Tulisan ini penulis angkat dari substansi materi yang disampaikan seorang ulama muda Aceh, Tgk H M Yusuf A Wahab dalam seminar yang diselenggarakan oleh Rabitah Thaliban Aceh (RTA) beberapa waktu lalu. Dalam materinya beliau menegaskan bahwa konsep politik ideal bagi umat muslim adalah konsep politik yang dibangun dengan konsepsi Islam. Artinya, etika berpolitik dibangun berdasarkan nilai moralitas-keislaman serta dikawal oleh iman dan hukum-hukum Islam. Sebab, iman dan Islam adalah integritas muslim yang tidak bisa ditawar atau digantikan oleh apa pun. Sehingga nilai iman dan Islam harus diintegrasikan secara total dalam setiap aspek kehidupan tanpa dikecualikan oleh status sosial lainnya. Termasuk status politikus yang disandang oleh aktor politik.
Dalam Islam tidak dikenal adanya istilah sekularisme. Salah satunya sekularisme politik. Sekularisme politik adalah suatu pemahaman yang memisahkan politik dan agama. Politik dan agama dipandang sebagai dua entitas berbeda yang memiliki ranah masing-masing. Agama dipandang sebagai sarana membina hubungan vertikal dengan Allah swt sementara politik adalah alat untuk mendapatkan kekuasaan. Oleh karena demikian, agama dan politik dianggap tidak bisa dicampur adukkan satu sama lainnya. Etika berpolitik sepenuhnya ditata berdasarkan nilai-nilai demokrasi tanpa dibatasi oleh aturan dan hukum Islam.
Perhatikan Halal dan Haram
Pemahaman seperti ini sangat sangat bertentangan dengan Islam. Sebab Islam adalah agama yang universal. Semua aspek kehidupan umat ditata sedemikian rapi dalam Islam. Hukum halal-haram yang berlaku dalam Islam harus dijunjung tinggi dalam berbagai aktifitas seorang muslim tanpa ada pengecualian. Dalam islam tidak ada istilah area bebas hukum. Tentunya, asumsi bahwa politik area bebas halal-haram merupakan salah besar. Sebab, aspek politik juga merupakan salah satu sasaran hukum halal-haram. Oleh karenanya, jika seorang muslim terjun ke dunia perpolitikan, ia tidak boleh lupa bahwa dirinya adalah muslim.
Dan setiap individu muslim ditaklifdengan hukum taklifi. Hukum halal-haram harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam berpolitik. Artinya, sebelum melakukan manuver politik, hal pertama yang harus dilakukan adalah berkonsultasi dengan iman dan Islam. Jika Islam membolehkan, silahkan dilakukan. Tetapi jika Islam melarangnya, ada konsekuensi dosa yang harus diperhitungkan dan dipertanggungjawabkan diakhirat kelat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa virus sekularisme telah merong-rong dunia perpolitikan negeri ini, termasuk nanggroe syariat kita. Tanpa sadar elit politik kita mulai terkontaminasi dengan pemahaman sekularisme yang dikembangkan barat. Sehingga, aksi politis para politikus kita semakin meresahkan dan jauh tatanan konsep islam. Budaya politik non islami semakin mencuat ke permukaan. Berdalih demokrasi budaya saling menghantam, saling menjatuhkan, membenarkan partner politik yang jelas-jelas berbuat salah dan menyalahkan lawan politik yang jelas-jelas berbuat benar sudah menjadi tradisi bagi politisi kita. Padahal, jika kita membuka KTP-nya jelas tertera bahwa ia beragama islam. Bukankah mengakui diri islam tetapi aktifitasnya tidak mencerminkan bahwa ia muslim adalah bagian dari kemunafikan?
Maka, sudah saatnya politisi-politisi muslim keluar dari cengkraman sekularisme. Mengubah paradigma politik yang ada adalah hal mendesak untuk dilakukan. Politik harus direformasi secara total. Politik sekularisme harus diganti dengan politik islami. Politik dan Islam harus disatukan kembali ibarat menyatukan tubuh dan ruh. Aturan-aturan dalam Islam harus dijadikan sebagai batas-batas dalam berdemokrasi. Adalah benar bahwa negara kita menganut paham demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk melakukan aktifitasnya. Tetapi bagi muslim, demokrasi tidak bisa diasumsikan sebagai kebebasan yang tiada batas, ibarat laut tanpa tepi. Sebab, disamping ia berstatus politisi ia juga seorang muslim yang ditaklif dengan hukum-hukum islam.
Politik Islam itu Santun
Wabil khusus penulis mengajak kawan-kawan politisi Aceh untuk mereformasi sistem perpolitikan kita. Sudah saatnya konsep politik kita ditata dengan konsepsi Islam. Islam menawarkan kita konsep as-suhbah wa al-mu’asyarah (berinteraksi antar sesama) yang menjunjung sikap saling menghargai, kebersamaan serta menitikberatkan kepada individu muslim untuk menjaga dan menunaikan hak-hak saudara seimannya. Jika konsep ini dijadikan acuan dalam berpoliti sungguh bisa dibayangkan bagaimana indahnya persaingan dalam memperebutkan kursi kepemimpinan. Dan tentunya budaya politik saling menghantam, saling menjatuhkan, dan saling membuka keaiban akan sirna dari dunia politik.
Budaya politik saling menghantam, saling menjatuhkan dan saling membuka keaiban hanya akan menabur benih permusuhan antar sesama kita. Permusuhan hanya akan membuat kita semakin lemah. Sebab, kita tidak lagi satu; kita sudah dibedakan oleh warna bendara. Bukankah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh? Tanpa kebersamaan, Aceh tidak akan mampu dibangun. Maka, iman harus dijadikan sebagai pemersatu antar sesama. Kita sesama muslim adalah saudara kandung. Ingat, adalah haram hukumnya ‘menghantam’ saudara seiman. Dan lebih parahnya lagi dengan budaya seperti kita hanya akan kebanjiran orang lemah yang hanya pandai menyalahkan tanpa mampu berbuat apa-apa untuk kepentingan masyarakat. Sebab enegi positif telah disedot oleh amarah permusuhan yang membara.
Sangat ironi jika kita menolak mesum, maisir dan pakaian ketat dengan alasan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam sementara dunia perpolitikan kita biarkan dirong-rong oleh aksi yang tidak islami. Dalam berpolitik kita dibolehkan untuk bersaing. Akan tetapi persaingan tidak boleh diterjemahkan sebagai permusuhan. Saingan politik tidak boleh diposisikan sebagai musuh yang harus dihancurkan, tetapi ia adalah kawan seperjuangan yang sama-sama berjuang untuk membangun Aceh. Silahkan kita membuktikan bahwa diri kita benar dan patut didukung tetapi bukan dengan cara menjelek-jelekkan atau membuka aib kandidat lain. Sebab, dalam perspektif islam itu merupakan hal yang sangat dibenci dan tidak dibolehkan. Bukankah menampakkan diri kita benar tidak mesti menjelekkan orang lain?
Politik ideal bagi umat Islam adalah politik yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Dengan politik islamilah aceh akan berjaya dan kita bisa menatap masa depan yang lebih cerah. Apa pun warna bendera kita, siapa pun yang kita dukung, tetapi jangan lupa bahwa kita bersaudara.
Oleh: Tgk Ihsan M Jakfar (Penulis adalah Aktivis Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), Berdomisili di Jeunieb, Bireuen)
0 Response to " Politik Islam Menurut Santri Dayah "
Posting Komentar