Mercusuar Williems Torren III Sisa Belanda di Pulo Aceh




Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam dengan perahu kayu dari Desa Gugup. Akhirnya kami pun sampai di Lhe Blah, sebuah teluk berlaut biru yang berhadapan langsung dengan Pulau Weh di seberangnya. Lhe Blah terletak di utara Pulau Breueh salah satu pulau dalam gugusan Pulau Aceh di Kabupaten Aceh Besar. Dari Desa Gugup menuju Lhe Blah belum ada jalan yang memadai. Hanya jalan tanah, jika hari hujan maka jalanan pun tergenang lumpur. Menempuh jalan darat menuju Lhe Blah ibarat berjibaku dengan kendaraan. Jalanan tanpa aspal dan berlumpur menjadi tantangan. Bang Muslim penduduk asli Desa Gugup menyarankan saya untuk pergi dengan perahu nelayan menuju Lhe Blah untuk melihat sisa peninggalan Belanda jauh di ujung Pulau Sumatra, Mercusuar Williems Torren. Mengingat jika pergi melalui jalur darat dengan kendaraan bermotor maka perjalanan akan sulit dan menguras banyak tenaga.
Sampai di Lhe Blah, bukan perkara mudah untuk menyentuh daratan. Air laut saat itu sedang pasang, perahu kami di goyang-goyangkan ombak. Saya hampir saja tenggelam saat berusaha melepas jangkar. Tapi syukurlah setelah berusaha untuk mencari tempat untuk lempar jangkar kami pun bisa menginjakkan kaki di daratan. Lepas melepas jangkar Pak Ramli yang mengemudikan perahu meninggalkan kami, beliau lebih duluan menuju ke Maulingge.
Sebenarnya tujuan perjalanan kami adalah ke Mercusuar di utara Pulau Breueh yang masuk kedalam gugusan Pulau Aceh di Aceh Besar. Orang Pulau Breueh menyebut mercusuar ini dengan sebutan Lampu. Mercusuar buatan Belanda ini dibangun pada Tahun 1875. Adalah Williem III atau Williem Alexander Paul Frederick Lodewijk, seorang penguasa Belanda kala itu yang memiliki andil besar dalam melakukan pembangunan menara lampu ini. Memang kala itu, Utara Pulau Sumatra tepatnya di Kawasan Pulau Weh saat ini memang dijadikan oleh Belanda sebagai basis pelabuhan bebasnya. Ribuan kapal yang melintasi Selat Malaka akan singgah di Sabang. Lampu pun di bangun sebagai penanda bagi para awak kapal. Namun Pelabuhan Sabang yang sempat berjaya di abad 19 lenyap sudah akibat perang dunia kedua. Belanda dipukul mundur dan hiruk pikuk pelabuhan Sabang pun tinggal kenangan. Penasaran bagaimana kelanjutan perjalanan menyusuri sisa – sisa Belanda di Utara Sumatera?
Hampir satu setengah abad sudah menara pancar ini dibangun sebagai penanda bagi kapal-kapal berbadan besar yang hendak menyandarkan lambungnya di Pulau Weh. Namun sisa-sisa kejayaan menara lampau ini tidak lenyap seperti pelabuhan Sabang. Kejayaan lampau ini masih terasa hingga sekarang. Sayapun untuk pertama kalinya menempuh perjalanan ribuan kilo dari tempat saya tinggal demi mengenang sisa-sisa peninggalan kejayaan Belanda di barat Indonesia.
Kami berjalan dari Lhe Blah menuju menara pancar. Jalanan hanya tanah tidak ada aspal atau semen. Di kiri-kanan pohon besar menemani perjalanan menuju ke menara pancar ini. Saya berjalan lambat, ketinggalan jauh dari Bang Muslim yang sudah melaju di depan. Lepas beberapa ratus meter, jalan setapak ini semakin menanjak. Saya menarik nafas dalam-dalam sembari menikmati bau-bau berbagai macam dedaunan. Di perjalanan menuju menara pemancar beberapa area tanah sudah dipancangi dengan papan nama pemilik tanah. Aneh juga, ditempat yang tidak berpenghuni ini bahkan pemiliknya pun memancangkan papan nama.
Salah satu bangunan yang sudah dipenuhi oleh semak belukar.

Setelah berjalan lebih dari satu jam, kami beristirahat di pertigaan jalan. Bang Muslim meluruskan urat kakinya, saya pun turut serta beristirahat sejenak. Di bawah pohon kayu manis kami membuka bekal makanan siang yang kami beli di Desa Gugup sebelum berangkat tadi. Gonla juga memiliki referensi flight dan penginapan untuk sampai ke pulau di Barat Sumatera ini. Sambal ikan dengan cabe mengisi perut kami siang itu. Kami berisitirahat sejenak untuk memberi kesempatan untuk lambung kami meremas-remas nasi yang kami makan tadi. Ikuti terus yah kisah perjalanan menyusuri sisa – sisa peninggalan Belanda di Utara Sumatera.
Setelah berkenalan dan bercerita tentang mercusuar ini saya pun meminta izin untuk naik ke puncak mercusuar. Saya melewati bangunan-bangunan tua menuju ke pintu menara suar. Dinding-dinding bangunan sudah mulai retak, kayu-kayu pintu nya pun sudah mulai lapuk. Tepat di depan bangunan, beberapa tempat penampungan air yang terbuat dari besi masih kokoh berdiri meski karat-karat sudah mulai menggerogoti sekujur kulitnya. Saya berjalan perlahan, melongokan kepala ke dalam salah satu ruangan. Hanya daun-daun saja yang mengisi seluruh lantai. Saya pun berlalu menuju pintu masuk menara.
Tepat diatas pintu masuk menara suar tertulis bait-bait kalimat dalam Bahasa Belanda. Dalam bahasa Indonesia mungkin terjemahannya adalah “Penghormatan untuk yang mulia Williem III. Raja Belanda sekaligus penguasa luxemburg. Damailah di perjalananmu yang panjang. Kami mengagumi semua keberanianmu. Segala kehidupan dan perjuangan yang kau persembahkan. GWEN”. Saya mengambil beberapa bingkai foto yang bertuliskan dalam Bahasa Belanda kemudian membuka pintu mercusuar.
Hawa lembab terasa sekali saat saya menginjakkan kaki pertama di Mercusuar. Saya menaiki tangganya. Beberapa bagian tangga sudah ada yang tanggal. Saya pun melangkah dengan hati-hati, khawatir tiba-tiba tangga yang saya injak itu lapuk dan membuat saya terjerembab. Bukan perkara mudah jika saya patah tulang atau terluka di menara ini. Rumah sakit terdekat di Pulau Sabang. Mungkin akan butuh beberapa jam lagi untuk tiba disana supaya saya dapat pertolongan pertama jika kecelakaan. Setelah menaiki tangga kurang lebih delapan puluh meter. Akhirnya saya sampai juga di puncak menara. Lampu menara yang besar menjadi pemandangan pertama yang menarik perhatian saya. Dari atas menara Pulau Weh terlihat jelas. Beberapa kapal yang melintasi laut Sabang juga terlihat. Saya duduk terdiam melihat pemandangan laut dan hutan Pulau Breueh. Membayangkan cara pembangunan menara berketinggian 85 meter ini saat zaman dulu.
Saya melepas pandang sejenak bersandar di pinggir puncak menara yang di kelilingi terali besi bercat merah. Melihat jauh ke bawah laut berwarna biru semakin keras riaknya. Mungkin menara ini hanya seonggok sisa peninggalan Belanda yang menjajah Indonesia di zaman dulu. Namun bagi saya ini lebih dari sebatas mercusuar biasa. Bagi saya mercusuar ini membuka mata saya akan besarnya negeri ini. Negeri Indonesia tempat saya lahir dan dibesarkan. Saya menyudahi kunjungan saya di menara ini. Kemudian berjalan menjauh meninggalkan bangunan batu ini.

0 Response to " Mercusuar Williems Torren III Sisa Belanda di Pulo Aceh "

Posting Komentar