Sebagai masyarakat yang terkenal menjunjung tinggi budaya leluhur, ureueng Aceh memiliki keberagaman adat dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja, masyarakat yang mendiami Aceh sekarang—kemungkinan masyarakat Aceh asli—sudah mulai kurang memahami antara adat dengan yang hanya merupakan sebuah kebiasaan semata (reusam).
Ada pula yang mulai menganggap adat sebagai mitos belaka, terutama bagi sebagian orang yang mengklaim dirinya telah berpikir maju alias modern. Akibatnya, kearifan sebagai adat atau tradisi hanya kamuflasi mistik alias terbelakang.
Bagi sebagian ureueng Aceh, adat tetaplah sebuah kearifan yang mesti dijaga, dilestarikan, dijalani, dan diterapkan dalam kehidupan sebagai bagian dari ‘norma kedamaian. Karena itu, bagi yang melanggar adat dikenakan sanksi yang telah disepakati dalam kawasan masyarakat adat dimaksud, tentu saja sanksi adat satu daerah dengan daerah lain berbeda. Namun, inti dari sebuah pelanggaran adat adalah “malu” merupakan sebuah keseragaman. Hal ini senada dengan hadih maja meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malèe bak donya ‘melanggar hukum (syar’i) besar akibat, melanggar adat malu di dunia’.
Tingginya nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh tercermin pula dalam bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni panglima uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti petua seuneubôk, keujruen blang, pawang glé, dan sebagainya.
Dalam sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi petua seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi petua seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap keujruen blang.
Menurut qanun nomor 10 tahun 2008 pasal 32, petua seuneubôk dipilih oleh masyarakat dalam kawasan hutan yang telah ”dilahankan” tersebut, yang ditentukan dalam musyawarah masyarakat kawasan seuneubôk dimaksud. Seorang petua seuneubôk mempunyai tugas (a) mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam kawasan seuneubôk; (b) membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan kehutanan; (c) mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat dalam wilayah seuneubôk; (d) menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah seuneubôk; dan (e) melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah seuneubôk.
Membuka Lahan
Berbicara masalah adat identik dengan aturan-aturan di suatu tempat/daerah/wilayah. Dalam pembukaan lahan untuk bercocok tanam, bagi ureueng Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Aturan-aturan tersebut dimisalkan terhadap tata cara penebangan kayu hutan seperti tidak boleh menebang kayu-kayu besar yang menjadi tempat bersarang lebah (tawon). Hal semacam ini sudah menjadi pantangan umum yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak.
Kearifan ureueng Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue). Semua aturan ini sudah menjadi ketetapan lembaga adat suatu daerah demi menjaga keberlangsungan hidup alam dan masyarakat di daerah tersebut. Jika aturan-aturan ini dilanggar, panglima uteuen sebagai instansi adat berhak menjatuhkan sanksi kepada si pelanggar atau imbasnya akan mendera masyarakat banyak semisal banjir dan turunnya binatang buas ke pemukiman penduduk.
Adat semacam ini terkesan mulai dikesampingkan dengan dalih zaman sudah maju sehingga semua aturan-aturan yang sudah lestari dalam masyarakat adat itu dianggap sebagai mitos. Akibatnya, saat ini terdapat daerah-daerah rawan banjir dan daerah-daerah rawan binatang buas.
Manakala adat semacam itu dianggap mitos, bagaimana pula dengan hadih maja Tanoh sih’èt u timu pusaka jirat/ sih’èt u barat pusaka papa/ sih’èt u tunong geulantan/ sih’èt u seulatan pusaka kaya ‘tanah miring ke timur pusaka kubur/ miring ke barat pusaka papa/ miring ke utara tanah menang/ miring ke selatan pusaka kaya’.
Tentu kearifan yang tergambar dalam hadih maja tersebut akan dianggap oleh orang-orang yang mengaku berpikir maju sebagai mistik yang dibuat-buat atau kepercayaan yang ditambah-tambah. Padahal, maksud kata-kata bijak tersebut jelas menyiratkan betapa letak kemiringan tanah sangat berpengaruh pada hasil tanam karena menyangkut siklus edar cahaya matahari. Bukankah di alam ini terdapat ilmu semesta?
Pantangan
Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota suneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena ureueng Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari agama” seperti Jumat, hari meugang (uroe makmeugang), hari raya fitri dan adha (uroe raya), termasuk hari rabu abéh (rabu terakhir pada bulan Safar). Dilarang juga masuk kebun bak uroe pring atau kom (hari libur), yakni sehari setelah peutua blang simula (keujruen menanam padi). Hari khanduri meulôd (memperingati kelahiran nabi Muhammad saw.) juga menjadi hari yang pantang masuk hutan, baik dalam konteks berkebun, menebang kayu, maupun berburu binatang. Jika hari-hari yang sudah disepakati sebagai “hari pantang meublang” ini kedapatan ada yang masuk hutan, akan dijatuhkan sanksi adat di bawah kendali panglima uteuen. Ini membuktikan betapa kukuhnya instansi adat dalam masyarakat Aceh. Namun, semua ini mulai luntur, terutama daerah-daerah perkotaan.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda, meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan, durian, mangga, dll. walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di bumi yang mahaluas ini.
Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh keujruen blang.
Ada pula larangan ceumeucah lam ujeuen tunjai, yaitu menebang semak belukar (bukan pohon). Juga hanjeut ceumeucah watèe rôh padé (padi akan berisi). Jika hal ini dilanggar dipercaya akan mendatangkan hama belalang (daruet) yang berakibat gagal panen. Masih saat rôh padé, juga dilarang membawa daun nipah secara terbuka—diketahui bahwa orang-orang tua di Aceh suka rokok linting dari daun nipah—atau akan terkena penyakit putéh padé sehingga padi di sawah tidak berisi.
Tata cara turun ke sawah dalam masyarakat adat Aceh sebaiknya disesuaikan dengan hadih maja keunong siblah tabue jareueng/ keunong sikureueng tabu beurata/ keunong tujôh padé lam umong/ keunong limong padé ka dara/ keunong tiga padé ka rhôh, keunong satoh padé ka tuha ‘kena sebelas tabur yang jarang/ kena sembilan tabur yang rata/ kena tujuh padi dalam sawah/ kena lima padi sudah gadis/ kena tiga padi sudah berisi/ kena satu padi sudah tua’.
Cara bertanam atau turun ke sawah berdasrkan konsep keuneunong ini sudah lama berlangsung di Aceh. Penghitungan keuneunong digunakan dengan cara menggunakan angka 25 sebagai angka utama, lalu dikurangi dengan angka bulan Masehi dan dikali dua. Misalnya, bulan ini (Oktober) keuneunong yang cocok adalah 5, yaitu berdasarkan 25 – (10 x 2) sama dengan 25 – 20 dan hasilnya adalah 5 (lima).
Setelah melihat keuneunong yang juga dicocokkan dengan peredaran bintang, dilakukan musyawarah gampông “kapan” turun ke sawah. Duek pakat (musyawarah) ini biasanya dilakukan oleh gampông, mukim, keujruen blang, demi mencocokkan dengan penghitungan yang sudah dilakukan oleh keujruen chik. Setelah kesepakatan dicapai, diumumkanlah kepada warga saat yang tepat turun ke sawah.
Demikian arifnya adat meublang di gampông-gampông dalam wilayah Aceh secara umum. Terkait hasil panen pun memiliki aturan-aturan tersendiri. Jikapun terjadi sengketa, selalu diselesaikan secara adat dengan musyawarah-musyawarah gampông. Maka, keamanan dan ketenteraman dengan gampông tak lagi diragukan. Lantas, mitos atau kearifankah adat meublang di Aceh?
Demikian arifnya adat meublang di gampông-gampông dalam wilayah Aceh secara umum. Terkait hasil panen pun memiliki aturan-aturan tersendiri. Jikapun terjadi sengketa, selalu diselesaikan secara adat dengan musyawarah-musyawarah gampông. Maka, keamanan dan ketenteraman dengan gampông tak lagi diragukan. Lantas, mitos atau kearifankah adat meublang di Aceh?
0 Response to " Adat “Meublang”, Mitos dan Kearifan "
Posting Komentar