Oleh Andi Nur Aminah
Situs purba di beberapa kawasan sekitar Aceh Besar, menunjukkan pernah ada permukiman cukup ramai sebelum Kesultanan Aceh berdiri.
Pertengahan abad ke-15, Kesultanan Aceh Darussalam di proklamirkan pendiriannya di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1496). Kesultanan ini berdiri menjelang keruntuhan kerajaan Isam pertama di Indonesia, Samudera Pasai (1360). Jejak kemegahan Kesultanan Aceh masih bisa ditemui hingga saat ini.
Aceh mencapai masa kegemilangannya saat dipimpin oleh Sultan Iskanda Muda. Kala itu, Aceh berhasil memukul mundur kekuasaan Portugis di Selat Malaka. Kesultanan Aceh pun mampu memperluas kekuasa annya hingga ke pesisir Pulau Sumatra hingga Jawa dan menyeberang hingga ke Semananjung Melayu. Penang, Perak, Selangor, Johor, dan Pahang di Malaysia pernah menjadi bagian Kesultanan Aceh saat dipimpin Sultan Iskandar Muda. Aceh pun melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia.
Kota Banda Aceh, yang kini menjadi ibu kota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dahulu bernama Kutaraja. Di kota inilah sultan-sultan Aceh memimpin pemerintahan. Ketika Iskandar Muda wafat, ia digantikan oleh menantunya, Sultan Iskandar Tsani. Iskandar Muda memiliki seorang putra yakni Poteu Cut Meurah Pupok dan seorang putri Sultanah Safiatuddin. Namun putra mahkotanya, dibunuh oleh Sultan sendiri karena telah melakukan perbuatan asusila terhadap istri seorang panglima kerajaan. Karena itu, setelah Iskandar Muda wafat, yang menggantikannya adalah Iskandar Tsani, suami dari putrinya.
Setelah Iskandar Muda wafat, lalu digantikan oleh Iskandar Tsani, kemudian digantikan lagi oleh Sultanah Safiatuddin, Aceh pelan-pelan mengalami kemunduran pada 1641. Selain karena kehilangan figur kepemimpinan setangguh Iskandar Muda, faktor lain adalah kian menguatnya kekuasaan Belanda di Pulau Sumatra dan Selat Malaka. Selain itu, juga adanya perebutan kekuasaan di antara ahli waris tahta kesultanan. Kekuasaan Belanda di Sumatra pun meluas. Berbagai usaha untuk menyerbu Aceh pun kian membabi buta dilakukan. Perang Aceh, termasuk salah satu perang terbesar yang berlangsung selama 40 tahun.
Jauh sebelum berdirinya Kesultanan Aceh itu, jika ditelusuri, cukup banyak peninggalan berupa situs yang lokasinya saat ini berada di wilayah Aceh Besar. Menurut arkeolog dari Research Associate, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, Edwards McKinnon, jauh sebelum berdirinya kesultanan Aceh, pernah ada kehidupan kuno atau purba di wilayah Aceh.
McKinnon telah melakukan berbagai penelitian arkeologi di wilayah Aceh sejak 1975. Dia telah mengunjungi beberapa situs purbakala di sekitar Lhokseumawe maupun Aceh Besar. Beberapa analisis data telah dikumpulkannya selama 35 tahun, dari situ McKinnon berani menyatakan jika sebelum muncul Kesultanan Aceh di abad ke-15, pernah ada kota kuno di Aceh.
Kota kuno
Kesimpulan McKinnon itu, kemudian didukung oleh survei lapisan tsunami purba di wilayah Banda Aceh pada Mei 2011. Peneltian itu melanjutkan survei identifikasi oleh Tim EOS-ARKENAS-LIPI 2010 lalu, yang meneliti kota kuno Lamri atau Lamuri di Pantai Utara Banda Aceh.
Kota kuno Lamuri diduga hilang terbenam di p antai utara wilayah Banda Aceh, khususnya di Lambaro. McKinnon, pernah berusaha mencari jejak Kota Lamuri yang hilang itu. Lamuri adalah kerajaan yang lebih tua dari Kerajaan Samudera Pasai, yang dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Tanah Air, sebelum Kesultanan Aceh berdiri. Menurut McKinnon, saat melakukan pencarian sejak 35 tahun lalu itu, dari laporan penduduk setempat menyebutkan di kawasan pantai, pernah ditemukan fondasi masjid kuno di tepi pantai di kedalaman air. Jadi, dulu di situ bangunan yang diduga kuat adalah masjid, sekarang sudah di bawah laut. Kalau air laut surut, fondasinya bisa dilihat, ujar McKinnon.
Selain fondasi, juga bekas makam, pecahan peralatan dapur seperti piring atau mang kuk yang oleh McKinnon disebutnya sampah-sampah. Ada pula cincin batu untuk pema sangan guci besar. Karena dahulu, setiap ru mah di Aceh memiliki guci besar yang ber fung si untuk mencuci kaki sebelum naik rumah.
Lamri, Lamuri, atau Lamreh, kini adalah adalah salah satu gampong atau kampung di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. McKinnon mengatakan, di daerah ini, terdapat makam di pantai Lhok Lubhok yang telah di publikasikan oleh Suwedi Montana dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dari tulisan yang ada di makam tersebut, diketahui itu adalah nisan Sultan Suleiman bin Abdullah bin Bashir yang wafat pada 608 H atau 1206 M.
Sayangnya, makam kuno di belakang Lub hok itu telah banyak mengalami kerusakan dan gangguan. Dan sampai sekarang, wilayah ditemukannya makam kuno tersebut belum didaftarkan sebagai benda cagar budaya (BCB) oleh BP3 Aceh maupun Sumut.
Menurut McKinnon, walaupun Suwedi dan timnya telah mengunjungi makam kuno di Lhok Lubhok, tampaknya mereka tidak tahu ada banyak nisan tua yang merupakan batu Aceh maupun nisan plang pleng di atas dataran tinggi tanjung Ujung Batee Kapal. Pada 2010, McKinnon bersama peneliti dari Puslitarkenas melakukan penggalian berkala di pinggir pantai Lhok Cut dan Lhok Lubhok. Di Lhok Lubot berhasil ditemukan banyak tembikar gaya Asia Selatan maupun keramik Cina dari masa Yuan. Di pantai Lubhok, tim menemukan sisa-sisa lapisan karang dalam tebing pantai yang telah dihancurkan dalam keadaan kecil-kecil seperti kerikil. Setelah dianalisis di laboratorium, menurut McKinnon, diperoleh bukti jika pernah ada tsunami yang menghantam pantai ini pada abad ke-15.
Awal 2011, menurut McKinnon, di sekitar kawasan Ujung Batee Kapal, ada pembukaan lahan oleh sekelompok masyarakat yang menggunakan buldozer, tepat di atas Lhok Cut. Terbukanya lahan tersebut serta-merta menunjukkan di lokasi tersebut adalah bekas permukiman kuno. Ditaksir sekitar abad ke-13 atau ke-14, ujar McKinnon.
McKinnon mengatakan, saat itu dia bersama Deddy Satria, arkeolog independen dari Banda Aceh, menemukan banyak sekali beling-beling kuno dari India Selatan. Juga beberapa jenis tembikar yang dibuat di beberapa lokasi di Asia Selatan (India maupun Sri Lanka), serta artefak lainnya di atas tanah galian tersebut.
Dari penemuan itu, McKinnon menyatakan, di lokasi tersebut pernah jadi permukiman dan merupakan tempat yang cukup ramai sekitar 600 hingga 700 tahun lalu. Beling-beling yang ditemukan, menurut McKinnon, berasal dari keramik Cina masa Yuan. Di antaranya berupa mangkuk-mangkuk blau putih dari dapur keramik Jiangxi, pecahan batuan Zhejiang dengan glasir hijau yang bermutu tinggi. Ada pula keramik berglasir biru dari Persia.
Dari peninggalan-peninggalan di atas Ujung Batee Kapal itu, diyakini pernah menjadi permukiman kuno Islam yang tua sekali, bahkan mungkin lebih tua dari situs peninggalan Samudera Pasai yang ada di Kecamatan Geudong, dekat Lhokseumawe.
Situs di Ujung Batee Kapal di Desa Lamreh, sayang belum masuk dalam BCB. Sudah sepatutnya, situs ini dilindungi UU No 11/2011 tentang UU perlindungan cagar budaya. Menurur McKinnon, bila dikelola dengan baik, situs ini bisa menjadi objek wisata yang unik, khusunya sejarah Islam. Pemandangan di kawasan inipun sangat indah dengan suasana tanjung yang sejuk.
Penemuan sisa-sisa permukiman purba juga terdapat di sepanjang pantai Aceh Besar. Antara lain, di Ujung Massamuka, Ujung Pancu, melewati Uleelhuee dan Ladong, hing ga menuju Krueng Raya, menjadi bukti sejarah pernah ada kehidupan di wilayah ini sebelum munculnya Kesultanan Aceh Darussalam.
Sayang memang, karena kondisinya banyak tak terurus dan terbengkalai. Memang, ada naskah yang menceritakan kejadian-kejadian di masa lalu, namun peninggalan fisiknya sangat terbatas. Situs peninggalan Kesultanan Aceh saja, juga sudah banyak yang dihancurkan oleh Belanda sesudah Aceh takluk.
Peninggalan Kesultanan Aceh yang masih tersisa dan bisa dilihat di Banda Aceh, tinggal Gunongan Putro Pang dan pintu Khop, maupun aliran Sungai Krueng Alui Daru. Selebihnya, hanyalah berupa makam dan batu Aceh yang masih dapat dilihat di beberapa lokasi di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Umumnya, kondisi nisan makam-makam juga tidak terurus. Banyak nisan kuno yang hilang, digilas atau rusak akibat terjangan tsunami, ataupun dicuri orang untuk dijadikan batu akik.
Situs-Situs Tanda Cinta dan Amarah
Ada banyak cara mengungkapkan cinta, begitu pula amarah. Jejak-jejak tanda cinta dan amarah yang berkobar dalam diri Sultan Iskandar Muda, ikon Kerajaan Aceh yang membawa Aceh terkenal hingga ke penjuru dunia, bisa dilihat dari peninggalan situs yang masih tersisa hingga saat ini.
Sejarah mencatatkan betapa gagah perkasanya Sultan Iskandar Muda menyerang negeri Johor, Pahang, Malaysia yang ketahuan bermain mata dengan Portugis. Usia mengalahkan negeri tersebut, Sultan membawa seluruh masyarakat Pahang dan Johor, termasuk perangkat kerajaannya, juga raja dan putra-putrinya. Adalah Putri Kamarlilah atau lebih dikenal sebagai Putro Phang (Putri Pahang), satu di antara rombongan yang diboyong Sultan Iskandar Muda.
Putri Pahang ini kemudian dipersunting Sultan menjadi permaisurinya. Sebagai tanda cinta Sultan, pada abad ke-17, dia membangun sebuah gunongan atau taman sari atas permintaan sang putri. Taman tersebut dibangun Sultan agar sang putri tidak kesepian jika ditinggalkan Sultan untuk menjalankan tugas kenegaraannya. Juga untuk menghibur sang putri yang kerap rindu kampung halamannya, Pahang.
Gunongan Putro Phang ini tempat bersenang-senang permaisuri Sultan Iskandar Muda. Setelah dia mandi dan rambutnya dicuci oleh para dayang-dayang, dia akan naik ke gunongan untuk berjemur dan bersenang-senang, ujar Ashari, petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Banda Aceh, Bangunan tersebut berbentuk perse gi enam, menyerupai bunga yang ber tingkat tiga. Tonggak utamanya ber ada di tengah-tengah seperti mah kota yang berdiri tegak. Warnanya yang putih bersih terlihat mencolok di tengah hamparan rumput hijau.
Untuk masuk ke dalam gunongan tersebut, ada sebuah pintu besi setinggi satu meter sehingga jika ingin masuk, badan harus menunduk. Melalui pintu masuk itu, ada sebuah lorong yang menghubungkan lorong dengan tangga menuju ke tingkat tiga gunongan. Di sebelah gunong an ada sebuah bangunan yang disebut dengan Kandang Baginda. Kandang Baginda adalah lokasi pemakaman keluarga Sultan Kerajaan Aceh, salah satunya makan Sultan Iskandar Tsani, menantu Sultan Iskandar Muda.
Tak jauh dari lokasi gunongan, terdapat pula situs penting dalam sejarah Aceh. Namun, situs itu ber la wanan makna dengan gunongan. Itulah Kerkhof Peutjoet, sebuah kompleks pemakaman serdadu Belanda yang banyak tewas dalam perang Aceh. Di komples makam Belanda itu, terdapat satu makam yang bentuknya berbeda dari yang lainnya. Maka, itu adalah makam putra mahkota Poteu Cut Meurah Pupok.
Dia adalah putra mahkota Sultan yang tadinya disiapkan untuk menggantikan Sultan. Namun, akibat kesalahan yang dilakukannya, yakni melakukan tindakan asusila terhadap istri seorang panglima kerajaan, maka Meurah Pupok pun dibunuh oleh Sultan sendiri.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Sultan tak pandang bulu da lam menegakkan hukum. Tak cukup dengan memenggal leher anaknya, setelah meninggal, jenasah Meurah Pupok juga tidak diperbolehkan dikubur di kompleks makam kerajaan.
Sebelum eksekusi dilakukan Sultan terhadap putranya, beberapa pembesar kerajaan yang peduli terhadap kelangsungan kerajaan menemui Sultan Iskandar Muda dan memintanya agar membatalkan hukuman pancung tersebut. Mereka mengajukan berbagai usul seperti pengam punan atau cukup dengan mengasingkan Putra Mahkota ke negeri lain.
Namun, usulan mereka ditolak oleh Sultan. Dengan marah Sultan mengatakan, sebagai orang yang menegakkan hukum, maka kepada siapa pun yang bersalah, tidak terkecuali terhadap keluarganya sendiri, harus dihukum.
Dalam bahasa Aceh, Sultan meng ucapkan kalimat yang bermakna: hilang anak masih ada kuburan yang bisa kita lihat, tetapi jika hukum dan adat yang hilang, hendak ke mana kita mencarinya.
Situs sejarah ini, terletak di tengah Kota Banda Aceh. Lokasinya berdekatan dengan Museum Tsunami. Bahkan, dari atas Museum Tsunami, makam Meurah Pupok terlihat jelas menonjol dan bentuknya lain dibanding jejeran makam serdadu Belanda yang ada di kompleks pemakaman tersebut.
Sumber Koran Republika (23 Desember 2011)
0 Response to " Analisis: Aceh Sebelum Kesultanan Aceh "
Posting Komentar