Ditinjau dari segi bahasa, penyematan gelar tersebut oleh orang-orang yang tidak memenuhi syarat bukanlah suatu kesalahan karena bahasa bersifat dinamis.
ANDA barangkali tak asing lagi dengan kata-kata berikut: sultan, tuanku, teungku, teuku, ampon, cut, sayed, syarifah, sultanah. Kata-kata ini gelar strata sosial di Aceh dan telah digunakan sejak zaman Kerajaan Aceh hingga kini. Gelaran-gelaran sosial tersebut awalnya tidak digunakan sembarangan oleh seluruh lapisan masyarakat Aceh. Ada kualifikasi tertentu yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin menyematkan gelaran tersebut pada namanya.
Namun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, sebagian orang Aceh mulai menyematkan gelar-gelar itu pada dirinya atau pada anaknya meski sebenarnya tidak memenuhi syarat. Penyematan itu tentu saja bukan tanpa alasan. “Gelar-gelar nyan lagak meunyoe tapakèk bak nan aneuk,” begitu kata sebagian orang Aceh. Ditinjau dari segi bahasa, penyematan gelar tersebut oleh orang-orang yang tidak memenuhi syarat bukanlah suatu kesalahan karena bahasa bersifat dinamis.
Sebut saja misalnya kata putera, puteri, atau bapak dalam bahasa Indonesia. Awalnya, putera dan puteri khusus digunakan untuk anak raja, bapak hanya digunakan untuk orang tua kandung laki-laki. Namun lihatlah sekarang, putera atau puteri menjadi bagian nama seseorang, yang jika ditelusuri sama sekali bukan abik (keturunan) raja. Bapak sekarang dipakai oleh siapa saja yang lebih tua (bisa juga untuk menghormati).
Sebenarnya, gelaran sultan, tuanku, teungku, teuku, cut, sayed, syarifah,sultanah digunakan oleh strata sosial yang bagaimana? Sultan merupakan gelar yang digunakan oleh raja. Tak ayal, kita melihat gelaran ini berdampingan pada nama Iskandar Muda: Sultan Iskandar Muda. Di sisi lain, ada pula gelar sultanah. Gelar ini digunakan untuk raja Aceh yang perempuan. Selain sultan dan sultanah, ada juga tuanku. Gelaran ini untuk anak raja yang laki-laki dan abik-nya yang laki-laki. Lalu, ada teungku. Kata ini untuk anak perempuan raja dan alim ulama.
Sedikit berbeda dengan teungku, gelaran yang juga tak asing bagi kita adalah teuku. Gelaran ini merupakan gelaran yang digunakan untuk ulèebalang dan anak laki-laki abik-nya, sedangkan untuk anak ulèebalang yang perempuan, gelaran yang digunakan adalah cut. Selanjutnya, ada kata sayed dan syarifah. Dua kata ini merupakan gelaran untuk orang Aceh keturunan Arab. Sayed untuk laki-laki keturunan Arab, sedangkan syarifah untuk perempuan keturunan Arab.
Selain gelaran-gelaran yang disebutkan di atas, dalam masyarakat Aceh sebenarnya juga ada gelar, seperti sab, di, abuya. Kecuali abuya, sab dan di merupakan gelar yang tidak begitu populer. Abuya merupakan gelaran yang digunakan untuk ulama, sedangkan sab untuk keturunan India, dan di untuk keturunan Arab.
0 Response to " Gelar strata sosial di Aceh "
Posting Komentar