Tuanku Hasyim Bangta Muda lahir di Kampung Lambada dalam Sagi Mukim 26 Aceh Besar, kira-kira pada tahun 1834 Masehi. Ayahnya bemama Laksamana Tuanku Abdul Kadir yang semasa hidupmya memangku jabatan perwalian di Aceh Timur. Tuanku Hasyim Bangta Muda bersaudara tiga orang, diantaranya ialah Tuanku Raja Itam dan Tuanku Mahmud Bangta Keucik. Ia adalah putera yang tertua dari tiga bersaudara ini.
Adapun asal-usul serta silsilah keturunannya, Tuanku Hasyim Banta Muda adalah putera laksamana Tuanku Abdul Kadir, ibnu Raja Muda Tuanku Cut Zainal Abidin, ibnu Sultan Alaidin Mahmudsyah, ibnu Sultan Abidin Johan Syah, ibnu Sultan Alaidin Ahmad Syah, ibnu Nuruddin Abdurahim Maharaja Lela, ibnu Fakih Zainal Abidin Syah, Ibnu Malik Daim Mansyursyah, ibnu ' Abdullah Al Malikul Amin, ibnu Malik Syah Daim Syah, ibnu Abdul Jalil Daim Husin Syah, ibnu Malik Mahmud Hakim Syah, ibnu Musa Daim Syah, ibnu Hasyim Nuruddin Syah, ibnu Mansyur Syah, ibnu Sulaiman Syah Daim Ali Iskandar, ibnu Malik Ibrahim Syah Daim, yaitu saudara sewali dari tokoh Alaidin yang bernama Machdum Abi Abdillah As Syekh Abdurauf Al Mulaqqab Tuan di Kandang Syekh Bandar Darussalam.
Pada tahun 495 Hijrah rombongan yang terdiri dari 500 orang berhasil mengIslamkan penduduk Aceh Raya. Kemudian sebahagian rombongan ini di bawah pimpinan Mansyur meneruskan perjalanannya dalam dakwah Islam ke Makasar (Ujung Pandang). Sedang sebahagian termasuk keturunan Machdum Abdi Abdillah Johan Syah - Ali Mughayat Syah - Iskandar Muda terus bermukim dan menetap di Aceh untuk menyempurnakan pertumbuhan dan melaksanakan pembangunan Aceh dalam segala bidang.
Setelah beberapa tahun kemudian, Msnsyur keturunan Ibrahim Syah Daim kembali dari Makasar ke Aceh, dan setelah beberapa k ali pergantian Sultan dari garis keturunan satu dan lain maka cicit Mansyur diangkat menjadi Sultan Aceh yang bernama Alaidin Ahmad Syah. Kemudian yang terakhir Sultan Alaidin Mahmud Daud Syah. Pada masa inilah Tuanku Hasyim mulai memegang peranan dan turun ke arena pertempuran menghadapi serangan Belanda.
Dalam usia duabelas tahun Tuanku Hasyim Bangta Muda sudah sering masuk ke Keraton dan tinggal bersama keluarga keraton bersama Sultan. Ia adalah anak kesayangan Sultan Alaidin Ibrahim Mansyur Syah, sehingga kemana Sultan pergi ia sering dibawa serta. Karena itu banyaklah pengalaman yang didapatnya sebagai ilmu terutama dari musyawarah-musyawarah yang diikutinya baik dalam lapangan politik maupun pengetahuan dalam memimpin pemerintah kenegaraan dan sebagainya. Ketika menjelang dewasa sudah nampak keistimewaan yang dimilikinya, dan ia telah menjadi kepercayaan Sultan.
Mengenai pendidikannya tidak jelas diketahui, tetapi menurut keterangan dan sepak terjangnya, dari orang yang dekat dan tulisan orang barat ia memiliki ilmu kasaktian. Begitu juga dalam kemiliteran ia memiliki ilmu strategi peperangan yang hampir setaraf dengan lepasan akademi militer Belanda. Di sampiug itu ia sangat tekun memperdalam ilmu agama, sehingga ia terkenal sebagai seorang yang saleh dan taat pada agama. Oleh karena itu segala tindakannya selalu berdasarkan ajaran agama. Untuk ini ia selalu mendekatkan diri dengan para ulama. Dalam berbicara ia banyak menguasai bahasa asing yang berlaku di wilayah Aceh.
Pribadinya sangat mengesankan, bijaksana, tajam firasat dan lebih menarik ia tidak punya pamrih untuk menjadi pemimpin. Demikianlah karena sifatnya yang terpuji ini ia diangkat menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh. Kemudian ia menyusun kekuatan Aceh dan selanjutnya ia turun ke lapangan langsung memimpin pasukan Aceh untuk menghadapi tentera Belanda. Karena taktik dan siasatnya yang tepat, tentara Belanda merasa berat untuk dapat menduduki Aceh.
Setelah ayahnya, Laksamana Tuanku Abdul Kadir, meninggal dunia, Tuanku Hasyim Bangta Muda ditunjuk oleh Sultan Aceh untuk menjadi panglima di Aceh Timur dengan daerah yang meliputi Simpang Ulim dan Langkat.Sebagaimana diketahui Laksamana Tuanku Abdul Kadir semasa hidupnya diserahi kepercayaan perwalian Aceh Timur dan Langkat. Pada tahun 1850 karena kebijaksanaan dan kecakapannya, Tuanku Hasyim Bangta Muda diangkat menjadi Wali Sultan Aceh di daerah Sumatera Timur danwilayahnya meliputi Deli dan Serdang. Dengan memasukkan Sumatera Timur, wilayahnya sekarang terbentang dari Aceh Timur yaitu dari Simpang Ulim sampai ke Serdang, Untuk mempertahankan wilayah ini ia mengatur basis pertahanan pada tempat yang strategis dan kemudian menyusun kekuatan sebagai pertahanan pada garis terdepan, untuk basis pertahanan ini ia memilih pulau Kampai.
Pulau Kampai dibangun sedemikian rupa sehingga merupakan benteng yang terkuat. Hal ini karena pulau Kampai terletak pada jalur pelayaran di Selat Malaka. Dengan memperkuat pulau ini, wilayah Aceh pada bagian Timur akan dapat dibendung dari kemungkinan serangan laut musuh. Untuk membangun kemakmuran rakyat ia memerintahkan kepada rakyat untuk menanam lada. Dengan hasil pertanian lada kehidupan rakyat lebih meningkat dan sekaligus menambah penghasilan negara. Kota-kota pantai sepanjang wilayahnya menjadi lebih ramai dalam perdagangan lada. Dalam beberapa tahun saja jalur perdagangan makin menjadi luas dan pedagang Aceh telah menempatkan agen-agennya di Penang.
Dalam taktik dan siasat perang Tuanku Hasyim membentuk sèbuah badan yang disebut panitia delapan dengan ketuanya ditunjuk Teungku Paya. Tengku Paya juga orang penting yang dekat dengan Tuanku Hasyim, ia sengaja didatangkan dari Aceh Besar ke Aceh Timur dalam merintis penanaman lada. Panitia Delapan ini mempunyai agen tetap yang berkedudukan di Penang. Tugasnya yang paling berat di samping perdagangan juga menyiasati gerak-gerik Belanda di Selat Malaka.
Dalam zaman pemerintahan Sultan Alaidin Mansyur Syah. Belanda telah memulai usaha untuk mencaplok wilayah Aceh pada bagian Timur yang kemudian mereka berhasil menduduki daerah Siak. Kemudian Belanda mengirimkan utusannya untuk menemui Sultan Aceh dengan maksud akan mengikat persahabatan. Tetapi disebalik itu Belanda secara diam-diam telah memulai aksinya dengan
membujuk Sultan Siak.
Hasilnya sangat merugikan Aceh, karena wilayah Sumatera Timur yang berada dalam kekuasaan Sultan Siak termasuk Tanah Putih sampai Tamiang mengakui kedaulatan Belanda. Demikianlah dalam tahun 1853 Tuanku Hasyim Bangta Muda telah diserahi tugas yang berat. Untuk ini segala persoalan yang terjadi terjadi di wilayah Aceh Timur akan menjadi tanggung-jawabnya. Kini setelah Belanda berkuasa di Sumatera Timur, banyak daerah yang mulai ragu akan kekuatan Aceh dan berusaha melepaskan diri. Untuk menghadapi hal ini Tuanku Hasyim berusaha menanamkan kepercayaan pada rakyat, bahwa wilayah ini merupakan daerah kekuasaan Aceh yang penuh. Dalam kegiatan ini raja-raja kecil yang telah bimbang akan kepercayaannya dapat diinsafkan kembali, maka dapat ditarik kembali ke pihak Aceh.
Melihat gerak-gerik ini Tuanku Hasyim meningkatkan kegiatannya. Benteng-benteng pertahanan diperkuat, alat perlengkapan perang ditambah. Untuk memperlengkapi alat persenjataan beliau berusaha memasukkan senjata dari Penang sebanyak 15,000 (lima belas ribu) pucuk senapan dan beribu peti peluru yang dibeli dengan cara barter. Dalam strategi pertahanan benteng-benteng terus dibangun, sebagai rangka dalam menghadapi kemungkinan serangan Belanda. Siasat Tuanku Hasyim untuk mematahkan semangat para tokoh yang cenderung memihak pada BGlanda, ialah beliau memulai serangan terhadap Belanda. Adapun orang yang memihak pada Belanda seperti Pangeran Musa Langkat dapat diinsyafkan dengan jalan mengawini anaknya yang bernama Tengku Ubang. Dengan demikian Pangeran Musa Langkat menjadi mertua Tuanku Hasyim. Biarpun begitu Tuanku Hasyim akan selalu berhati-hati terhadap Pangeran MusaLangkat.
Begitu juga Sultan Muhammad Syekh atau Mat Syekh dapat diinsyafkan dan kemudian dapat dijadikan kawan yang baik untuk menghadapi Belanda yang akan menduduki daerah Langkat. Di daerah Tamiang Sultan Muda yang berpihak kepada Pangeran Musa digantikan dengan Raja Bendahara menjadi Raja Seruay. Dengan demikian dapatlah dibasmi musuh dalam selimut oleh Tuanku Hasyim.
Setelah semua dapat diinsyapkan dan dipulihkan, Tuanku Hasyim mengarahkan pandangannya untuk memperkuat pulau Kampai sebagai pertahanan terdepan. Pulau Kampai adalah merupakan pelabuhan dan pertahanan yang strategis dari daerah Langkat. Untuk menghadapi serangan Belanda ia memperkuat kubu pertahanan dengan dilengkapi peralatan yang cukup. Hal ini dapat berjalan lancar, karena penguasa pulau ini juga adalah orang Aceh yang diangkat Cut Bugam. Oleh Raja Tamiang, raja ini bernama Nyak Asan, ia diangkat sebagai pengganti ayahnya.
Pada mulanya benteng ini dibangun oleh laksamana Tuanku Abdul Kadir, oleh sebab itu Tuanku Hasyim hanya memperbaharui dan menambah perlengkapan yang diperlukan. Kemudian beliau membangun lagi benteng pertahanan di Tanjung Pura, Gedubang, Besitang, Pangkalan Susu, Benteng Bugak, Pasir Putih, Tualang dan Manyak Pait. Untuk mengepalai benteng-benteng ini diangkat soorang pemimpin yang dikoordinir langsung oleh Tuanku Hasyim. Ia sendiri bermarkas di benteng Pulau Kampai, dengan dibantu oleh Panglima Raja Itam, Adik kandung Tuanku Hasyim, dan Panglima Teuku Cut Latif. Dengan demikian pertahanan-pertahanan Aceh di bagian Timur telah teratur rapi.
Dalam tahun 1862 Tuanku Hasyim secara diam-diam bergerak menuju Batubara untuk menawan Datuk Bungak yang memihak kepada Belanda. Kemudian ia meneruskan perjalanannya ke Bengkalis untuk menemui Asisten Residen Belanda, Arnold. Tujuannya ialah untuk membicarakan beberapa daerah di Sumatera Timur yang melepaskan diri dari Aceh dan mereka yang telah memihak kepada Belanda. Dalam pembicaraan ini Tuanku Hasyim merasa dirugikan.
Karena rupanya pulau Kampai telah disediaknn untuk basis penyerangan Belanda terhadap wilayah Aceh. Tiga bulan kemudian Belanda mengirimkan Raja Burhanuddin untuk menyelidiki situasi di Sumatera Timur, dan dalam waktu yang bersamaan datang pula Netscher dengan kapal perang Belanda dengan tujuan untuk menyerang Langkat, tetapi penyerangan ini dapat dipatahkan oleh Tuanku Hasyim. Kegagalan Belanda pada penyerangan ini mengurangi kepercayaan Belanda pada Pangeran Langkat, karena Pangeran Langkat tidak menepati janji yang dibuatnya dengan pihak Belanda. Hal demikian disebabkan tindakan Tuanku Hasyim yang lebih cepat dan lebih cekatan. Karena itu untuk kedua Icalinya Netscher merasa perlu mengunjungi Pangeran Langkat, tetapi tiada membawa hasil yang diharapkan.
Kunjungan ini tidak mendapat tanda tangan persetujuan kedua belah pihak. Sesungguhnya Sultan Langkat akan mendirikan Kerajaan Langkat, tetapi terbentur, karena Langkat masih bernaung di bawah Aceh. Oleh sebab itulah maka Pangeran Langkat mau bekerja sama dengan Belanda untuk melepaskan diri. Akan tetapi yang menjadi porsoalan ialah tentang wilayah Tamiang. Kejuruan Tamiang sendiri menentang masuknya kekuasaan Belanda. Karena pengaruh Tuanku Hasyim. Oleh sebab itulah maka kekuasaan Pangeran Langkat menjadi lemah. Karena itu Belanda membentuk Kesultanan Langkat dengan tidak menggabungkan Tamiang dan Aru, sedang teluk Aru merupakan pusat kekuatannya yang terletak di pulau Kampai yang telah diperkuat oleh Tuanku Hasyim.
Pada tahun 1863 Residen Belanda mencoba sekali lagi menyelesaikan Langkat. Ia datang dengan perlengkapan perang dan dua buah kapal, dengan tujuan agar dapat memukul kekuatan Tuanku Hasyim.
Pada tahun 1863 Residen Belanda mencoba sekali lagi menyelesaikan Langkat. Ia datang dengan perlengkapan perang dan dua buah kapal, dengan tujuan agar dapat memukul kekuatan Tuanku Hasyim. Tetapi karena kuatnya pertahanan Aceh, Belanda tak dapat mendekati pulau Kampai. Bahkan mereka disambut dengan tembakan meriam, sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur kembali. Rupanya Netscher tidak berputus asa untuk merebut pulau Kampai. Dalam penyerangan ini ia mengikut sertakan Raja Burhanuddin sebagai penyelidik pertahanan Aceh. Tetapi melihat kekuatan Tuanku Hasyim yang menantinya, mereka merobah haluan kapalnya kembali. Dari jauh mereka memperhatikan bendera Aceh berkibar dengan megah. Kemudian mereka menunjukan arah kapalnya ke Bengkalis.
Demikianlah benteng Pulau Kampai yang dibangun Tuanku Hasyim telah empat kali mendapat serangan dari Belanda, tetapi dapat digagalkan oleh pejuang Aceh. Begitu juga penyerangan Belanda dari darat dan laut terhadap langkat dapat dipatahkan oleh Pasukan Tuanku Hasyim dan juga penyerangan Netscher kedua kalinya ke Sumatera Timur dapat digagalkan. Setelah beberapa kali Belanda mengalami kegagalan, kemudian mereka mengirim mata-mata untuk menyelidiki gerak-gerik dan benteng pertahanan Tuanku Hasyim. Begitu Belanda mendapat khabar, bahwa Tuanku Hasyim sedang berada di pusat atas panggilan Sultan, maka Belanda segera mengerahkan kekuatannya untuk menyerang Pulau Kampai, Sedangkan waktu itu pimpinan pertahanan Pulau Kampai diserahkan kepada Tuanku Itam yang dibantu oleh Teuku Cut Latif. Serangan yang cepat ini berhasil dan Belanda dapat merebut benteng pulau Kampai pada tahun 1865.
Sesudah jatuhnya benteng Pulau Kampai ke tangan Belanda sekembalinya Tuanku Hasyim dari pusat, ia memindahkan pusat kekuatannya ke Manyak Pait. Kemudian ia membangun dan menyusun kekuatannya. Selanjutnya ia meningkatkan kegiatan Panitia delapan demi kepentingan perang. Adapun tugasnya, selain perdagangan, yang lebih penting ialah mengawasi kegiatan Belanda di Selat Malaka dalam usahanya menyerang Aceh. Demikianlah berkat usaha Tuanku Hasyim yang gigih dan ulet beliau dapat membendung serangan Belanda dari darat selama kurang lebih lima belas tahun.
Pada tahun 1870 timbul kegoncangan dalam pemerintahan Aceh. Sultan Alaidin Ibrahim Syah meninggal dunia, sedang pengganti baginda belum ada yang dapat bertanggung jawab atas kelangsungan pemerintahan. Begitu juga pihak Belanda telah siap untuk menyerang kerajaan Aceh. Mereka hanya menanti kesempatan yang baik, Mereka telah siap menanti perintah dari atasannya. Untuk menanggulangi kekalutan ini tampillah tokoh-tokoh politik, orang-orang besar, Uleebalang dan para ulama. Mereka mengadakan musyawarah untuk mengangkat pengganti Sultan. Hasil musyawarah secara bulat menunjuk Tuanku Hasyim Bangta Muda sebagai pengganti Sultan. Tetapi Tuanku Hasyim menolak dan tidak bersedia, dengan alasan ia tidak tepat, sebab pengangkatan Sultan sudah berselang dua, yakni Abdul Kadir dan Tuanku Raja Gut Zainal tidak menjadi Sultan. Hal ini kurang sesuai dengan adat dan peraturan. Untuk ini ia menunjuk Mahmud Syah yang masih kecil untuk menjadi Sultan. Beliau ini putera Sultan Alaidin Sulaiman Ali Iskandar.
Para ulama beserta pembesar kerajaan sekali lagi mengadakan musyawarah dan dengan suara bulat mendesak agar Tuanku Hasyim bersedia menjadi Sultan, dengan alasan bahwa negara dalam keadaan bahaya dan musyawarah sangat mengharapkan seorang kuat seperti Tuanku Hasyim, Tetapi Tuanku Hasyim tetap pada pendiriannya. Ia menolak jabatan Sultan. Dan pendiriannya yang kuat atas dasar tidak rela merubah garis hukum adat, bahwa yang sebenarnya berhak menjadi Sultan adalah Mahmud Syah. Kalau alasan negara dalam keadaan bahaya, ia lebih senang turun ke lapangan untuk menghadapi musuh dari pada duduk bersilaa di atas tahta kerajaan hanya untuk memerintah. Karena penolakan ini, akhirnyn musyawarah memutuskan untuk mengangkat Mahmud Syah menjadi Sultan, biarpun dalam keadaan lemah. Hal ini guna mempertanggungjawabkan tugas negara dan kclangsungan pemerintahan Aceh. Meskipun secara resmi Tuanku Hasyim menolak diangkat menjadi Sultan, tetapi secara praktis, ia bertanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas kesultanan demi kepentingan negara,bangsa dan agama.
Pada waktu Sultan baru diangkat, kekuatan-kekuatan yang ada di Aceh ada tiga golongan. Pertama golongan keturunan Arab, jumlahnya sedikit, tetapi mereka ini termasuk golongan yang intelek, persatuannya kokoh. Oleh sebab itu golongan ini suka berperang. Kedua golongan penduduk asli, jumlahnya banyak. Mereka ini lebih dekat kepada Sultan, tetapi persatuan kurang kokoh. Di dalamnya tergabung Ulebalang-Ulebalang yang ternama, tetapi mereka ini nampaknya sangat lemah dan bersedia bekerja sama dengan Belanda. Oleh sebab itu Belanda mencoba mengadakan kontak dengan golongan ini. Ketiga golongan yang mempunyai pendirian keras, yang tidak dapat diajak berdamai. Jumlahnya terbesar. Mereka ini terdiri dari orang-orang kuat dan para ulama. Golongan inilah yang paling gigih menentang penjajahan Belanda.Golongan yang pertama dipimpin oleh Sayid Abdurachman Azzahir, sedang golongan yang ketiga dipimpin oleh Tuanku Hasyim, Tuanku Hasyim adalah tokoh yang kuat dan taat pada agama.
Disamping itu atas pengaruh Tuanku Hasyim banyak pula golongan Ulebalang yang taat pada agama. Mereka ada dipihak Tuanku Hasyim. Para Ulebalang yang mendukung Tuanku Hasyim ialah, Panglima Polim Ibrahim Muda Kuala, Teuku Nyak Raya Imeum Luengbata atau Panglima Keraton. Para ulama yang mendukung perjuangan Tuanku Hasyim ialah Tengku Cik di Kutakarang Syekh Abbas, Teungku Chik di Tiro Muhamad Saman dan lain-lainnya.
Demikianlah Tuanku Hasyim mendapat dukungan sepenuhnya dari kalangan orang-orang kuat, Ulebalang, para ulama dan kalangan rakyat banyak. Semua lapisan dan golongan menyerahkan kepercayaan pada Tuanku Hasyim. Melihat peranan Tuanku Hasyim yang sangat penting dalam menjalankan pemerintahan, maka para cerdik-pandai, Ulebalang dan ulama merasa perlu mengukuhkan kedudukannya. Hal ini mengingat umur Sultan yang masih terlalu muda, boleh dikatakan hanya seperti boneka, yang menjalankan roda pemerintahan adalah Tuanku Hasyim. Maka oleh sebab itu dengan keputusan para ulama, disahkan oleh tiga Imam besar dan Panglima Tiga Sagi, yaitu menteri besar Wazirul A'zan Panglima Polim Seri Muda Perkasa, Menteri Besar Wazirul Ghaza dan Menteri bcsar Qhadhi Malikul Alam Seri Setia Awadim Syiah Ulama, beserta Hulubalang empat dan Hulubalang delapan. Upacara pengesahan ini bertempat di Balairung Darul Dunya dihadapan Sultan. Dan semenjak itu Tuanku Hasyim diangkat menjadi Panglima Tertinggi kerajaan Aceh.
Kemudian kerajaan menyerahkan semua perlengkapan, urusan luar dan dalam, mengatur urusan kerajaan, penasehat, urusan peperangan, urusan pertahanan dan keamanan, dan urusan kehakiman kepada Tuanku Hasyim. Langkah pertama yang ditempuh Tuanku Hasyim setelah diangkat menjadi Panglima Tertinggi kerajaan Aceh, adalah menghimpun seluruh kekuatan dan mengumpulkan segala perlengkapan perang. Ia memerintahkan kepada semua Panglima Perang dan Ulebalang untuk bersiap-siap menghadapi Belanda. Hal ini disebabkan karena rakyat Aceh merasa cemas melihat gerak-gerik tentara Belanda yang terus menerus mengadakan tekanan. Untuk menghadapi hal ini Tuanku Hasyim telah memasukkan alat perlengkapan perang ke Aceh Besar. Kemudian, untuk memberikan jawaban atas tantangan Belanda itu, ia mengadakan musyawarah dengan Panglima Tiga Sagi dan Ulebalang semuanya serta segenap alim ulama. Selanjutnya ia sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengumumkan perang terhadap Belanda dan dengan tegas menolak kedaulatan Belanda atas Aceh. Kemudian, melalui wakilnya Tengku Said Abdullah untuk menyampaikan kepada seluruh rakyat Aceh agar supaya bersiap-siap menghadapi serangan Belanda.
Semua usaha yang dijalankan oleh Belanda tidak membawa hasil, karena pihak Aceh kelihatan makin memperkuat dan menyusun kekuatan tempurnya. Oleh sebab itulah, maka pada tanggal 22 Maret 1873 Belanda melabuhkan kapal perangnya yang bernama Citadel Van Antwerpen di Meuraksa yang jauhnya dari benteng Aceh tidak dapat. dkapai oleh tembakan meriam.
Kedatangan kapal perang Belanda ini telah dinanti oleh pasukan Aceh. Di sepanjang pantai Kuta Meugat, Kuta Bugis, Kuta Bak Me telah disiapkan semua pasukan dengan perbentengan yang kuat. Sebelum menyerang, Komisaris Belanda F.N, Nieuwenhuijzen mengirim Sidi Tahil sebagai utusan dan menyampaikan surat ancaman kepada Sultan yang isinya menyatakan bahwa Belanda tidak akan menyerang Aceh, apabila Aceh mengakui kedaulatan Belanda. Demikianlah sebelum dimulai penyerangan, terjadi surat-menyurat antara kerajaan Aceh dan Belanda, tetapi tidak membawa hasil yang diharapkan oleh Belanda.
Pada kesempatan ini Tuanku Hasyim tidak berada di tempat. Ia sedang menjalankan tugas penting (di Aceh Timur dan juga untuk sekaligus meninjau benteng pertahanan Aceh pada bagian timur. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Penang untuk mengurus alat alat perlengkapan perang kerajaan Aceh dalam menghadai Belanda. Karena itu ia menyerahkan pimpinan pasukan Aceh kepada Seri Muda Perkasa Teuku Panglima Polim Mahmud Gut Banta dibantu oleh anaknya Teuku Ibrahim Muda Kuala dan Teuku Nyak Imeum Luengbata (Panglima Dalam). Pada tanggal 6 April 1373 saat-saat yang dinanti tibalah. Belanda mendaratkan pasukannya dan terus menyerbu Meuraksa dengan lindungan tembakan meriamnya, Maka terjadilah perang laut yang seru dan saling tembak-menembak. Pasukan Aceh memberikan perlawanan yang gigih dengan membendung arus penyerangan tentara Belanda. Tentara Belanda terus maju menerobos pertahanan Aceh dengan alatnya yanag lengkap dan serba modern.
Dalam terobosan-terobosan ini terjadilah perang tanding, seorang melawan seorang dimana prajurit Aceh maju dengan kelewang yang sukar bagi Belanda menghadapinya dalam jarak dekat. Berkat keunggulan persenjataan dan keahlian pasukan Belanda serta dengan susah payah Belanda berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman sebagai benteng pertahanan Aceh yang kuat. Di pihak Aceh gugur sebagai syuhada Teuku Imuem Lam Krak dan Teuku Rama. Dalam mempertahankan Masjid Raya Panglima Polim, Cut Banta, Teuku Muda Tualang, Teuku Muda Bintang, Teuku Muda Bin berjuang mati-matian dengan mempergunakan rencong dan kelewang di depan pintu gerbang masjid Raya. Bantuan pihak Aceh terus mengalir. Ulebalang Sagi 22 mukim dipimpin oleh Teuku Keumala, Teuku Muda Baet dengan diikuti terus oleh rakyat Aceh. Mereka membanjiri arena pertempuran Masjid Raya. Demikian serunya pertempuran ini, sehingga tidak terasa pertempuran sudah berlangsung tiga hari, siang dan malam. Begitu juga banyak korban yang ber jatuhan di kedua belah pihak.
Pertempuran di Masjid Raya kekuatan kedua belah pihak mencari dan mempertahankan posisinya masing-masing yang strategis. Panglima Dalam dengan dibantu oleh Teuku Cut Nyak Cadek memimpin barisan meriam. Ia terus menerus menembakkan meriamnya ke arah Masjid Raya dan Blang Padang yang telah diduduki oleh tentara Belanda. Panglima Sagi 26, Ulebalang-Ulebalang serta rakyat bertahan di Kampung Jawa dan Panglima Sagi 25 di Kampung Punge. Para ulama dan rakyat ikut serta mengambil bagian dalam pertempuran ini. Mereka ini memberikan pula dukungan moril kepada prajurit-prajurit Aceh. Dalam suasana yang meriah di mana Belanda menganggap telah aman, karena mereka telah dapat merebut Masjid Raya. Akan tetapi tiba saatnya bagi pasukan Aceh di mana Panglima Polim Cut Banta membidikkan senapannya dan mengenai sasarannya. Akibatnya kacau-balaulah pasukan Belanda yang sedang istirahat. Pemimpin tertinggi tentara Belanda, yakni Köhler tewas seketika. Karena itu Belanda dengan cepat meninggalkan Masjid Raya dan lari kembali ke kapalnya yang sedang menanti di pantai. Mereka lari dengan banyak meninggalkan korban yang tak sempat dibawa.
Setelah penyerangan Belanda yang pertama dapat digagalkan oleh kekuatan Aceh. Tuanku Hasyim beserta rombongannya tiba kembali di ibu kota. Sambil menanti laporan dari Panglima Polim Mahmud Cut Banta, ia istirahat di dalam. Tetapi setelah empat hari menunggu laporan dari bawahannya yang tidak datang, maka ia terus berangkat ke Banda Aceh untuk melihat sendiri dari dekat tentang situasi medan dan sekaligus memberi perintah untuk mengatur kembali pasukan Aceh dan mempersiapkan benteng-benteng pertahanan. Kapal-kapal Belanda masih berkeliaran di perairan Aceh. Mereka masih mengintai pantai, dan menunggu kesempatan yang baik. Di sini kelihatan bahwa Belanda dan Aceh sama bertahan pada pendiriannya yang kokoh. Belanda di bawah panji-panji kolonialnya memeras otak, berdaya-upaya dan mengerahkan seluruh kekuatannya atas perintah atasannya.
Kemenangan sudah terbayang, mereka telah berhasil mematahkan benteng pertahanan Aceh, tetapi hanya untuk sementara. Kekuatan terpaksa ditarik kembali karena pemimpin tertingginya sendiri tewas dalam peperangan akibat tembakan yang tepat pasukan Aceh. Oleh sebab itulah maka mereka berusaha untuk menyapu bersih kekuatan Aceh. Dengan demikian maka akan terangkatlah nama bangsanya. Wilayah jajahan akan terbentang luas dari barat sampai ke timur. Sebaliknya rakyat Aceh berjuang sekuat tenaga. Mereka berusaha membendung atas penjajahan Belanda. Tuanku Hasyim sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh merasa bertanggung jawab atas keselamatan negara dari cengkeraman penjajah Belanda. Betapa aibnya apabila Belanda kafir yang jauh datang dari seberang sana berhasil menanamkan kekuasaannya di tanah Aceh. Tanah yang telah dibina dan dibangun bertahun-tahun, bahkan sudah beratus tahun oleh putera-putera Aceh yang mencintainya.
Karena itulah Tuanku Hasyim dengan penuh semangat dan kesungguhan hati mengatur strategi pertahanan. Selanjutnya beliau menghimpun segenap kekuatan untuk memperkuat barisan Aceh dalam menghadapi musuh. Untuk ini ia mengatur susunan dan barisan tentaranya dan memberi tugas kepada Panglima-panglimanya.
Panglima dalam (keraton) beserta pasukannya ditempatkan di Kuta Laksamana. Panglima Tiga Mukim bcrtugas memperkuat Kuta Meusafi. Panglima Areh dari Lima Mukim Montasiek memimpin pasukan di Kuta Bak Bie, Teuku Keunalo dari Seulimeum ditempatkan di Kuta Nie dan ia sendiri mengkordinir pasukan di Kuta Raja Perak dan Makam,Teungku Syiah Kuala. Benteng-benteng pertahanan diperkuat dan ditambah alat perlengkapannya, sehingga benteng Aceh terbentang sepanjang pantainya merupakan mata rantai yang kukuh yang dimulai dari sebelah timur Krueng Aceh melingkar sampai ke Pidie. Pada tiap benteng ditempatkan meriam sebagai alat penangkis serangan kapal Belanda dari arah laut.
Rencana Tuanku Hasyim rapanya tercium oleh mata-mata Belanda. Oleh sebab itulah maka dalam serangan kedua kalinya Van Swieten atas anjuran mata-matanya mendaratkan pasukannya di Lhok Nga (Krueng Raba), yang kemudian dapat memukul pertahanan Aceh dari belakang. Dalam penyerangan ini Van Swieten merasa berat karena menghadapi kekuatan yang besar. Suatu taktik jahat Van Swieten ialah menyebarkan bibit penyakit koléra, sehingga kekuatan Aceh menjadi lemah dan daya tempurnya lumpuh. Penyakit koléra merajalela diibu kota Aceh dan Sultan sendiri terkena sehingga wafat. Kemudian Belanda mendaratkan lagi pasukannya di Ujung Pedro Pasi Lamnga. Melihat serangan yang tiba-tiba ini Tuanku Hasyim cepat-cepat mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Lam Nga. Dengan penuh semangat prajurit-prajurit Aceh menunjukkan keahliannya dalam menghadapi pasukan-pasukan Belanda, sehingga serangan Belanda dapat digagalkan. Karena itu Belanda mengalihkan penyerangannya ke Kuala Gigieng dan Alue. Di sini juga serangan Belanda disambut dengan perlawanan yang gigih oleh prajurit-prajurit Aceh, sehingga pertempuran berlangsung selama dua hari dan akhirnya Belanda menarik pasukannya. Kemudian pasukan Belanda berhasil merebut Kuta Cut Gampong Baro.
Karena marahnya mereka membakar habis dan memusnahkan tempat itu. Setelah itu Belanda mencoba kembali menyerang Lamnga, tetapi gagal. Pertempuran terus berlangsung siang dan malam dengan tidak berkurang sengitnya. Prajurit-prajurit Aceh terus bertempur dengan semangat yang tinggi, tidak mengenal lelah. Mereka dengan tulus ikhlas mempertahankan tanah airnya yang tercinta. Pasukan meriam terus bekerja dengan tembakannya untuk memberikan perlindungan pada prajurit Aceh, begitu juga pihak Belanda. Dengan keunggulan persenjataannya mereka mendesak Aceh, Pasukan Aceh memindahkan posisinya ke tempat yang lebih strategis, sehingga dengan mudah memukul lawan.
Demikianlah korban berjatuhan di kedua belah pihak. Tetapi Aceh tidak mengendorkan perlawanannya, bahkan terus maju ke depan mencari lawan. Akhirnya Belanda dapat menerobos dan mematahkan perlawanan prajurit Aceh, dan menempatkan pasukannya di Peunayong dengan tujuan akan merebut Kraton. Kemudian Belanda berusaha menekan Sultan untuk menanda-tangani surat penyerahan.
Untuk mengimbangi kekuatan Belanda, Tuanku Hasyim dengan cepat memindahkan pertahanan dari kiri kanan Krueng Aceh, dengan tujuan untuk menggempur Peunayong, Lambhuk dan Peukan Aceh. Pertahanan pasukan Panglima Polim di Iampoh Jok dan Kuta Gunongan diperkuat dengan menambah barisannya dan mcnambah perlengkapan tempurnya.
Begitu juga Teuku Kali dan Panglima Polim untuk mempertahankan Keraton ditempatkan pada bagian selatan. Tetapi karena suatu pengkhianatan, pasukan Belanda di bawah pimpinan W.V. Kerchem dengan kekuatan dan jumlah yang banyak terlebih dahulu menyerang pertahanan Lambhuk. Maka terjadilah perang tanding yang seru, yang mcngakibatkan W.V. Kerchem tewas dalam pertempuran ini . Kemudian kepala stafnya G.C.E, Van Daalen mengambil alih tugas pimpinan, tapi karena kurang kecakapannya pimpinan diambil alih oleh Jenderal Mayor Versvijek. Pertempuran terus berlangsung dan makin seru, batalion ketiga tentara Belanda yang telah berhasil mendekati pertahanan Aceh terdesak mundur oleh tembakan yang gencar dari pasukan Aceh. Pertempuran ini banyak menelan korban di kedua belah pihak.
Pada tanggal 26 Desember 1873 terjadilah pertempuran yang seru dalam penyerangan Belanda disekitar Keraton. Pada daerah ini tumbuh sebangsa pohon tebu yang sangat baik dan pohon tebu ini merupakan benteng pertahanan Aceh yang telah diatur sedemikian rupa, sehingga susah bergerak bebas kecuali dengan merangkak pelan-pelan. Tumbuhan tebu ini telah ditanam lama atas perintah Tuanku Hasyim sebagai perisai untuk melindungi keraton. Kemudian sebagai barisan pertahanan Keraton di samping senjata api ditempatkan pula sepasukan ahli pedang yang terlatih dan berpengalaman.
Melihat perlindungan yang baik ini Belanda secara diam-diam mendaratkan pasukannya dan menyusup ke dalam kebun tebu ini dan terus bergerak secara diam-diam mendekati Keraton. Gerak-gerik ini diikuti terus oleh pasukan Aceh, tetapi mereka belum bertindak karena belum ada komando dari pimpinan. Tetapi setelah pereahu terakhir yang menyeberangkan pasukan Belanda, Tuanku Hasyim memerintahkan supaya semua perahu dibakar, hanya satu yang dapat meloloskan diri. Setelah itu ia. memerintahkan pengepungan terhadap tentara Belanda yang sudah bersembunyi di kebun tebu tersebut. Maka keluarlah Panglima Polim, Imeum Leungbata, Tengku di Muleuk Said dari persembunyiannya beserta prajurit ahli pedang maju menebas serdadu-serdadu Belanda. Pasukan Belanda menjadi panik, mereka tak dapat berbuat banyak. Karena tidak dapat mempergunakan senjatanya. Satu-satunya jalan ialah dengan mencoba melarikan diri dan terjun ke Krueng Aceh, tetapi sebagian besar ditebas oleh prajurit Aceh. Kepala atau anggota badan mereka putus sekaligus. Alat senjata mereka banyak yang jatuh ke tangan pasukan-pasukan Aceh. Dalam pertempuran ini banyak perwira Belanda yang tewas. Akibat kekalahan ini Belanda mengosongkan Lambhuk yang telah didudukinya.
Demikianlah beratnya tugas tentara Belanda. Telah tiga kali Van Swieten terpukul mundur dalam merebut pertahanan Aceh. Sedang korban telah banyak berjatuhan. Oleh Karena itu timbul kebimbangan Belanda dalam meneruskan penyerangannya, Tetapi untuk menjaga prestise dan nama baik tentara Belanda, maka mundur berarti gagal total. Karena itu Belanda membatasi diri. Penyerangan kini dipusatkan hanya ke Keraton saja. Dengan merebut Keraton, kekuatan Aceh dapat dilumpuhkan. Tetapi setelah menguasai Keraton, ternyata pertahanan Aceh cukup kuat dengan pagar berlapis. Pada tiap sisinya telah menanti muntahan peluru meriam. Melihat hal ini Belanda merasa pesimis untuk terus menyerang. Tuanku Hasyim tidak berdiam diri. Ia telah menyiapkan pasukannya yang terpilih untuk mengepung benteng Belanda di Peunayong. Bantuan makin berdatangan dari tiap kemukiman. Posisi penyerangan telah diatur dan pembagian tugas dijalankan dengan seksama. Teuku Cik memimpin Kuta Bak Mamplam, dan ia dibantu oleh rakyat VI Mukim Peukan dan rakyat IX Mukim Lamtheun. Teuku Muda Baet dari VII Mukim memimpin sebahagian rakyat Sagi 22 Mukim dan ditempatkan di Keraton. Rakyat Sagi 25 Mukim ditempatkan di garis pengepungan yaitu Kuta Bak Mamplam, Kampong Jawa dan Blang Peureulak. Teuku Cik Muda di warung-warung dan rumah-rumah. Teuku Keunalo di muara Krueng Daroi dan Teuku Luengbata di tepi sungai Krueng Aceh. Demikianlah persiapan yang telah diatur dan tinggal menanti perintah Tuanku Hasyim.
Tetapi rencana penyerangan ini gagal, karena Belanda mendahului menyerang Kuta Reuntang dan sekaligus dengan Lambhuk. Penyerangan ini dapat digagalkan oleh rakyat Sagi 26 Mukim Karena telah diperkuat dengan pagar yang kuat. Kemudian Belanda menarik pasukannya ke Lampulo. Pada tanggal 6 Juni 1874 terjadilah peperangan yang sangat dahsyat di Masjid Raya Baiturrahman. Sebelum mengadakan penyerangan, Belanda mengirim utusan yakni Mas Sumo Widikjo. Tujuannya untuk menyampaikan surat kepada Sultan dengan maksud supaya Aceh mengakui kedaulatan Belanda. Aceh menolak tuntutan Belanda itu. Karena itu Van Swieten mengerahkan segenap kekuatannya untuk menyerbu Masjid Raya. Serdadu-serdadu Belanda jatuh bergelimpangan memanjat pagar setinggi dua meter oleh tembakan senapan pasukan Aceh.
Di bawah desingan peluru dan muntahan meriam Tuanku Hasyim mengerahkan pasukannya. Mereka berjuang mati-matian, maju terus menetakkan kelewangnya ke leher tentara Belanda, sehingga Masjid Raya banjir darah. Namun pertempuran tidak berhenti. Masing-masing mempertaruhkan nyawanya. Daya upaya habis, Tuanku Hasyim memindahkan arena pertempuran ke luar mesjid, Belanda merasa beruntung karena telah dapat menduduki Masjid Raya. Hilanglah benteng pertahanan Aceh yang telah dipertahankan selama tiga belas hari. Dengan jatuhnya Masjid Raya, Tuanku Hasyim beserta pasukannya menyingkir ke Mukin 26 dan disini ia menyusun kembali kekuatannya. Ia membicarakan soal ini dengan para Ulebalang, terutama jalan keluar untuk mengatasi kekalahan yang diderita. Kemudian ia memerintahkan Panglima Tengku Chik Kuta Karang untuk mengatur dan menyusun kekuatan. Ia sendiri bermarkas di Masjid Pagar Aye bersama Panglima Polim. Mereka mengumpulkan para Ulebalang untuk bermusyawarah dalam rangka mengambil taktik dan strategi baru. Tuanku Hasyim terus bergerak dan memindahkan pusat kedudukannya ke Meumalo. Begitu juga Panglima Polim karena terjepit oleh serangan Belanda, sehingga tak dapat mempertahankan Keraton. Teuku Muda berhasil mengungsikan Sultan ke Pagar Aye dan di sinilah Sultan mangkat terkena penyakit Colera.
Belanda terus berusaha menghubungi keluarga Sultan, untuk diangkat sebagai bonekanya. Karena itu Panglima Polim mengambil kebijaksanaan ia bermusyawarah dengan panglima-panglima dan ulebalang-ulebalang untuk mengangkat ganti Sultan. Atas keputusan yang bulat mereka menunjuk Tuanku Hasyim. Beliau menolak hasil mufakat ini. Kemudian beliau menunjuk Muhamad Daud untuk diangkat menjadi Sultan. Dengan upacara seperti biasanya disahkanlah Tuanku Muhamad Daud Syah menjadi Sultan dengan perwalian Tuanku Hasyim. Pengangkatan ini bertempat di Mesjid Lama Tengah. Karena desakan Belanda yang terus-menerus, pasukan-pasukan Aceh memindahkan kekuatannya ke daerah timur. Dari daerah inilah diatur semua siasat. Tuanku Hasyim tidak mengecewakan pengikutnya. Beliau terus aktif memikirkan perjuangan Aceh untuk mengusir penjajahan Belanda yang kafir. Pada tiap panglima diperintahkan untuk menyampaikan pada tiap mukim dan menyebar luaskan kepada rakyat untuk terus berjuang. Peperangan ini adalah perang suci, perang agama, untuk mengusir Belanda yang kafir dari bumi Aceh.
Demikianlah Tuanku Hasyim mengatur semangat Perang Sabil kepada seluruh rakyat Aceh. Secara spontan rakyat menyambutnya dengan seruan Allahu Akbar. Belanda kafir adalah musuh, karenanya harus diusir.
Pada tahun 1879 Tuanku Hasyim semakin tua, namun jiwa patriot dan semangat jihadnya tetap membara untuk menentang penjajahan Belanda. Ia tinggal di Keumala Dalam bersama Sultan Muhamad Daud Syah yang masih berumur kurang lebih 10 tahun. Berkat daya upaya, Kuta Keumala Dalam terus tumbuh dan mampu menjadi ibu kota Kerajaan Aceh yang kedua yang akhirnya menjadi pusat kebudayaan yang ternama dan pusat perdagangan lokal.
Dari Keumala inilah Tuanku Hasyim mengatur pimpinan pemerintahan Aceh baik sipil maupun militer sambil mengasuh Sultan Muhammad Daud Syah yang masih kecil. Berkat asuhan dan bimbingan beliau Muhammad Daud bertumbuh menjadi seorang tokoh pemimpin yang berwatak dalam memimpin dan mengasuh baginda Tuanku Hasyim didampingi oleh pembesar-pembesar kerajaan yang setia, diantaranya adiknya sendiri Tuanku Mahmud Bangta Keucik sebagai Menteri Jaksa Agung, sedangkan adiknya Tuanku Itam ditugaskan untuk memperkuat pertahanan Panglima Polim di Sagi 22 Mukim. Begitu juga pimpinan perjuangan dan panglima-panglima berdatangan ke Keumala Dalam untuk memberikan laporan dan petunjuk yang diperlukan. Kemudian, keadaan memaksa Tengku Cik di Tiro diperintahkan untuk memperkuat Panglima Polim di Sagi 22 Mukim. Kemudian benteng Panglima Polim dipercayakan kepada Tengku Chik di Tiro Muhamad Saman. Sedang Teuku Nyak Raja Imeum Luengbata tetap mendampingi Tuanku Hasyim di Keumala Dalam.
Dalam menjalankan tugas ini Tuanku Hasyim terus mengadakan hubungan dengan luar, utusan datang ke Keumala antara lain dari negara Kedah dan Kelang. Tujuan utusan ini ialah untuk mendamaikan Aceh dengan Belanda. Namun dengan halus dan bijaksana Tuanku Hasyim menolak usaha ini. Setelah Panglima Teuku Chik di Tiro Muhamad Saman dan Panglima Polim Muda Kuala meninggal dunia. Belanda mencari jalan untuk melunakkan Tuanku Hasyim untuk mengakhiri peperangan. Untuk ini Belanda mengutus Raja Ismail bin Raja Abdullah dari Selangor dengan membawa surat Sultan Abubakar dan Johor. Utusan ini mengharapkan agar persoalan Aceh dan Belanda diselesaikan secara damai. Selangor dan Kedah bersedia menjadi penengah. Tapi usul ini ditolak oleh Tuanku Hasyim. Ia tetap pada pendiriannya, tidak mau berdamai dengan Belanda.
Setelah Sultan Muhamad Daud Syah dewasa dan dianggap sudah mampu memegang pimpinan pemerintahan Aceh, maka dalam tahun 1894 Hasyim beserta keluarganya meninggalkan Keumala Dalam dan pulang ke Reuebee, ke Rumah Raja di Meunasah Runtoh. Kemudian dalam tahun 1896 ia kembali ke Padang Tiji. Meskipun sudah meninggalkan ibukota Kerajaan Keumala Dalam, ia tetap dikunjungi oleh para panglima, ulama dan Ulebalang untuk mengadakan konsultasi.
Setelah 20 tahun lamanya memegang pimpinan, tepat hari Jum'at tanggal 22 Januari 1891 Tuanku Hasyim meninggai dunia dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di samping Mesjid Padang Tiji dalam Sagi dua puluh dua mukim.
Sumber : Naskah Asli karya Muchtaruddin Ibrahim Pada Proyek Biografi Pahlawan Nasional pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemant P & K tahun 1977
0 Response to " Tuanku Hasyim Banta Muda, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kesultanan Aceh Darussalam. "
Posting Komentar