Panglima Polem pimpinan pasukan Kerajaan Aceh melawan Belanda

Panglima Polem Muhammad Daud
Pasukan Aceh berhasil mematahkan serangan tiga ribu lebih serdadu Belanda dan menewaskan pimpinannya JHR Kohler di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada 14 April 1873.


PERANG Aceh pertama dipimpin Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud. Dia merupakan anak Panglima Polem VIII Raja Kuala atau cucu dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin atau dikenal dengan Cut Banta alias Panglima Polem VII (1845-1879). Panglima Polem Muhammad Daud saat dewasa menikahi salah satu puteri dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh seperjuangan ayahnya. Dia kemudian diangkat sebagai Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raha Kuala yang telah wafat.

Pasukan Kerajaan Aceh yang berada di bawah pimpinan Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah dengan gigih menghalau Belanda dari tanah Aceh. Perang terbuka itu berlangsung selama satu tahun  yaitu dari 1873 hingga 1874. Pasukan Aceh berhasil mematahkan serangan tiga ribu lebih serdadu Belanda dan menewaskan pimpinannya JHR Kohler di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta-red) pada 23 April 1873. Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan Aceh pada 29 April 1873, kembali ke Batavia. Dalam perjuangannya Panglima Polem Muhammad Daud memperoleh dukungan dari para ulama Aceh. Salah satu pendukung utamanya yaitu Teungku Muhammad Amin dan Teungku Beb yang kemudian diangkat menjadi panglima besar. Perjuangan Panglima Polem mempertahankan kejayaan Kerajaan Aceh berlanjut pada tahun 1896. Saat itu Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan Aceh.

Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut pasukan Belanda sangat marah karena dari pihak mereka banyak yang menjadi korban. Sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka. Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun. Teuku Umar pun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke daerah Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di wilayah pegunungan Seulimeum.

Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Pada bulan Oktober 1897, wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie. November 1897, kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah). Dia mengadakan suatu musyawarah bersama tokoh pejuang Aceh lainnya. Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta Uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah.

Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif secara bersama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyarangan terhadap Belanda. Karena Belanda gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem, maka meraka menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Kemudian Belanda menyusun strategi baru yang sangat licik yaitu menangkap keluarga-keluarga dekat Sultan.
Mereka berhasil menangkap isteri Sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong dan isteri sultan yang bernama Pocut cot Murong dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah menangkap mereka, Belanda mengancam Sultan; apabila Sultan tidak menyerahkan dini dalam tempo satu bulan, maka kedua isterinya akan dibuang.

Menerima berita ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Hal ini menyebabkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903. Atas kiprahnya dalam perjuangan mempertahankan Aceh dari imperialis Belanda, Panglima Polem dianugerahkan jasa pahlawan dan dicatat sebagai salah satu pahlawan kemerdekaan dalam kurikulum sejarah Indonesia. dari berbagai sumber

0 Response to " Panglima Polem pimpinan pasukan Kerajaan Aceh melawan Belanda "

Posting Komentar