Refleksi 140 tahun perang Aceh: The fighting north (orang-orang berani dari utara)

Pesan sejarah Perang Belanda – Aceh yang sudah 140 tahun menjadi isyarat kepada generasi Aceh saat ini bahwa lebih baik mati dalam menegakkan agama, bangsa dan negara .

HARI ini, tepat 140 Tahun (26 Maret 1873 - 26 Maret 2013)  Perang Belanda-Aceh sudah berlalu. Sejarah heroik bangsa Aceh mulai dicatat oleh dunia ketika  Belanda yang mengultimatum Aceh pada 26 Maret 1873 yakni sesudah Tiga Ratus Tahun Belanda menjajah Pulau dan Bangsa Jawa. Ultimatum ini membuktikan bahwa Aceh merupakan sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat.
Berbagai tanggapan dan komentar dari beberapa negara atas ultimatum Belanda terhadap Aceh timbul. Ini merupakan sebuah pengakuan dari dunia bahwa Aceh merupakan sebuah negara yang sangat diperhitungkan di peta bumi hingga beberapa negara dimaksud juga tidak mengambil bagian (abstain) dan lebih bersikap Netral terhadap ultimatum tersebut. Di antara Negara-negara yang bersikap Netral adalah Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Austria dan Italia. Negara-negara tersebut lalu membuat pernyataan Netral terhadap ultimatum  Belanda yang hendak menyerang Kerajaan Aceh. Pernyataan Netral itu dikenal dengan “Proclamation of Impartial Neutrality”. Dan sekali lagi, ini sudah cukup menjadi bukti bahwa Aceh adalah negara yang mempunyai diplomasi yang tangguh dalam membangun hubungan internasional.
Kebijakan menyerang Aceh bermula dari keputusan Mr. James Loudon yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1872-1873), kebijakan tersebut mendapat protes dari beberapa menteri di kabinet Belanda dengan melakukan tindakan pengunduran diri dari kabinet, tindakan dari beberapa pejabat Belanda tersebut menyebabkan Loudon terpaksa mengundurkan diri dari Gubernur Hindia Belanda. Namun, kebijakan itu tetap dilaksanakan dengan mengirim  enam Kapal Uap, dua Kapal Angkatan Perang Laut, lima Kapal Barang, delapan Kapal Peronda, enam Kapal Pengangkut dan lima Kapal Layar sebagai Agresi Pertama terhadap Aceh pada tanggal 5 April 1873.
Sehari kemudian (6 April 1873) Pasukan Belanda mendarat di Pantee Ceureumen (Ulee Lheu), pendaratan pertama itu mendapat sambutan dari laskar perang Aceh yang menyebabkan Belanda terpaksa kabur dari perairan Aceh. Pada tanggal 8 April 1873 pasukan Belanda kembali mendarat di Aceh dengan membawa pasukan 3.198 prajurit bawahan dan 168 perwira, Agresi ini dipimpin oleh Mayor Jenderal JHR. Kohler. Perang sengit pun berlangsung Belanda terus menggempur Kerajaan Aceh yang menyebabkan JHR. Kohler tewas mengenaskan oleh bidikan sniper Aceh saat itu yakni Teuku Njak Radja Lueng Bata (Anak Raja Imum Leung Bata)  sehingga gempuran dan Perlawanan yang dilakukan oleh Rakyat Aceh saat itu diabadikan dalam beberapa surat Kabar Dunia, diantaranya; The Times London menjadikan Perang Aceh sebagai Headline beritanya pada tanggal 22 April 1873 ditulis;
“Suatu peristiwa yang sangat luar biasa terjadi dalam sejarah penjajahan modern sudah dilaporkan dari kepulauan Melayu. Satu kekuatan militer yang sangat besar sekali yang terdiri dari bangsa Eropa, sudah dikalahkan dalam medan perang oleh tentara anak negeri yakni Tentara Negara Aceh. Bangsa Aceh sudah mendapat kemenangan yang menentukan dan memutuskan. Musuh mereka bukan saja sudah dikalahkan tetapi juga dipaksa melarikan diri dari negeri itu”
Saat pertempuran masih terjadi di Aceh, pada tanggal 28 Juli 1873 seorang Bangsawan Inggris; Lord Stanley of Alderley  memberikan peryataan resminya dihadapan Majelis Tinggi Parlemen Inggris (House of Lord), dimana saat itu beliau menyimpulkan dengan peryataannya; “Sebenarnya Belanda tidaklah mempunyai alasan apa-apa untuk bertengkar dengan Aceh, yang sama sekali tidak pernah mengganggu kepentingan Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Aceh. Dan Aceh sudah mengalahkan Belanda”
Pernyataan itu sebagai satu upaya yang beliau tunjukkan kepada Aceh dihadapan Majelis Tinggi Palemen Inggris terhadap perjanjian Anglo-Dutch Treaty of 1871 (Perjanjian Inggris-Belanda Tahun 1871) yang diasumsikan oleh sebagian orang saat itu bahwa Inggris sudah menghapus Kewajibannya untuk membantu Aceh sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian Atjeh-Inggris Tahun 1819. Maka Lord Stanley bertanya di hadapan Majelis Tinggi Parlemen Inggris;
“Mengapa mereka (Menteri-Menteri Inggris) tidak membuat pengecualian yang wajib dibuat dalam perjanjian itu atas nama Aceh, padahal Aceh berhak mengharapkan kita menghormati Kemerdekaannya yang sudah berabad-abad itu, dan sejarahnya yang gilang-gemilang. Karena Aceh sudah menjadi satu Negara Merdeka dan berdaulat ketika Belanda masih satu provinsi dengan Spanyol?”

Dalam Majalah terkemuka di Amerika saat itu, Harper’s Magazine menerbitkan sebuah artikel pada Bulan Agustus Tahun 1905 dengan Judul “The One Hundred Year Warof Today”. Yang dimaksudkan adalah Perang Belanda dengan Aceh;


"Bangsa Atjeh yang oleh Belanda sudah berpuluh tahun dicoba menaklukkannya dengan sia-sia, mendiami bagian Utara dari pulau Sumatera, yaitu bagian yang terbaik dan subur dari pulau itu, pulau yang terbesar diantara Kepulauan Melayu... Bangsa Atjeh adalah satu bangsa yang suka berperang...dan tidak ada bukti yang lebih terang tentang kekuatan dan kebesaran jiwa kebangsaan mereka dari pada kenyataan bahwa negeri mereka masih tetap merdeka, dan orang-perang mereka tidak pernah dapat dikalahkan oleh siapapun.

"Pada waktu yang sama Belanda mulai menelan pulau Jawa. Usaha penjajahan mereka sedikit demi sedikit diperluas dari Jawa ke Sumatera. Tetapi Belanda tidak pernah berani meluaskan penjajahan mereka ke wilayah 'orang2 berani di Utara' ("The fighting North") dimana bangsa Atjeh masih cukup jantan untuk melawan si penjajah.

"Pada tahun 1871, pemerintah Belanda di Den Haag mulai bersiap-siap untuk menyerang Atjeh. Pada 8 April, 1873, tentera Belanda menyerang Bandar Atjeh tetapi dipukul mundur oleh tentera Negara Atjeh dengan kekalahan yang amat besar. Panglima Besar Belanda, Jenderal Kohler, termasuk diantara yang mati terbunuh...

"Pada bulan Juni, 1874, Belanda melancarkan serangan yang kedua atas Atjeh yang dipimpin oleh jenderal Van Swieten. Sesudah menghadapi banyak pertempuran yang berlumur darah, akhirnya Belanda dapat menduduki istana dan Mesjid Raya. Kemudian, sesudah pertempuran berlangsung satu bulan maka kota Bandar Atjeh menjadi hancur-Iebur. Bangsa Atjeh membiarkan ibu-kota mereka diduduki Belanda tetapi secara rahsia mereka bersiap untuk mengadakan perlawanan yang terus-menerus.

"Segera sesudah itu, bangsa Atjeh mulai melancarkan perang gerilya mereka yang sangat ditakuti oleh Belanda. Mereka membunuh tentera Belanda dan menghancurkan kaki-tangannya di daerah2 pedalaman... Jenderal2 Belanda yang silih berganti dikirim ke Atjeh semuanya terpaksa pulang ke negeri Belanda kalah dan hina-dina...

"Patut dicatat bahwa serdadu2 Belanda yang kena ditangkap oleh tentera Atjeh diperlakukan dengan baik dan mereka itu memuji-muji tentera Atjeh. Mereka tidak pernah dianiaya atau diperlakukan diluar peri kemanusiaan oleh tentera Atjeh. Biasanya mereka digiring kembali dibawah pengawalan ke asrama2 mereka sendiri.

"Orang2 Islam bangsa Melayu ini tidak pernah dapat ditaklukkan oleh siapapun oleh karena iman mereka pada agama Islam dan kecintaan mereka pada tanah-airnya dan mereka sudah biasa berpegang melawan bangsa2 Eropa berabad-abad lamanya. Mereka belum pernah menundukkan kepala mereka kepada sipenjajah asing. Mereka lebih suka mati dari pada menyerah kepada sipenjajah manapun juga. "Sebegitu lekas seorang Pemimpin Atjeh terbunuh atau tertangkap, ada Yang lain yang segera menggantikannya!"
Inilah selayang pandang apa yang terjadi di Aceh ketika melawan Belanda dan abadikan oleh media dunia.  Peristiwa  yang mengajari Aceh menjadi sebuah bangsa yang tangguh, berkarakter dan teguh dalam menjalankan prinsip. Bangsa yang digelar oleh dunia sebagai The Fighting North (orang-orang berani dari utara) yang telah membuat bangsa belanda malu kepada dunia atas kekalahannya dengan Aceh. Kekalahan ini merupakan sebuah tamparan terhadap bangsa eropa melawan bangsa timur. Sejarah Perang ini merupakan sebuah contoh yang penuh  tauladan, bagaimana pahlawan Aceh melihat dirinya sebagai sebuah bangsa yang mulia, kuat dan berharga dan sangat mengerti apa yang harus dilakukan ketika bangsanya ditindas.
Tetapi, generasi Aceh saat ini telah menodainya dengan tidak mengerti, menghargai dan tidak bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga dari sejarah Perang Belanda-Aceh yang sudah 140 Tahun berlalu. Memang, kita tidak memungkiri bahwa Belanda bukan hanya menyerang Aceh tetapi juga membunuh dan memutuskan hubungan antara generasi Aceh sekarang dengan sejarah masa lalu hingga generasi Aceh saat ini tidak lagi mengerti apa yang terjadi sebelumnya.  Padahal, sejarah adalah sebuah jawaban yang memberi kita sebuah pandangan atas apa yang harus kita lakukan sekarang untuk memulai kembali membangun Aceh.
Pesan dari sejarah Perang Belanda – Aceh  yang sudah 140 tahun berlalu menjadi isyarat kepada generasi Aceh saat ini bahwa lebih baik mati dalam menegakkan agama, bangsa dan negara dari pada hidup menjadi budak dan jajahan bangsa lain dan bagaimana menghargai Tanoh Pusaka sebagai warisan yang kini telah di amanahkan kepada kita.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah dan Rakyat Aceh untuk selalu mengenang “Hari Pahlawan Aceh” di rumah, di jalan, dan dimanapun bangsa Aceh berada dengan memanjat doa dan harapan agar Aceh menjadi lebih baik dan kembali menjadi The Fighting North (orang-orang berani dari utara). Semoga ! 

*Penulis adalah Aktivis Kebudayaan di Institut Peradaban Aceh (IPA)

0 Response to " Refleksi 140 tahun perang Aceh: The fighting north (orang-orang berani dari utara) "

Posting Komentar