama Mérah Sinabung (Dalam bahasa Gayô Mérah Sinôbông).
Mérah Sinambung ternyata lebih berwatak sebagai Panglima, sehingga hoby adalah
mengembara. Sampai ia berada pada suatu daerah yang sedang berperang. Perang
yang terjadi antaran Kerajaan Jémpa dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu
sudah beragama Islam, hingga akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa
tersebut dan berhasil memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa
baiknya tersebut akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah
Sinabung.,
Keduanya mempunya 2
orang anak yang bernama Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah Mérah Sinabung
wafat maka naiklah Malik Ahmad menjadi Raja Jempa, akan tetapi ada syak
wasangka terhadapa Mérah Silu, karena ia lebih berbakat dan lebih alim serta
lebih dicintai rakyatnya maka timbul kecemburuan yang terjadi.
Untuk mencegah hal-hal
yang tidak diinginkan maka Mérah Silu akhirnya pergi ke daerah Arun, Blang
Sukun, untuk menghabiskan waktunya ia bekerja sebagai pande emas, besi dan
barang logam lainnya sedangkan malamnya ia mengajar mengaji.Lama kelamaan orang
sekitar menjadi mengenal Mérah Silu sebagai Mualim, tokoh masyarakat, akhirnya
menjadi Réjé di Lhoksmawé. Sehingga kemudian ia diangkat menjadi Sultan Pase
pertama atau disebut dengan Sultan Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase
merupakan sebutan yang diambil dari nama anjing yang telah menyelahamatkan
Datunya, Mérah Mégé.
Kerajaan Benua Tamiang
1. Sejarah
Kesultanan Benua Tamiang merupakan
kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak. Belum
ditemukan data dan sumber yang pasti tentang kapan masuknya Islam, proses
perkembangannya, hingga mulai terbentuk Kesultanan Benua Tamiang yang telah
dipengaruhi oleh sistem politik yang berasaskan Islam. Berikut ini akan
dijelaskan terlebih dahulu masa awal pembentukan Negeri Tamiang sebagai cikal
bakal berdirinya Kesultanan Benua Tamiang.
A. Masa Awal
Pembentukan Tamiang
Bukti adanya
Negeri Tamiang adalah bersumber dari data-data sejarah, seperti dalam Prasasti
Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya
yang terdapat pada situs Tamiang.
Pada tahun 960,
di wilayah Aceh Timur telah berkuasa seorang raja di Negeri Tamiang bernama Tan
Ganda. Negeri ini berpusat di Bandar Serangjaya. Bandar ini pernah diserang
oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda meninggal. Anak Raja Tan
Ganda, Tan Penuh berhasil melarikan diri dari serangan itu. Ketika kondisi
Negeri Tamiang telah aman, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah
pedalaman, yaitu Bandar Bukit Karang, di dekat Sungai Simpang Kanan. Sejak saat
pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan raja-rajanya
sebagai berikut: Tan Penuh (1023-1044); Tan Kelat (1044-1088); Tan Indah
(1088-1122); Tan Banda (1122-1150); dan Tan Penok (1150-1190).
Sepeninggalan
Tan Penok, karena tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkatnya bernama
Pucook Sulooh diangkat sebagai raja yang menggantikan dirinya. Sejak saat itu,
Kerajaan Bukit Karang dikuasai oleh Dinasti Sulooh, dengan rara-rajanya sebagai
berikut: Raja Pucook Sulooh (1190-1256); Raja Po Pala (1256-1278); Raja Po
Dewangsa (1278-1300); dan Raja Po Dinok (1300-1330).
Pada akhir pemerintahan Raja Po
Dinok (1330), sebuah rombongan para da‘i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian
Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di
Tamiang. Kedatangan para da‘i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po
Dinok. Ia menyerang rombongan tersebut yang menyebabkan dirinya tewas di medan
perang. Sejak saat itulah, Islam mulai berkembang di Tamiang.
B. Masa
Kesultanan Benua Tamiang
Proses
islamisasi di Tamiang berlangsung relatif singkat. Setelah masuknya rombongan
da‘i ke Tamiang dan melakukan dakwah keagamaan, banyak rakyat Tamiang yang
kemudian memeluk Islam. Berdasarkan kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah
dengan para bangsawan dan rakyat Tamiang yang telah memeluk Islam, maka
ditunjuklah Sultan Muda Setia sebagai Sultan I di Kesultanan Benua Tamiang
(1330-1352). Dengan demikian, kesultanan ini mulai berdiri pada tahun 1330.
Pusat pemerintahan kesultanan ini letaknya kini di Kota Kualasimpang.
Di akhir
pemerintahan Sultan Muda Setia (1352), Kesultanan Benua Tamiang diserang oleh
Kerajaan Majapahit. Mangkubumi Muda Sedinu ternyata mampu mengatasi serangan
tersebut, meski kondisi Kesultanan Benua Tamiang sempat porak-poranda. Atas
kemampuannya tersebut, Mangkubumi Muda Sedinu dipercaya menggantikan kedudukan
Sultan Muda Sedia pada tahun 1352, namun bukan dalam kedudukannya sebagai
sultan, hanya sebagai pemangku sultan saja. Pada masa pemerintahan Muda Sedinu
ini, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke Pagar Alam (kini letaknya
sekitar daerah Simpang Jenih) karena alasan keamanan dan pertahanan.
Pemerintahan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369.
Tahta kekuasaan
kesultanan kemudian beralih ke Sultan Po Malat sebagai Sultan II (1369-1412).
Pada masanya, serangan Majapahit masih berlanjut hingga menyebabkan kegiatan
penyebaran Islam di kesultanan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Penggantinya, Sultan Po Tunggal atau Sultan III (1412-1454) juga tidak dapat
berbuat banyak. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Sultan Po Tunggal hanya
mengkoordinir kekuatan baru dan menyusun pemerintahan kembali.
Keadaan baru
dapat kembali stabil pada masa pemerintahan Sultan Po Kandis atau Sultan IV
(1454-1490). Pada masanya, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan dari Pagar
Alam ke Kota Menanggini (kini bernama Karang Baru). Kegiatan penyiaran Islam
kembali dapat dilakukan pada masa ini. Sultan Po Kandis memprioritaskan
kegiatan pendidikan Islam dan pembinaan seni budaya yang bernafaskan Islam
sebagai program utama pemerintahannya.
Sultan Po Kandis digantikan oleh
anaknya sendiri, Sultan Po Garang sebagai Sultan V (1490-1528). Oleh karena
tidak mempunyai anak, ia kemudian digantikan oleh menantunya Po Kandis, ipar Po
garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558). Peristiwa penting yang
terjadi pada masa Sultan VI ini adalah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari
Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530).
Ketika itu Sultan Ali Mughayat Syah gencar mempersatukan kerajaan-kerajaan
kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, yang tujuannya adalah sebagai
strategi penting untuk menghadapi serangan Portugis. Masa pemerintahan Sultan VI
ini dapat dikatakan sebagai masa berakhirnya Kesultanan Benua Tamiang.
2. Silsilah
Urutan
sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Benua Tamiang adalah sebagai berikut:
1.
Sultan Muda Setia (1330-1352)
2.
Mangkubumi Muda Sedinu (1352-1369)
3.
Sultan Po Malat (1369-1412)
4.
Sultan Po Kandis (1454-1490)
5.
Sultan Po Garang (1490-1528)
6.
Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558)
3. Periode
Pemerintahan
Kesultanan Benua Tamiang dapat eksis
selama dua abad lebih (1320-1558). Selama rentang waktu yang panjang itu,
kesultanan ini pernah mengalami masa pasang surut. Kesultanan ini kini telah
masuk ke dalam sistem pemerintahan masa modern, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang.
Terbentuknya kabupaten ini didasarkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2002,
tertanggal 10 April 2002. Pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten ini resmi menjadi
kabupaten otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Timur.
4. Wilayah
Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Benua
Tamiang mencakup daerah-daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh
Tamiang, yaitu: Bendahara, Karangbaru, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Manyak
Payed, Rantau, Seruway, dan Tamiang Hulu.
5. Struktur
Pemerintahan
Kesultanan
Benua Tamiang diperintah oleh seorang sultan. Dalam kegiatan pemerintahan
sehari-harinya, ia dibantu oleh seorang mangkubumi yang bertugas mengawasi
jalannya pemerintahan dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada sultan. Dalam
bidang hukum, diangkat seorang Qadhi Besar yang bertugas mengawasi pelaksanaan
hukum, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum.
Di tingkat
pemerintahan daerah, sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu: (1)
Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan; (2) Datuk-datuk Delapan
Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman; (3) Raja-raja Imam yang
memimpin para imam di daerah-derah dan sekaligus bertindak sebagai penegak
hukum di daerah.
Dalam bidang keamanan dan pertahanan
kesultanan, juga dibentuk laskar-laskar rakyat yang sepenuhnya menjadi tanggung
jawab seorang panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh panglima daerah,
yaitu Panglima Birin, Panglima Gempal Alam, Panglima Nayan, Panglima Kuntum
Menda, Panglima Ranggas, Penglima Megah Burai, dan Panglima Nakuta Banding
(khusus untuk di laut). Tingkat kepemimpinan yang paling bawah di kelaskaran
ini adalah Pang yang ada di setiap kampung di daerah-daerah kekuasaan
Kesultanan Benua Tamiang.
6. Kehidupan
Sosial-Budaya
Data kehidupan
sosio-budaya berikut ini merupakan data pada masa modern, yaitu pada masa
Kabupaten Aceh Tamiang. Kabupaten ini merupakan satu-satunya kawasan di Aceh
yang dikuasai oleh etnis Melayu. Di samping etnis Melayu, di kabupaten ini juga
terdiri dari etnis Aceh, Gayo, Jawa, Karo, dan lain sebagainya.
Sektor
pertanian masih memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat Tamiang
sebab penduduk di kabupaten ini mayoritas berprofesi sebagai petani. Sekitar
29.201 rumah tangga petani menggeluti dunia bercocok tanam, yang terbanyak
berada di Kecamatan Kejuruan Muda (7.093 rumah tangga). Tanaman pangan yang
biasa ditanam penduduk adalah padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Sedangkan tanaman perkebunan yang dibudidayakan di antaranya adalah karet,
kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao, dan jeruk. Dalam beberapa tahun terakhir
ini, sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB)
sebesar 40 persen lebih, dan kontribusi terbesarnya adalah dari tanaman bahan
pangan, yaitu sekitar 20 persen.
Wilayah Aceh
Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi
menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan) dan Sungai/Krueng Kaloy.
Keberadaan sungai-sungai ini bagi masyarakat Tamiang sangat penting karena di
samping dapat digunakan sebagai pengairan tanaman pangan juga dapat digunakan
sebagai alat transportasi, seperti untuk mengangkut produksi pertanian,
perkebunan, maupun untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan
konstruksi.
(HS/sej/35/12-07).
Sumber:
- “Kabupaten Aceh Tamiang”, dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/02/otonomi/883110.htm, diakses tanggal 4 Desember 2007.
- Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Kerajaan
Trumon dan Benteng Kuta
Batee
Memiliki cap sikureng
(cap sembilan) dan mata uang sendiri yang di akui dunia, membuat kerajaan
Trumon dikenal bangsa Asia dan Eropa. Bahkan mempunyai armada dagang bernama
Diana dan Le-Xemie yang membawa lada ke Penang, India dan Timur Tengah.
Henurut H. Muhammad
Said, dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, dijelaskan, kerajaan Trumon didirikan
Tengku Djakfar atau lebih dikenal dengan sebutan Teuku Raja Singkil sekitar
abad ke - 18. Beliau putra dari Ja Johan, salah satu keturunan Ja Thahir dari
Bagdad yang menetap di Batee, Pidie. Tengku Djakfar adalah murid dari Tengku di
Anjong Peulanggahan.
Setelah belajar dan
memperdalam agama Islam, beliau di utus gurunya untuk berangkat ke sebelah
Barat Aceh. Tengku Djakfar, memilih Ujong Serangga, Susoh, Kabupaten Aceh
Barat Daya, sebagai tempat mengembangkan ilmunya.
Di Ujong Serangga,
Tengku Djakfar mengajar agama Islam, hingga pada akhirnya memperoleh gelar
labai (tengku atau ulama). Beberapa tahun di Ujong Serangga, labai Djakfar,
begitu dia dipanggil, melanjutkan perjalannya ke Singkil dan menetap di sana.
Sekitar tahun 1780,
Tengku Djakfar mulai menata dan membangun Trumon. Beliaulah yang menjadi
penguasa dan raja pertama di daerah yang terkenal dengan penghasil lada pada
saat itu.
Nama Trumon, konon
bermula sewaktu Tengku Djakfar membuka perkebunan lada di daerah sebelah utara
Singkil. Pada saat itu, beliau menemukan sebuah sumur tua dan ditepinya
terdapat sebatang terung, yang dalam bahasa Aceh disebut “ Trueng Bineimon”.
Sejak itulah, daratan tersebut terkenal dengan nama Trumon.
Puncak kejayaan
kerajaan Trumon, dicapai dibawah pemerintahan Teuku Raja Fansury Alamsyah atau
lebih dikenal dengan Teuku Raja Batak. Beliau merupakan raja ketiga,
menggantikan ayahnya, Teuku Raja Bujang, yang sebelumnya menerima tahta dari
kakeknya ( Tengku Djakfar), yang tak lain adalah pendiri kerajaan Trumon.
Menurut beberapa
sumber, pada masa Teuku Raja Batak inilah Benteng Kuta Batee dibangun. Benteng
ini, selain berfungsi sebagai pertahanan ketika diserang musuh (penjajah), juga
digunakan sebagai pusat pengendalian pemerintahan oleh raja. Di dalamnya juga
terdapat istana raja dan sebuah gudang tempat menyimpan barang-barang penting
milik kerajaan.
Luas benteng tersebut,
sekitar 60x60 meter dengan tinggi sekitar empat meter.Tebal dindingnya mencapai
satu meter dengan tiga lapisan. Bagian luar terbuat dari batu bata, kemudian
pasir setebal 30 senti meter dan bagian dalam dari batu bata tanah liat.
Di sekeliling benteng,
juga terdapat balai sidang. Balai ini biasanya digunakan untuk rapat atau
sidang-sidang adat kerajaan yang dipimpin langsung oleh raja. Selain itu, juga
terdapat rumah sula (penjara) sebagai tempat bagi yang divonis hukuman mati.
Bukti lain yang
membuat kerajaan Trumon terkenal, karena salah satu diantara sembilan kerajaan
di Aceh yang memiliki cap sikureng (sembilan). Di samping itu, kerajaan Trumon
juga memiliki mata uang sendiri sebagai alat tukar yang sah, bukan saja di akui
di Aceh, tapi juga diakui dunia.
Kesultanan Trumon,
merupakan bagian dari kerajaan Batak yang di akuisisi oleh kesultanan Aceh
setelah rajanya masuk Islam.Itu dapat dilihat dari bendera kerajaan Trumon yang
menjadi cikal bakal bendera yang dipakai Sisingamangaraja XII (dua belas).
Kerajaan Batak
Sisingamangaraja VII, diduga masih memiliki hubungan dengan kerajaaan di
Singkil, khusunya kerajaan Trumon. Sebelum di akui oleh kerajaan Aceh, kerajaan
Trumon merupakan provinsi dari Kesultanan Barus.
Ketika bencana tsunami
melanda Aceh, 26 Desember 2004 lalu, meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh.
Trumon, juga menjadi salah satu sasaran dari bencana tersebut. Namun, benteng
Kuta Batee selamat dari ancaman tsunami.
Padahal, benteng
tersebut hanya terletak sepuluh meter dari bibir pantai. Menurut sumber
masyarakat di sana, konon, beredar kabar ini sebuah keajaiban dan tidak masuk
akal. Karena, disaat air laut naik setinggi dua meter, justeru tidak masuk ke
dalam benteng tersebut. Bisa saja air masuk lewat pintu atau jendela benteng.
Di sisi lain, rumah
dan bangunan toko yang berada di sekitar benteng hancur porak-poranda dihamtam
gelombang tsunami. Masyarakat beranggapan, benteng tersebut luput dari bencana,
disebabkan berkat do’a raja-raja Trumon yang terkenal alim dan heroik.
***
0 Response to " Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh "
Posting Komentar