Hukôm bak Syiah Kuala
Kanun bak Putroe Phang
Reusam bak Laksamana
Reusam bak Laksamana
Hadih maja di atas kini sangat populer. Hampir dalam setiap
diskusi, orang mengutip nasihat indatu itu sebagai pembuka. Apa sebenarnya
maksud yang terkandung dalam setiap baris hadih maja di atas?
Pada edisi kali ini mari sama-sama kita lihat maksud baris pertama
hadih maja di atas, Adat bak Poteu Meureuhôm. Penggalan hadih maja ini dapat
dipahami dengan melihat kata adat dan Poteu Meureuhôm. Sekadar mengingatkan
kembali, pada edisi 35 telah disebutkan, adat adalah kebiasaan, kelaziman,
peraturan, dan ketentuan. Pengertian ini merupakan pengertian dasar dari adat.
Namun, untuk pengertian luasnya, jika dikaitkan dengan baris pertama hadih maja
tersebut, Mohd. Harun dalam bukunya Memahami Orang Aceh menyebutkan bahwa adat
berarti kekuasaan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan Poteu Meureuhôm? Masih merujuk pada
buku yang sama, disebutkan bahwa Poteu Meureuhôm berarti Paduka Almarhum.
Paduka Almarhum itu sendiri bermakna raja yang sudah meninggal dunia. Lebih
lanjut, disebutkan bahwa dalam bahasa Aceh, Poteu identik dengan our king dalam
bahasa Inggris.
Berkaitan dengan Poteu Meureuhôm ini, Mohd. Harun (2009)
menyatakan bahwa istilah tersebut tidak berarti bahwa yang memegang kekuasaan
itu adalah raja yang sudah almarhum. Menurutnya, maksud istilah itu ialah siapa
pun raja yang sedang berkuasa, dialah yang memegang jabatan eksekutif
tertinggi.
Berkaitan dengan Poteu Meureuhôm ini, Mohd. Harun (2009)
menyatakan, istilah tersebut tidak berarti bahwa yang memegang kekuasaan itu
adalah raja yang sudah almarhum. Menurutnya, maksud istilah itu ialah siapa pun
raja yang sedang berkuasa, dialah yang memegang jabatan eksekutif tertinggi. Istilah
Poteu Meureuhôm itu dinisbatkan kepada Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yang
memerintah Kerajaan Aceh Darussalam selama tiga puluh tahun (1607-1636). Di
bawah sultan termasyhur inilah disusun sistem pemerintahan Kerajaan Aceh
Darussalam yang lebih teratur.
Ini sekaligus merupakan bukti bahwa hadih maja ini muncul setelah
Iskandar Muda meninggal dunia yang antara lain ditandai oleh adanya penggunaan
kata Meureuhôm ‘Almarhum’. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adat dan
Poteu Meureuhôm pada Adat bak Poteu Meureuhôm, masing-masing bermakna kekuasaan
dan paduka almarhum.
Badan
eksekutif Kerajaan Aceh
Pada pembahasan diatas telah disebutkan, Poteu Meureuhôm tidak berarti yang memegang kekuasaan itu raja yang almarhum, tetapi siapa pun raja yang sedang berkuasa, dialah yang memegang jabatan eksekutif tertinggi.
Berbicara masalah eksekutif, pada zaman dulu Kerajaan Aceh memiliki struktur eksekutif tersendiri yang diatur dalam Undang-Undang Kerajaan Aceh Darussalam atau Kanun Meukuta Alam Al-Asyi yang dibuat masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Mohd. Harun dalam bukunya Memahami Orang Aceh (2009) mengutip pernyataan Hasjmy, mengatakan bahwa struktur eksekutif itu terdiri dari (1) raja atau sultan, (2) panglima sagoe, (3) ulèebalang, (4) imeum mukim, dan (5) keuchik.
Apa sebenarnya arti kelima struktur eksekutif tersebut? Mohd. Harun dalam bukunya Memahami Orang Aceh (2009) menjelaskan arti kelima istilah itu sebagai berikut.
Raja adalah pimpinan tertinggi yang berkuasa atas semua wilayah negara. Dalam Kerajaan Aceh tempo dulu, raja bergelar Sultan Imam Malikul Adil. Secara administratif, raja dibantu oleh seorang kadhi atau kali dalam bahasa Aceh. Kadhi ini bergelar Kadhi Malikul Adil (Kali Malikôn Adé). Panglima sagoe merupakan gelar untuk jabatan Wilayah Sagoe. Sagoe bermakna wilayah yang terdiri dari federasi beberapa nanggroe (kenegerian) yang dipimpin ulèebalang.
Wilayah Sagoe hanya dikenal di Aceh Tiga Segi atau Aceh inti atau Aceh Besar sekarang, suatu wilayah yang mengelilingi ibu kota Kerajaan Aceh. Ketiga sagoe itu adalah (1) Sagoe Teungoh Lhèe Plôh, (2) Sagoe Dua Plôh Nam, (3) Sagoe Dua Plôh Dua. Masing-masing sagoe dipimpin seorang panglima sagoe yang dibantu oleh kadhi sagoe.
Ulèebalang adalah pimpinan yang menguasai satu wilayah nanggroe. Wilayah nanggroe terdiri dari beberapa satuan wilayah mukim. Ulèebalang dibantu oleh seorang kadhi nanggroe.
Imeum mukim adalah pimpinan suatu wilayah setingkat di bawah nanggroe. Ia secara otonom menguasai wilayah mukim yang merupakan federasi beberapa gampông. Imeum mukim dibantu oleh seorang atau beberapa orang wakil mukim dan seorang kadhi mukim.
Keuchik atau dalam dialek tertentu disebut geuchik adalah pemimpin di sebuah gampông. Ia dibantu oleh seorang waki keuchik, seorang teungku meunasah atau imam rawatib, dan tuha peuet atau dewan empat. Mengenai kata keuchik, ada sebagian orang tua mengatakan, kata tersebut berasal dari kata ku (ayah) dan chik (tua). Dari kedua kata ini, keuchik diartikan, orang yang mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada ayah dalam sebuah kampung.
Pada pembahasan diatas telah disebutkan, Poteu Meureuhôm tidak berarti yang memegang kekuasaan itu raja yang almarhum, tetapi siapa pun raja yang sedang berkuasa, dialah yang memegang jabatan eksekutif tertinggi.
Berbicara masalah eksekutif, pada zaman dulu Kerajaan Aceh memiliki struktur eksekutif tersendiri yang diatur dalam Undang-Undang Kerajaan Aceh Darussalam atau Kanun Meukuta Alam Al-Asyi yang dibuat masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Mohd. Harun dalam bukunya Memahami Orang Aceh (2009) mengutip pernyataan Hasjmy, mengatakan bahwa struktur eksekutif itu terdiri dari (1) raja atau sultan, (2) panglima sagoe, (3) ulèebalang, (4) imeum mukim, dan (5) keuchik.
Apa sebenarnya arti kelima struktur eksekutif tersebut? Mohd. Harun dalam bukunya Memahami Orang Aceh (2009) menjelaskan arti kelima istilah itu sebagai berikut.
Raja adalah pimpinan tertinggi yang berkuasa atas semua wilayah negara. Dalam Kerajaan Aceh tempo dulu, raja bergelar Sultan Imam Malikul Adil. Secara administratif, raja dibantu oleh seorang kadhi atau kali dalam bahasa Aceh. Kadhi ini bergelar Kadhi Malikul Adil (Kali Malikôn Adé). Panglima sagoe merupakan gelar untuk jabatan Wilayah Sagoe. Sagoe bermakna wilayah yang terdiri dari federasi beberapa nanggroe (kenegerian) yang dipimpin ulèebalang.
Wilayah Sagoe hanya dikenal di Aceh Tiga Segi atau Aceh inti atau Aceh Besar sekarang, suatu wilayah yang mengelilingi ibu kota Kerajaan Aceh. Ketiga sagoe itu adalah (1) Sagoe Teungoh Lhèe Plôh, (2) Sagoe Dua Plôh Nam, (3) Sagoe Dua Plôh Dua. Masing-masing sagoe dipimpin seorang panglima sagoe yang dibantu oleh kadhi sagoe.
Ulèebalang adalah pimpinan yang menguasai satu wilayah nanggroe. Wilayah nanggroe terdiri dari beberapa satuan wilayah mukim. Ulèebalang dibantu oleh seorang kadhi nanggroe.
Imeum mukim adalah pimpinan suatu wilayah setingkat di bawah nanggroe. Ia secara otonom menguasai wilayah mukim yang merupakan federasi beberapa gampông. Imeum mukim dibantu oleh seorang atau beberapa orang wakil mukim dan seorang kadhi mukim.
Keuchik atau dalam dialek tertentu disebut geuchik adalah pemimpin di sebuah gampông. Ia dibantu oleh seorang waki keuchik, seorang teungku meunasah atau imam rawatib, dan tuha peuet atau dewan empat. Mengenai kata keuchik, ada sebagian orang tua mengatakan, kata tersebut berasal dari kata ku (ayah) dan chik (tua). Dari kedua kata ini, keuchik diartikan, orang yang mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada ayah dalam sebuah kampung.
0 Response to " Adat bak Poteu Meureuhôm "
Posting Komentar