Gambar ; Ilustrasi
Beratus-ratus tahun lalu, kisah Gampong Biduen (Pelacuran) di bibir Pantai Kuala Aceh (Lampulo) Bandar Aceh. Kampung ini menjadi pusat prostitusi pada masa kerajaan Aceh. Namun sebutan ini dapat dihapuskan dengan kelembutan tangan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri As-Singkili.
Kisah ini saya peroleh dari tulisan Muhammad Yunus Jamil yang meninggal dunia pada tahun 1978. Sejarawan sederhana ini memang selalu menukilkan sejarah Aceh dari perspektif lokal. Salah satu buku yang terakhir berjudul “Gerak Kebangkitan Aceh”.
Dalam buku itu, Yunus menuturkan bahwa disebelah timur daratan pantai kuala Aceh, dulunya daerah perdagangan dan banyak bangsa asing, dari Eropa, India, Cina, Arab menetap di sana dan disitu tempat loji-loji bangsa asing. Disitu juga ada Kampong Bidook, juga disebut kampung Biduen (kampung pelacuran). Saat itu, selain warga Aceh, banyak orang orang seperti orang Tionghoa serta orang asing (bukan Eropa) yang menetap di sana (Yunus Jamil:1975).
Komplek pelacuran ini hilang setelah Syeikh Abdur Rauf Al Fansuri Asshingkili mendarat di pantai kuala Aceh. Sebelum dikenal sebagai Syaikh Abdur Rauf, ulama yang sangat disegani lebih dahulu ingin menyelamai keadaan sosial budaya masyarakat Aceh waktu itu. Diceritakan sebelum menghadap Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675), Syeikh Abdurrauf setelah pulang ke Aceh pada tahun 1584 dari pengembaraannya di Arab selama 19 tahun, menyamar sebagai seorang pawang dan menetap di kampung Bidook (Biduen) dan meminta izin pada Panglima Laot kerajaan Aceh untuk bisa menetap disana.
Di komplek pelacuran tersebut, Syeikh Abdur Rauf selain membasmi praktek pelacuran tersebut juga mendirikan pusat pendidikan dan pengembangan Islam. Jadi model dakwah Syeikh ini sangat manjur. Karena dia mampu mengobati berbagai penyakit yang diderita oleh masyarakat. Kemampuan ini tentu saja menjadi buah bibir mulai dari masyarakat kecil hingga ke istana. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pawang yang selalu mendapat tangkapan ikan selalu sangat banyak. Kepiawaan dalam melaut ini banyak menarik perhatian penduduk ampung yang didominasi oleh orang asing (Yunus Jamil:1975).
Akhirnya, tenarlah Syeikh Abdur Rauf sebagai seorang pawang yang alim dan juga sebagai tabib yang mujarab. Dia mampu mengubah kampung Biduen sebagai tempat pelacuran menjadi pusat thariqat shatariah. Disebutkan bahwa masyarakat sekitar mengikutinya. Karena kemampuan lahir dan batin inilah beliau dikenal sebagai pawang keramat dan tabib yang mahir.
Karena keterkenalan beliau dalam pada perayaan maulid nabi Muhammad saw pada tahun 1075 H (1665) diundang ke Istana Darud Donya oleh Sultanah Ratu Safiatuddinsyah (1641-1675). Dalam pertemuan tersebut Syeikh Abdur Rauf memperkenalkan diri bahwa selama ini dia menyamar sebagai nelayan dan tabib untuk memperbaiki kerusakan akhlak generasi Aceh.
Dia menuturkan bahwa perhatian Sultanah Safiatuddin Syah terhadap persoalan ini sangat minim. Karena itu pula kemudian Syeikh Abdurrauf diangkat menjadi waliul amri dan mufti kerajaan Aceh sampai beliau wafat pada malam Senin, 23 Syawwal 1106 H/1695M (Wan Mohd. Shaghir Abdullah:2008)
Pengalaman kampung Bideun dan sosok Syeikh Abdur Rauf memang jarang diangkat ke permukaan. Yang menarik adalah sosok ulama ini dalam mengubah tatanan masyarakat yang sudah hancur menggunakan cara yang santun. Untuk mengubah komplek pelacuran dia memadukan kekuatan dunia dan batini. Dari aspek duniawi, dia memperlihatkan bagaimana seorang ulama yang ingin mencari rezeki yang halal, tanpa menadah tangan ke atas. Sedangkan dalam nuansa kebatinan dia mampu memperlihatkan bagaimana peran tarekat di dalam membasmi maksiat.
Kampung Bideun memang tidak ada lagi pelacuran. Namun isu pelacuran di Aceh dan anak-anak Aceh yang menjadi pelacur di luar Aceh adalah fenomena yang tidak dapat disangkal. Karena itu, kita berhadap ada generasi seperti Syeikh Abdur Rauf yang mampu mengubah tatanan seperti kampung Bideun dan kampung-kampung lain yang sudah rusak di Aceh. Inilah sebenarnya harapan kita pada ulama saat ini, yaitu harus mengelola aspek dunia dan batini untuk memperbaiki moral masyarakat.
Memberantas maksiat dengan lemah-lembut, bukan dengan paksaan. Terjun langsung ke lapangan dengan tinggal bersama mereka. Tidak membuat jarak atau memusuhi mereka. Tidak ada sikap anarkis yang diperlihatkan oleh Abdur Rauf dalam mengubah kampung rostitusi menjadi kampung yang islami.
Demikian pula, Syeikh Abdur Rauf walaupun dikenal memiliki karya intelektual yang diakui di dunia, namun perannya dalam masyarakat tidak dapat diabaikan. Sebelum menjadi wali amri pemerintah Aceh, terlebih dahulu dia menjadi rakyat supaya mengerti betul masalah rakyat. Jadi, jika kemudian di Aceh ada isu menjadi wali nanggroe, maka perlu meniru gaya keulamaan Syeikh Abdur Rauf tersebut. Sebab, bagaimana pun persoalan Kampung Bideun pada era Sultanat, tetap bisa dijumpai pada masa sekarang. Hanya saja, kita belum mendapatkan sosok yang mirip dengan Syeikh Abdur Rauf.
0 Response to " “Kampung Bideun”, Pusat Prostitusi Masa Kerajaan Aceh "
Posting Komentar