USUL
RANCANGAN PENELITIAN PENULISAN SKRIPSI
1. JUDUL :
KEKUATAN
PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM
MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN
(Suatu Penelitian
di Wilayah Hukum Pengadila Negeri Banda Aceh)
2.
DATA PENELITI
Nama : Boy Aditya Mawardi
Nim : 0503101010060
Angkatan :
2005
Jurusan :
Pidana
SKS Yang Dicapai : 144 SKS
Sudah/Belum Lulus Semua
Mata Kuliah
Wajib : Sudah
Alamat
: Montasik
3. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemeriksaan
suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah
bertujuan untuk mencari kebenaran materil terhadap perkara tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu
perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan
penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.
Usaha-usaha
yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu
perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan
pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan : Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian
yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah
atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Di dalam
usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu
perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah
atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah
tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka
bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran
materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Menurut
ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga
ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli
pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : Dalam hal penyidik menganggap perlu,
ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Sedangkan
untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan,
disebutkan pada Pasal 180
ayat (1) yang menyatakan : Dalam hal
diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta
agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
Salah satu tindak pidana yang pengungkapannya
membutuhkan keterangan ahli adalah
tindak pidana perkosaan, tindak
pidana perkosaan membutuhkan keterangan
dokter ahli untuk mengungkap keadaan
korban yang sebenarnya. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis
dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et
repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan
sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas
permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu
yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah
pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang
sebaik-baiknya.1
Mengingat bahwa untuk mengungkap suatu kasus perkosaan
yang berdasarkan Pasal 285 KUHP harus dapat dibuktikan terlebih dahulu ada atau
tidaknya tanda-tanda persetubuhan (hubungan badan), ada atau tidaknya
tanda-tanda kekerasan/ancaman kekerasan yang mana kedua unsur tersebut
merupakan syarat mutlak untuk bisa dikatakan perbuatan perkosaan. Oleh sebah
itu peran dari bantuan dokter ahli berupa visum
et repertum sangat dibutuhkan untuk membuktikan unsur-unsur tersebut.
Penggunaan visum
et repertum sangat penting dalam pembuktian tindak pidana khususnya dalam kasus
tindak pidana perkosaan untuk mengungkap keadaan korban yang sebenarnya. Selain
itu visum et repertum merupakan alat
bukti yang sah didalam KUHAP dan mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian yang
dapat digunakan penegak hukum untuk pembuktian tindak pidana perkosaan sehingga
dapat menimbulkan keyakinan hakim. Hal ini mengingat bahwa tindak pidana
perkosaan merupakan salah satu bentuk penyimpangan niai-nilai moralitas dalam
masyarakat dimana pebuatan kriminal ini terus berkembang baik dari segi kuantitas
maupun kualitas perbuatannya.
Berdasarkan penelitian sementara di wilayah hukum
Penagadilan Negeri Banda Aceh, dalam periode tahun 2010/2011 tercatat beberapa
kasus asusila yang delapan diantaranya merupakan kasus perkosaan. Kasus-kasus
perkosaan tersebut terjadi dengan berbagai modus operandi, oleh sebab itu
membutuhkan upaya yang serius yang semestinya dilakukan aparat penegak hukum
untuk mengungkap serta menanggulanginya supaya tercapai negara hukum yang adil
dan beradab sesuai dengan amanah konstitusi.
Berdasarkan
latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya
diteliti dan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
penggunaan visum et repertum dalam mengungkap suatu tindak pidana
perkosaan ?
2.
Bagaimanakah kekuatan pembuktian visum et repertum dalam mengungkap tindak pidana perkosaan ?
3.
Apa saja hambatan terhadap penggunaan visum et repertum dalam
pembuktian tindak pidana perkosaan ?
4. PENELAAHAN
KEPUSTAKAAN
A. Tinjauan Umum Mengenai
Visum et Repertum
a.
Pengertian Visum et Repertum
Visum et
repertum berkaitan erat
dengan Ilmu Kedokteran Forensik. Mengenai disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya
dikenal dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja menjelaskan
bahwa Ilmu Kedokteran Keha-kiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang
menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam
perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu
Kedokteran Kehakiman adalah membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam
menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu
pengetahuan kedokteran.2
Tugas dari
Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu aparat hukum (baik kepolisian,
kejaksaan, dan kehakiman) dalam mengungkapkan suatu perkara yang berkaitan
dengan pengrusakan tubuh, kesehatan dan nyawa seseorang. Dengan bantuan Ilmu
Kedokteran Kehakiman tersebut, diharapkan keputusan yang hendak diambil oleh
badan peradilan menjadi obyektif berdasarkan apa yang sesungguhnya terjadi.
Bentuk
bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat terjadi tindak
pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka atau
meninggal) dan pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini akan diterangkan dan
diberikan hasilnya secara tertulis dalam bentuk surat yang dikenal dengan istilah
visum et repertum.3
Visum et
repertum adalah istilah
yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”.
Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”.
Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa”
berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang
bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan,
sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat
dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum
adalah apa yang dilihat dan diketemukan.4
Berdasarkan
ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP tidak diberikan
pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian visum et repertum.
Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan pengertian mengenai visum
et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan dalam
ketentuan Staatsblad tersebut bahwa : “Visum et Repertum adalah laporan
tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang
dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada
pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta
berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.5
Abdul
Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum sebagai berikut :
“Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang
dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula
kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.6
Dari
pengertian visum et repertum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa visum
et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan
dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam
hal ini visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses
peradilan..
Menurut
pendapat Tjan Han Tjong, visum et repertum merupakan suatu hal yang
penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya corpus delicti
(tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut
perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si
korban merupakan corpus delicti.
b. Jenis visum
et repertum
Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter yang berbentuk laporan
tertulis terhadap barang bukti yang
diperuntukkan untuk kepentingan peradilan guna tercapainya keadilan, visum et repertum di golongkan menurut
obyek yang di periksa sebagai berikut :
1. Visum et repertum untuk orang hidup.
Jenis ini dibedakan lagi dalam
:
a. Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini di berikan kepada pihak
peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
b.Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara
diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat
membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan visum et
repertum lanjutan.
c. Visum et repertum lanjutan.
Dalam hal ini korban tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain,
atau meninggal dunia.
2. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah).
Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka
penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk
dilakukan bedah mayat (outopsi).
3. Visum et repertum tempat kejadian perkara (TKP). Visum ini di buat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan
di tempat kejadian perkara (TKP).
4. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini di buat setelah dokter
selesai melaksanakan penggalian jenazah.
5. Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada
saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.
6.
Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang di temukan yang ada hubungannya dengan tindak
pidana, contohnya darah, bercak mani (sperma), selongsong
peluru, pisau.7
Dalam
penulisan skripsi ini, visum et repertum yang dimaksud adalah visum et repertum untuk orang hidup,
yaitu visum et repertum yang di buat
dalam membuktikan kasus perkosaan.
khususnya yang di buat oleh dokter berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak
pidana perkosaan.
c. Bentuk umum visum
et repertum
Agar di dapat keseragaman
mengenai bentuk pokok visum et repertum, maka di tetapkan ketentuan mengenai susunan visum
et repertum sebagai berikut :
1. Pada sudut kiri atas di tuliskan “PRO
YUSTISIA”, artinya bahwa isi visum et repertum hanya untuk kepentingan
peradilan.
2. Di tengah atas di tuliskan Jenis visum et repertum serta
nomor visum et repertum tersebut.
3. Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan
yang berisikan :
a.
Identitas
Peminta Visum et Repertum.
b.
Identitas
Surat Permintaan Visum et Repertum.
c.
Saat
penerimaan Surat Permintaan Visum et
Repertum.
d.
Identitas
Dokter pembuat Visum et Repertum.
e.
Identitas
korban/barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum.
f.
Keterangan
kejadian sebagaimana tercantum di dalam Surat Permintaan Visum et Repertum.
4. Bagian Pemberitaan, merupakan hasil
pemeriksaan dokter terhadap apa yang di lihat dan ditemukan pada barang bukti.
5. Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan
dokter atas analisa yang di lakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti.
6. Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari
dokter bahwa visum et repertum ini di buat atas dasar sumpah dan janji pada
waktu menerima jabatan.
Dari bagian
visum et repertum sebagaimana tersebut di atas, keterangan yang merupakan pengganti
barang bukti yaitu pada Bagian Pemberitaan. Sedangkan pada Bagian Kesimpulan
dapat dikatakan merupakan pendapat subyektif dari dokter pemeriksa.
d. Visum
et repertum sebagai alat bukti
Dalam KUHAP
tidak terdapat satu pasalpun yang secara eksplisit memuat perkataan visum et
repertum. Hanya di dalam Staatsblad
Tahun 1937 Nomor 350 pada Pasal 1 di nyatakan bahwa visum et repertum adalah
suatu keterangan tertulis yang di buat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang
apa yang di lihat pada benda yang di periksanya yang mempunyai daya bukti dalam
perkara-perkara pidana.
KUHAP tidak
pula menjelaskan secara langsung mengenai kedudukan visum et repertum
sebagai alat bukti. Perihal apa yang dimaksud dengan alat bukti yang sah,
disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) :
Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi ;
b. keterangan ahli ;
c. surat ;
d. petunjuk ;
e. keterangan terdakwa.
Apabila di tinjau dari
ketentuan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang merupakan satu-satunya ketentuan
yang memberikan definisi visum et repertum, maka sebagai alat bukti visum
et repertum termasuk alat bukti surat karena keterangan yang dibuat oleh
dokter dituangkan dalam bentuk tertulis.9
Menurut Waluyadi, Visum et repertum merupakan keterangan tertulis dalam
bentuk surat yang dibuat atas sumpah jabatan yaitu jabatan sebagai seorang
dokter, sehingga surat tersebut mempunyai keontentikan sebagai alat bukti.10
Di samping
ketentuan Staatsblad Tahun 1937 Nomor
350 yang menjadi dasar hukum kedudukan visum et repertum, ketentuan
lainnya yang juga memberi kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti
surat yaitu Pasal 184 ayat (1) butir c KUHAP mengenai alat bukti surat serta
Pasal 187 butir c yang menyatakan bahwa : Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184
ayat (1) butir c, di buat atas sumpah jabatan atau di kuatkan dengan
sumpah, Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang di minta secara resmi dari padanya.
Dengan
demikian berdasarkan pengertian yuridis dari visum et repertum yang di berikan oleh Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 maka
kedua pasal KUHAP tersebut telah memberi kedudukan visum et repertum
sebagai suatu alat bukti surat dalam pemeriksaan perkara pidana.
B. Kajian Mengenai Teori Hukum Pembuktian Pidana
a. Pengertian pembuktian
Pada dasarnya KUHAP tidak
memberikan pengertian mengenai pembuktian sehingga pengertian mengenai
pembuktian di berikan oleh para ahli. Menurut Prof. R Subekti, kegiatan
pembuktian ini di maksudkan sebagai kegiatan meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang di kemukakan dalam suatu persengketaan.11
Martiman prodjohamidjodjo, menjelaskan arti pembuktian
sebagai berikut :
“(membuktikan) mengandung
maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat
diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Baik dalam proses
acara pidana maupun acara perdata di perlukan adanya pembuktian, yang memegang
peranan penting”.12
Menurut Bambang purnomo, yang dimaksud dengan pembuktian
pembuktian adalah sebagai berikut :
“Suatu pembuktian menurut
hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakikat
adanya fakta-fakta yang di peroleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran
yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi
fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana”.13
Menurut pendapat M. yahya harahap pembuktian dapat di
artikan sebagai berikut :
“Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
di benarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang di dakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang di benarkan oleh undang-undang dan boleh di pergunakan oleh hakim
membuktikan kesalahan yang di dakwakan”.14
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah di paparkan di
atas, dapat di simpulkan bahwa unsur-unsur dan ruang lingkup pembuktian
meliputi hal-hal seperti di bawah ini :
1)
Ketentuan atau aturan
hukum yang berisi penggarisan dan pedoman cara yang dibenarkan undang-undang
dalam membuktikan kesalahan terdakwa, atau di sebut juga degan sistem
pembuktian.
2)
Ketentuan yang
mengatur mengenai alat bukti yang di benarkan dan di akui oleh undang-undang
serta yang boleh di gunakan hakim dalam membuktikan kesalahan
3)
Ketentuan yang mengatur
cara menggunakan dan menilai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti.
4)
Pembuktian merupakan
upaya menumbuhkan keyakinan hakim yang berdasarkan dalil-dalil yang bertujan
untuk tegaknya kebenaran.
Berdasarkan unsur-unsur di atas, hukum pembuktian mempunyai
peranan yang penting dalam poses hukum acara pidana, dan oleh sebab itu mutlak
harus dikuasai oleh semua unsur penegak hukum dalam berbagai tahap pemeriksaan
perkara pidana.
b.
Asas-asas pembuktian
Dalam hukum pembuktian
pidana di kenal beberapa prinsip yaitu :
1)
Hal yang secara umum
sudah di ketahui tidak perlu di buktikan.
Prinsip
ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2) yang berbunyi : “hal yang secara umum
sudah di ketahui tidak perlu di buktikan.” Notoire
feiten adalah suatu kesimpulan umum yang di dasarkan pengalaman umum bahwa
suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat
yang selalu demikian. Hanya dengan notoire
feiten tanpa di kuatkan oleh alat bukti lain yang sah menurut
undang-undang. Hakim tidak boleh yakin atas kesalahan terdakwa.
2)
Menjadi saksi adalah
kewajiban
Prinsip
ini seperti yang di atur didalam Pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi : saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian syarat seorang wajib
menjadi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentngan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
3)
Satu saksi bukan saksi
(unus testis nullus testis)
Hal
ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : keterangan seorang
saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa salah terhadap perbuatan yang
di dakwakan kepadanya. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu orang saksi bukan
saksi. Menurut Undang-undang menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan
pengalaman praktek, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak
atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada
perkara pidana dalam pemeriksaan acara biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan
dengan alat bukti keterangan saksi yang di berikan oleh satu orang saksi tanpa
di kuatkan atau di dukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah, maka
kesaksian yang berdiri sendiri tersebut tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tututan hukum.
4)
Pengakuan terdakwa
tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum dalam membuktikan kesalahan
terdakwa.
Prinsip
ini merupakan penegasan dari lawan asas pembuktian berbalik yang tidak dikenal
di dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP). Seperti yang terkandung didalam
Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
c.
Sistem pembuktian
Dalam hukum acara pidana di
kenal adanya beberapa sistem/teori pembuktian yaitu sebagai berikut :
1)
Sistem pembuktian
berdasarkan Undang-Undang secara positif (positif
wittelijke bewijsteorie)
Sistem hukum pembuktian ini
melihat nilai kebenaran itu hanya pada alat bukti yang di atur dalam Undang-Undang
tanpa di perlukan keyakinan hakim. Dapat kita lihat bahwa nilai kebenaran dalam
sistem pembuktian ini adalah kebenaran formil.
2)
Sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim semata-mata (confiction
intime)
Dalam sistem ini hakim tidak
terikat kepada suatu alat bukti pun, tetapi hakim dapat memutuskan perkara
hanya dengan keyakinan hakim belaka. Artinya bahwa keyakinan hakim itu secara
mutlak dapat mengenyampingkan alat-alat bukti.
3)
Sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan yang logis (confiction raisonee)
Hakim dapat memutuskan perkara
berdasarkan keyakinannya, namun harus di sertai alasan-alasan yang dapat di pertanggung
jawabkan secara akal sehat (logis) dan juga secara hukum.
4)
Sistem pembuktian
berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief
wattelijke)
Dalam sistem ini hakim dapat
memutus seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang di
tetapkan secara limitatif oleh Undang-Undang sehingga hakim memperoleh
keyakinan tentang hal itu.15
didalam Pasal 183 KUHAP dapat dijelaskan bahwa hukum acara pidana di Indonesia
menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief wattelijke), hal ini dapat kita
simpulkan berdasarkan rumusan dari Pasal 183 KUHAP yang bunyinya : Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dari rumusan pasal diatas maka
unsur untuk dapat memidanakan tedakwa itu adalah minimum dua buah alat bukti
yang sah dan keyakinan hakim. Oleh sebab itu didalam pembuktian yang
berdasarkan sistem negatief wattelijke tidak
mensyaratkan keseluruhan alat bukti yang diatur dalam undang-undang dalam
penjatuhan pidana.
C. Pengaturan
Tindak Pidana Perkosaan dalam Undang-undang
Mengenai
tindak pidana perkosaan atau verkrachting, ketentuan yang mengatur
mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam KUHP dan juga
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Ketentuan mengenai perkosaan di dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu Pasal 81 yang
mengatur :
(1) Setiap
orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan
pidana sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dalam pasal ini (Pasal
81 UU Nomor 23 Tahun 2002) di syaratkan bahwa suatu perkosaan itu di lakukan
terhadap anak atau masih di bawah umur atau belum berusia 18 tahun menurut
undang-undang ini. Sedangkan Pasal 285 KUHP dirumuskan : Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, di ancam karena
melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Berdasarkan
rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan
unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
a. Perbuatannya : memaksa,
b. Caranya : 1) dengan kekerasan,
2) dengan
ancaman kekerasan; seorang wanita bukan istrinya;
c. bersetubuh dengan dia.16
Adapun penjelasan unsur-unsur
tindak pidana perkosaan diatas sebagai berikut:
a) Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen)
adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang
lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan
atau sama dengan kehendaknya sendiri.17
Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa
memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan
kehendak seseorang tersebut. Satochid Kartanegara menyatakan : “perbuatan
memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga
menimbulkan rasa takut pada orang lain.18Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat
juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita “menjadi
terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam
pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang
menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu
sendiri.
b) Kekerasan (geweld) merupakan salah
satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan
menggunakan ancaman kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang
sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang
merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang
pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Beberapa pakar memberikan pengertian kekerasan
sebagai berikut :
Menurut R. Soesilo kekerasan
ialah “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak
syah”. Sedangkan Satochid mengartikan kekerasan adalah “setiap perbuatan yang
terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat.19
Secara lebih khusus, Adami Chazawi
memberikan pengertian kekerasan dalam Pasal 285 sebagai berikut : “Kekerasan
yaitu suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang
lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan
yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak
berdaya secara fisik”.20 Sifat
kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya ialah wujud konkritnya dari
cara kekerasan ada bermacam-macam yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan
kayu, menempeleng, menusuk, dan lain sebagainya.
Mengenai
maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), undang-undang
juga tidak memberikan penjelasannya. Namun dalam arrest Hoge Raad tanggal 5
Januari 1914 dan tanggal 18 Oktober 1915 mengenai “ancaman kekerasan”
disyaratkan :
1) bahwa ancaman harus diucapkan dalam suatu
keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang
diancam, bahwa yang diancamkan tersebut benar-benar akan merugikan kebebasan
pribadinya,
2) bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan
untuk menimbulkan kesan seperti yang diancamkan.21
Menurut Adami
Chazawi, ancaman kekerasan diartikan yaitu :
“ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya
juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan
persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang
berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian
bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku”.22
Kekerasan atau
ancaman kekerasan pada pasal 285 KUHP, ditujukan terhadap wanita itu sendiri
dan bersifat sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan baginya untuk berbuat
lain selain membiarkan tubuhnya untuk disetubuhi. Antara kekerasan dengan
ketidakberdayaan perempuan terdapat hubungan kausal, dan karena tidak berdaya
inilah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadinya persetubuhan
pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan
dan ancaman kekerasan tersebut.
c)
Mengenai
wanita bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang
bukan istrinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh
dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami isteri dalam
perkawinan.
d) Menurut M.H. Tirtamidjaja “mengadakan
hubungan kelamin” atau “bersetubuh” berati persentuhan sebelah dalam kemaluan
laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak
perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.23
Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan
didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau
tanpa disertai ejakulasi.24 Pada
saat ini pengertian “bersetubuh” diartikan bila penis telah masuk (penetrasi)
ke dalam vagina.
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana
perkosaan dalam pasal 285 KUHP di atas, perkosaan tidaklah disebut perkosaan apabila
tidak terbukti adanya persetubuhan, padahal untuk membuktikan adanya
persetubuhan sangat sulit terlebih apabila korban sudah pernah menikah atau
bukan gadis lagi (tidak virgin). Apabila dalam suatu kasus yang diduga sebagai
perkosaan ternyata tidak terbukti adanya persetubuhan, kasus tersebut dapat
diarahkan pada tindak pidana pencabulan dimana dalam tindak pidana tersebut
tidak disyaratkan adanya persetubuhan. Oleh sebab itu sangat penting
dalam kasus perkosaan menggunakan bantuan dokter ahli untuk membuat laporan visum et repertum yang nantinya dapat
dijadikan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dan berguna dalam
mengungkap kasus perkosaan.
5. RUANG LINGKUP DAN TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan
judul penelitian yaitu, “Kekuatan
Pembuktian Visum et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Perkosaan”, maka ruang lingkupnya adalah bidang hukum pidana
khususnya menyangkut pembuktian tindak pidana perkosaan melalui visum et repertum sebagai alat bukti.
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah penggunaan visum et repertum dalam mengungkap suatu tindak pidana
perkosaan.
2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian visum
et repertum dalam kasus perkosaan.
3. Untuk mengetahui apa saja hambatan visum et repertum terhadap pembuktian tindak pidana
perkosaan.
6. METODE
PENELITIAN
A.
Definisi Operasional Variabel Penelitian
a) Visum et Repertum adalah Adalah laporan
tertulis (pro justisia) yang dibuat oleh
dokter atas sumpah, tentang segala sesuatu yang diamati (terutama yang dilihat
danditemukan) pada benda yang diperiksa berdasarkan pengetahuan sebaik-baiknya.
b) Pembuktian adalah ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, pembuktian juga
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh
Undang-Undang dan boleh digunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang
didakwakan.
c) Tindak Pidana Perkosaan adalah tindak pidana
menyangkut dengan kesusilaan, dimana pelaku perkosaan melakukan persetubuhan
dengan korban dengan jalan memaksa, baik dengan kekerasan maupun dengan ancaman
kekerasan.
B. Lokasi dan Populasi Penelitian
Dalam
penyusunan skripsi ini diadakan penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Banda Aceh dengan pertimbangan di
tempat tersebut pemeriksaan terhadap kasus perkosaan sering menggunakan visum
et repertum untuk memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidana
perkosaan yang merlukan keahlian
khusus dalam pengungkapannya. Dari lokasi penelitian ini diharapkan dapat
memperoleh data-data dan temuan lainnya guna penyusunan skripsi ini.
C.
Cara Penentuan Sampel Penelitian
Untuk
memperoleh data yang lengkap dan jelas maka dilakukan cara total sampling yaitu
dengan mewawancarai keseluruhan responden beserta infoman yang berhubungan
dengan masalah yang di teliti. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah :
Responden :
a) Dokter Ahli Obsgyn (obstetri ginekologi) 2 oarng
b) Dokter Ahli Lainnya
Informan :
a) Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
(PPA)
b) Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh 2 orang
c) Jaksa Penuntut Umum Dari Kejaksaan Negeri
Banda Aceh 2 orang
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk
memperoleh bahan dan data yang diperlukan dilakukan penelitian Perpustakaan dan
lapangan.
a. Penelitian
Kepustakaan (Library Research)
Penelitian
kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data skunder dengan cara mempelajari
bahan bacaan yang bersifat teoritis
yaitu dengan membaca buku-buku ilmiah, pendapat para sarjana, membaca pada
surat kabar dan mempelajari aturan perundang-undangan yang merupakan dasar
hukum.
b. Penelitian
lapangan (Field Research)
Penelitian
lapangan yang dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan cara mewawancarai
responden dan informan. Responden dan informan tersebut yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
E.
Pengolahan dan Analisis Data
Data
penelitian ini dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu
berusaha menganalisa data dengan menguraikan dan memaparkan secara jelas dan
apa adanya mengenai obyek yang diteliti. Data-data dan informasi yang diperoleh
dari obyek penelitian dikaji dan dianalisa, dikaitkan dengan teori dan
peraturan yang berlaku yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang
diangkat.
7. JADWAL PENELITIAN
Jadwal
penelitian ini dapat dirincikan sebagai berikut :
a.
Pengumpulan data :
45 hari
b.
Pengolahan data :
35 hari
c.
Analisa data :
20 hari
d.
Penulisan skripsi : 45 hari
Jumlah :
145 hari
KERANGKA PENULISAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Ruang Lingkup dan Tujuan Penulisan
C. Metode Penelitian
D. Sistematika Penulisan
BAB II.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Kajian Umum Visum et Repertum
B.
Kajian Mengenai Teori Pembuktian Pidana
C.
Pengaturan
Mengenai Tindak Pidana Perkosaan di Dalam Undang-undang
BAB III. KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM MENGUNGKAP
TINDAK PIDANA PERKOSAAN
A. Penggunaan Visum et Repertum Dalam
Mengungkap Tindak Pidana Perkosaan
B. Kekuatan Pembuktian
Visum et Repertum Dalam Kasus Perkosaan
C. Hambatan Visum et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak Pidana
Perkosaan
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Buku-buku
dan Jurnal
Andi Hamzah, Hukum Acara
Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996.
Adami Chazawi, Tindak Pidana
Mengenai Kesopanan, Biro Konsultasi & Bantuan Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang, 2002.
Bambang Purnomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia,
Amarta Buku, Yogyakarta, 1990
H.M.Soedjatmiko, Ilmu
Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang,
2001.
Leden Marpaung, S.H., Kejahatan
Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta,
Cetakan I, 1996.
Moch. Anwar, Hukum Pidana
Khusus (KUHP Buku II) Jilid II, Alumni Bandung, 1986.
Njowito Hamdani, Ilmu
Kedokteran Kehakiman,
Gramedia Pustaka Tama, 1992.
Martiman ProdjoHamidjodjo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali),
Sinar Grafika, Jakarta, 2000
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma
Kesusilaan dan Norma-norma
Kepatutan, Mandar
Maju, Bandung, 1990.
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi Kedua, Tarsito, Bandung, 1983.
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.
Waluyadi, Ilmu Kedokteran
Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2000.
B. Peraturan
Perundang-undanganan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Negara republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan terhadap
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan kitab
undang-undang hukum acara pidana
1H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang, 2001, hlm.1.
2 R. Atang Ranoemihardja, Ilmu
Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi Kedua, Tarsito,
Bandung, 1983, hlm. 10.
3
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum
Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 26.
4
H.M.Soedjatmiko, Op.Cit., hlm.1.
5 Ibid.
6 R. Atang Ranoemihardja, Op.Cit.,
hlm.18.
7 Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman,
Gramedia Pustaka Tama, 1992, hlm. 26.
8 H.M.
Soedjatmiko, Op. Cit., hlm. 4.
9 Ibid., hlm. 6.
10 Waluyadi, Op.Cit., hlm. 37.
11 R.Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1991. Hlm. 7.
12 Martiman Prodjohamidjodjo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. ii.
13 Bambang Purnomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yokyakarta,
1990, hlm. 38.
14 M. Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP(Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali), Sinar Grafika,
Jakarta, 2000, hlm. 273.
15 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Arta Jaya, Jakarta, 1996, hlm.
247.
16 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai
Kesopanan, Biro Konsultasi & Bantuan Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang, 2002, hlm.56.
17
Ibid., hlm. 57.
18 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan
Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I 1996,
hlm. 52.
19
Adami Chazawi, Op. Cit.
20
Ibid., hlm. 58.
21 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Tindak
Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan,
Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 110.
22 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm.
59.
23 Leden Marpaung, Op. Cit., hlm. 53.
24 Moch. Anwar, Hukum Pidana Khusus (KUHP Buku
II) Jilid II, Alumni Bandung, 1986, hlm.266.
kelanjutannya mna mas?
BalasHapus