1. Mesjid Raya Baiturahman
Uraian Singkat :
Mesjid Raya Baiturahman yang
terletak di pusat kota Banda Aceh yakni di Pasar Aceh merupakan mesjid
kebanggan masyarakat Aceh. Sejarah mencatat pada jaman dulu ditempat ini
berdiri sebuah Mesjid Kerajaan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh
pada tahun 1873 Mesjid ini dibakar, namun untuk meredam kemarahan rakyat Aceh
pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah Mesjid sebagai penggantinya
yang berdiri megah saat ini. Mesjid ini berkubah tunggal dan dibangun pada
tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada
tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959 – 1968).
Gunongan merupakan sebuah
bangunan peninggalan Sultan Iskandar Muda (1608-1636) untuk permaisurinya Putri
Phang.Menurut sejarah, Putri Phang selalu merasa rindu akan kampung halamannya,
Pahang – Malaysia. Sultan kemudian mengetahui bahwa kegusaran permaisurinya itu
karena di Pahang Istananya dikelilingi oleh perbukitan dimana permaisuri dapat
bermain, namun disini tidak. Lalu Sultan membangun sebuah gunung buatan yaitu
Gunongan dimana permaisuri dapat memanjatinya. Begitu bangunan ini siap,
permaisuri menjadi berbahagia dan lebih banyak menghabiskan waktunya disini
terutama pada saat matahari akan tenggelam. Gunongan terletak dalam sebuah
komplek di Jl. Teuku Umar Banda Aceh, dimana daerah tersebut luput dari
keganasan Tsunami.
Uraian Singkat :
Dibangun Pada masa Pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, Pinto Khop merupakan pintu penghubung antara Istana dan
Taman Putroe Phang. Pinto Khop ini merupakan pintu gerbang berbentuk kubah.
Pintu Khop ini merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah
berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan, disanalah dayang-dayang membasuh
rambut sang permaisuri. Disana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri mandi
bunga. Ditempat itu pula oleh Sultan dibangun sebuah perpustakaan dan menjadi
tempat sang permaisuri serta Sultan menghabiskan waktu sambil membaca buku
selepas berenang, keramas dan mandi bunga.
Uraian Singkat :
Kerkoff berasal dari
bahasa Belanda yang berarti kuburan, sedangkan Peutjoet atau asal kata dari
Pocut (putra kesayangan) Sultan Iskandar Muda yang dihukum oleh ayahnya sendiri
(Sultan Iskandar Muda) karena melakukan kesalahan fatal dan dimakamkan di
tengah-tengan perkuburan ini. Pada relief dinding gerbang makam tertulis
nama-nama serdadu Belanda yang meninggal dalam pertempuran dengan masyarakat
Aceh (setiap relief ada 30 nama); daerah pertempuran, seperti di Sigli, Moekim,
Tjot Basetoel, Lambari en Teunom, Kandang, Toeanko, Lambesoi, Koewala, Tjot
Rang – Pajaoe, Lepong Ara, (Oleh Karang – Dango, dan Samalanga); dan tahun
meninggal para serdadu (1873-1910). Sekitar 2200 tentara Belanda termasuk 4
jenderalnya sejak tahun 1883 hingga 1940-an dikuburkan di sini. Di antara para
serdadu Belanda tersebut ada beberapa nama prajurit Marsose yang berasal dari
Ambon, Manado dan Jawa. Para prajurit Marsose yang berasal dari Jawa ditandai dengan
identitas IF (inlander fuselier) di belakang namanya, prajurit dari Ambon
dengan tanda AMB, prajurit dari Manado dengan tanda MND, dan serdadu Belanda
dengan tanda EF/ F.
Rumah tradisonal suku Aceh
dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3
bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë
keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë
likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh
dapu (rumah dapur).
6.
Masjid Tuha Indrapuri
Awalnya merupakan Candi yang
didirikan orang-orang Hindu di Aceh, kemudian dihancurkan setelah masuk dan
berkembangnya agama Islam. Di atas reruntuhan Candi tersebut, selanjutnya
dibangun masjid yang diberi nama Masjid Indrapuri oleh Sultan Iskandar Muda
sekira tahun 1607-1636. Sekarang Masjid tersebut masih ada dalam bentuk
bangunan tradisional yang tetap dilestarikan serta difungsikan sebagai tempat
ibadah.
Dahulu kala, Benteng Patra Indra
Patra digunakan sebagai benteng pertahanan dari serangan – serangan meriam
Portugis. Letaknya pun strategis karena menghadap langsung ke Selat Malaka.
Arsitekturnya yang unik dan mempunyai ukuran yang besar, menjadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat wisata ini. Letaknya di
Kecamatan Masjid Raya, jalan Krueng Raya, Banda Aceh.
Rencong atau Rincong atau
Rintjoeng adalah senjata pusaka bagi rakyat Aceh dan merupakan simbol
keberanian,keperkasaan,pertahanan diri dan kepahlawanan aceh dari abad ke abad. Menurut salah satu sumber Rencong telah dikenal pada awal Islam Kesultanan di
abad ke-13.
Dijaman Kerajaan Aceh Darussalam rencong ini tidak pernah lepas dari hampir setiap pinggang ( selalu diselipkan dipinggang depan ) rakyat Aceh yang rata-rata punya keberanian luar biasa baik pria maupun wanita karena rencong ini bagi orang Aceh ibarat tentara dengan bedilnya yang merupakan simbol keberanian,kebesaran,ketinggian martabat dan keperkasaan orang Aceh.
Dijaman Kerajaan Aceh Darussalam rencong ini tidak pernah lepas dari hampir setiap pinggang ( selalu diselipkan dipinggang depan ) rakyat Aceh yang rata-rata punya keberanian luar biasa baik pria maupun wanita karena rencong ini bagi orang Aceh ibarat tentara dengan bedilnya yang merupakan simbol keberanian,kebesaran,ketinggian martabat dan keperkasaan orang Aceh.
Lonceng atau genta yang terkenal
dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium
Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar
Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh
Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya
lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama "Cakra
Donya".
Senjata ini sejenis dengan
rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hamper sama
dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi
dari rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya mahal, juga
merupakan bagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang. Namun
demikian untuk siwaih yang telah diberikan hiasan emas dan permata pada sarung
dan gagangnya lebih berfungsi sebagai perhiasan dari pada sebagai senjata.
Sebuah wadah yang berbentuk
mangkuk yang berukuran kecil yang pada sisi luar dan dalamnya dihiasi dengan
ukiran berbentuk pucok rebong (tumpal) dan suluran bunga. Pada sisi bibir wadah
terdapat garis timbul melingkar. Biasanya wadah ini digunakan sebagai alat
mengambil air pada kehidupan sehari-hari dan upacara-upcara adat di daerah
Aceh.
Cambung (Tempat air bunga) yang
berbentuk seperti mangkuk berkaki pada bagian bawah dandiberi ukiran pucuk
rebung. Bagian yang berbentuk mangkuk diberi hiasan motif suluran bunga dan
suastika yang saling berdampingan dan dilatari dengan ukiran berbentuk telur
ikan. Wadah ini digunakan untuk menampung air bunga yang biasanya digunakan
oleh masyarakat Aceh untuk pergi ke kuburan atau upacara adat lainnya.
Sebuah ceurana yang terbuat dari
kuningan, kakinya berbentuk kaki dalang dan bagian atasnya berbentuk piring.
Bagian bawah dihiasi motif suluran daun, tumpal (pucuk rebung) dengan teknik
terawang pada bagian dalam piring ada dua garis lingkaran. Bagian kakinya sudah
patah. Ceurana ini biasanya digunakan sebagai tempat sirih untuk upacara adat
pada masyarakat Aceh.
Serune kalee adalah instrumen
tiup tradisional Aceh (terutama daerah Pidie, Aceh Utama, Aceh Besar dan Aceh
Barat). Alat ini terbuat dari kayu. Alat ini biasa digunakan dalam
upacar-upacara dan tarian-tarian tradisional.
15.
Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar
berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar
hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi
pengiring kesenian tradisional.
Geundrang merupakan unit
instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat
musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu
pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah
pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat
pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.
17. Canang
17. Canang
Canang adalah alat musik
tradisional yang terdapat dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang, dan
Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya "Canang Trieng", di Gayo disebut
"Teganing", di Tamiang disebut "Kecapi" dan di Alas disebut
dengan "Kecapi Olah". Canang terbuat dari kuningan dan bentuknya
menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik canang dan
masing-masing memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda pula. Fungsi
canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional. Canang juga
sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan
setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.
18. Cupeng
Uraian Singkat :
Sebuah cupeng yang terbuat dari perak yang berbentuk hati berhiasan motif suluran bunga yang dibuat dengan teknik ditatah timbulkan. Motif tersebut dibatasi dengan garis bidang kosong lainnya yang diisi dengan motif mutiara kecil yang dibuat berbentuk simetris dan tetap menggunakan teknik yang sama dengan motif suluran bunga. Pada bagian atas cupeng terdapat pengait berbentuk bulat panjang dengan lubang pada bagian dalamnya yang berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan tali yang akan digunakan sebagai pengikat cupeng. Cupeng ini digunakan oleh anak balita perempuan.
Sebuah cupeng yang terbuat dari perak yang berbentuk hati berhiasan motif suluran bunga yang dibuat dengan teknik ditatah timbulkan. Motif tersebut dibatasi dengan garis bidang kosong lainnya yang diisi dengan motif mutiara kecil yang dibuat berbentuk simetris dan tetap menggunakan teknik yang sama dengan motif suluran bunga. Pada bagian atas cupeng terdapat pengait berbentuk bulat panjang dengan lubang pada bagian dalamnya yang berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan tali yang akan digunakan sebagai pengikat cupeng. Cupeng ini digunakan oleh anak balita perempuan.
Sebuah gelang kaki yang terbuat
dari perak bermotifkan tumpal, bunga dan daun di dalam bidang geometris segi
empat di dalam bagian gelang kosong. Gelang ini biasanya digunakan sebagai
perhiasan wanita Gayo.
Keureusang adalah perhiasan yang
memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan
di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan
berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan
dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju
(seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang
memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.
Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan
dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak yang disepuh
emas. Bentuknya seperti mahkota. Patam Dhoe terbuat dari perak sepuh emas.
Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di
bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di
tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini disebut Bungong Kalimah-yang
dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.
Simplah merupakan suatu perhiasan
dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah
lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan
dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian
tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah
mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.
Seuntai Peuniti yang terbuat dari
emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat
dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga.
Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti
ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang
sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai
perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.
Sebuah wadah (geupet) yang
terbuat dari tanah, bentuk keseluruhan seperti buah labu tanah, bagian badan
dihiasi ukiran timbul, tumpal, telur ikan dan lingkaran. Bibir mencuat keluar
geupit ini digunakan sebagai wadah dan tempat memasak air yang rasa sengam.
Sebuah kuali yang terbuat dari kuningan berbentuk labu tanah yang
bermotif garis melingkar. Bejana ini memiliki bibir yang mencuat dengan lebar 3
cm. Bejana ini biasanya digunakan oleh masyarakat Aceh untuk memasak.
Sebuah ludahan (sudahan) adalah sejenis tempat ludah atau air bekas
cucian tangan yang terbuat dari kuningan dengan motif lekuk timbul tiga garis
yang mengelilingi bagian perut. Pada sisi bagian atas yang berbentuk agak lebar
seperti piring yang berukir terawang. Ludahan sering digunakan sebagai tempat
penampung air cucian tangan ataupun air ludah. Ludahan ini sering dipergunakan
pada upacara-upacara adat.
Sebuah ija krong terbuat dari
jenis benang dan bermotif daun sirih di sisi pinggir kain. Di tengah-tengahnya
ada motif bunga linear.
Selembar kain tengkulok terbuat
dari jenis benang bergaris-garis panjang berwarna kuning bermotif pucuk rebong
dan ada unsur benang emasnya berbentuk garis panjang.
Kendi ini terbuat dari tanah
liat. Bentuknya seperti buah labu yang agak besar. dibagian bawah sedang,
kebagian atas agak kecil. Pada bagian badan labu terdapat goresan motif pucuk
rebung warna coklat kemerahan. Selain tempat minum, kendi ini berfungsi sebagai
tanda perceraian bagi pria Gayo.
Sebuah wadah yang terbuat dari
tanah liat berwarna hitam yang terdiri dari dua bagian. Bagian dalam berbentuk
bulat yang berfungsi sebagai wadah. Bagian luar berbentuk payung yang terdapat
lubang pada bagian atas. Alat ini biasa digunakan oleh masyarakat Aceh untuk
memasak kemenyan.
Sebuah sangku terbuat dari kayu
berbentuk bulat seperti silinder. Terdiri dari tiga bagian yaitu badan, tutup
dan saringan. Sangku ini pada bagian badan dihiasi dengan motif tumpa berfungsi
sebagai tempat masak nasi dan ketan yang biasanya digunakan oleh masyarakat
Aceh.
Sepasang klah pliek u yang
berbentuk silinder yang terbuat dari belahan anyaman rotan bermotif geometris
balok-balok. Alat digunakan sebagai pemeras minyak kelapa untuk menghasilkan
minyak.
Kupiah meukeutop, lengkap dengan
hiasan. Tampak serta tangkulok kupiah ini terbuat dari kain tebal yang diisi
dengan kapas didalamnya. Dibagian luar dilapisi kain/pita aneka warna. Tampok
kupiah/topi berbentuk bunga dan sari bunga terbuat dari tembaga yang disepuh
emas terdiri dari tiga tingkat/susunan bunga yang dilengkapi pula dengan
permata (kaca) berjumlah 16 buah.
Meriam adalah sejenis senjata
berat orang Aceh. Menurut Jacob Rijck Van Opmeer dan kronik-kronik Aceh, sejak
permulaan abad XVII orang Aceh sudah biasa membuat/menuang meriam yang terbuat
dari perunggu, besi atau tembaga. Namun demikian sebahagian besar meriam yang
dimiliki orang Aceh merupakan hasil rampasan perang (Portugis) dan pembelian
luar negeri. Pada masa perang Belanda, meriam Aceh dibuat di daerah Montasik
(Aceh Besar).
Meriam Lada Sicupak, alat perang
kerajaan Aceh yang dibeli dari negara Turki pada abad XVI di Desa Blang Balok,
Kecamatan Peureulak Kota, Aceh Timur. Meriam ini sekaligus membuktikan jejak
bangsa Turki dan hubungan perdagangan di bumi Peureulak. Meriam tersebut dibeli
oleh sepuluh laskar (tentara) dengan cara menukarkan biji lada sicupak (3 muk)
satu unit meriamnya. maka nama meriam ditambalkan "Meriam Lada
Sicupak".
Seperangkat perahan kelapa yang
terbuat dari kayu dan terdiri dari 4 buah bersegi, 8 tiang dan 3 lempeng kayu
(papan) yang berfungsi sebagai penjepit. Kesemua ini dirangkai dengan sistim
bongkar pasang (knock down). Perahan kelapa ini dilengkapi dengan dua buah palu
yang berbentuk bulat (silinder) dan dua pasak. Kedua sisi kayu penjepit dihiasi
ukiran pilin tali daun bunga matahari. Perahan kelapa ini berfungsi untuk
penyulingan minyak kelapa.
Jeungki adalah suatu alat
tradisional masyarakat aceh untuk menumbuk padi?dan sering juga di pergunakan
untuk menumbuk kopi.Di gerakkan dengan kaki,titi tumpang lebih ke ujung
pengungkit sehingga memberikan pukulan yang lebih keras.Di ujung pengungkit di
pasang suatu kerangka terdiri atas 2(dua) bagian tegak lurus yang di hubungkan
oleh kayu as(penggerak) harizontal sehingga jeungki akan naik turun.Di ujung
sisi lain tempat di pasangkan alu(alee=dalam bahasa aceh) untuk menumbuk
lesung.
Sejenis tambur yang termasuk alat
pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan
sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat
komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan
masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang
jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat
teknologi microphone.
Sebuah wadah berbentuk seperti cerek tetapi terbuka pada sisi atasnya.
Memiliki bagian seperti mulut wadah untuk memudahkan penuangan. Tempat ini
memiliki pegangan berbentuk setengah lingkaran yang menggunakan engsel. Di
kedua sisi engselnya terdapat ukiran yang berbentuk singa. Di sisi lain juga
terdapat pegangan dengan gagang melengkung. Di bagian bawah terdapat alas
dengan dasar berbentuk lingkaran dan pada seluruh sisi wadah terdapat motif
menyerupai sisik. Tempat ini biasanya digunakan oleh suku Benggali yang menetap
di Aceh sebagai wadah perah susu.
Sebuah tempat untuk membakar
kemenyan yang terbuat dari kuningan yang berbentuk stupa dan terdiri dari tiga
bagian. Alasnya berbentuk piring dengan motif ukiran bungan. Bagian atas
terdiri dari dua bagian dan memiliki tiga kaki bermotif ukiran, engsel
digunakan sebagai antara tempat pembakaran yang bermotif ukiran bunga dengan
penutup yang bermotifkan bungan terawang. Alat ini digunakan sebagai tempat
pembakaran kemenyan pada upacara-upacara adat di Aceh.
Sebuah terompet yang terbuat dari
kuningan yang berbentuk bundar dengan tiga kali putaran dan mempunyai rantai
dengan panjang 17 cm yang dikaitkan pada pegangannya. Salah satu sisi rantainya
sudah lepas dari pegangan. Alat ini digunakan oleh masyarakat Aceh dalam
mengiringi musik dalam upacara-upacara adat.
Sebuah Tilam duk yang terbuiat
dari kayu berbentuk segi empat. Pada tiga bagian sisi terdapat ukiran yang
bermotif bungan delima dan awan. Pada satu sisi lainnya bermotif ukiran kayu
balok-balok agak sejajar. Pada sisi atas terdapat profil berukiran yang
menempel.
43. Geramophone
Uraian Singkat :
Seperangkat geramophone, kotak
terbuat dari kayu dan kaca berbentuksegi empat dan berengsel dari besi. Tempat
piringan terbuat dari besi bentuk bulat. Tempat jarum terbuat dari besi
berbentuk pipa yang dibengkokkan. Corong suara terbuat dari tembaga berbentuk
terompet dan mempunyai 11 lekukan. Geramophone ini disertai 2 buah piringan
hitam tentang pengajian dan lagu-lagu Aceh.
Piring besar berbentuk cembung.
Warna dasar kelabu bergambar hiasan binatang pada sisi muka bagian tengah dan
tidak berglasir.
Prasasti (Batu Bersurat) ditemukan di desa Neusu Aceh, Kecamatan
Baiturrahman, Kota Banda Aceh oleh Drs. Nasruddin Sulaiman, tanggal 18 April
1990. Museum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah melakukan pengamanan
dengan cara mengambil prasasti tersebut dari langgar Neusu Aceh pada tanggal 3
Desember 1990 dan disimpan di Museum Propvinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Prasasti
ini berbentuk "Yupa", panjang 170 cm, lebar 37 cm, tebal 19 cm,
diperkirakan jenis batu andesit. Pada kedua sisi Yupa ini terdapat tulisan yang
diperkirakan berbahasa Tamil kuno, berasal dari abad ke-11. Sesuai dengan
tempat asal temuannya oleh mantan Kakanwil Depdikbud Aceh, Ibrahim Kaoy,
prasati ini dinamakan "Prasasti Neusu Aceh".
Peudeung atau Pedang digunakan sebagai senjata untuk menyerang.Jika
rencong digunakan untuk menikam,maka pedang digunakan beriringan dengan
itu,yaitu sebagai senjata untuk mentetak atau mencincang.Berdasarkan daerah
asal pedang,di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu peudeung Habsyah (dari
Negara Abbesinia),Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat),Peudeung Turki berasal
dari raja-raja Turki.
Pada tahun 1970 Kota Banda Aceh
masih menggunakan kereta api sebagai salah satu sarana transportasi. Kereta api
ini mencapai rute hingga Kota Medan di Sumatra Utara. Kini Lokomotif dan salah
satu gerbong barang dari kereta api tersebut dibuat menjadi Monument Kereta Api
yang berada di Jl.Sultan A.Mahmudsyah. Banda Aceh, dan menjadi salah satu
sejarah transportasi di Aceh.
Masjid yang berada di Desa Peulanggahan, Kec.Kuta Raja. Kota Banda Aceh
ini didirikan pada abad 18 Masehi oleh seorang ulama yang berasal dari Arab
Saudi, tepatnya dari Negara Yaman. Beliau yang bernama Al Qutb - Al Habib -
Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih, atau yang lebih dikenal dengan nama
"Teungku Di Anjong" adalah gelar kehormatan bagi beliau. Di Anjong
berarti yang di Sanjung atau di Muliakan. Selain masjid disini juga terdapat
Makam Teungku Di Anjong".
Kompleks makam ini berada di
Jl.Sultan A.Mahmudsyah, Kelurahan Keuraton, Kec.Baiturrahman. Kota Banda
Aceh. Di Kompleks Makam Kandang XII ini terdapat 12 makam para raja yang pernah
memerintah di Aceh. Di makam ini dapat dijumpai tulisan kaligrafi indah dalam
bahasa Arab. Makam Para Raja atau Sultan tersebut antara lain: Sultan Ali
Mughayatsyah (1511-1530), Sultan Alaiddin Riayatsyah Al-Qahar (1537-1568).
Lokasi di Kampung Pandee, Kec.Kutaraja. Kota Banda Aceh. Kompleks makam
ini terletak diarea perumahan penduduk. Letak kompleks pemakaman ini tidak jauh
dari pantai Kuala Aceh, sehingga banyak dari makam-makam para raja tersebut
habis dilanda Tsunami th 2004 yang lalu, dan sebagian dari makam tersebut masih
ada.
Sekarang letak makam Syiah Kuala ini sekitar 50 meter dari pinggir laut,
sebelum Tsunami jaraknya sekitar 100 Meter. Lokasi tempat ini tidak jauh dari
muara Sungai Aceh (Kreung Aceh). Jarak dari pusat kota sekitar 3 km.Karena
letaknya tidak jauh dari muara sungai yang dalam bahasa Aceh disebut Kuala,
maka nama makam tersebut disebut Syiah Kuala. Tengku Syiah Kuala yang bernama
" Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi As-Singkili" merupakan salah seorang
ulama besar yang sangat terkenal dan telah menulis banyak buku tentang agama
Islam. Beliau juga diangkat menjadi Kadhi Malikul Adil pada masa pemerintahan
Ratu Safiatuddin pada abad ke-17 Masehi. Beliau membangun sebuah perguruan
agama Islam yang telah menghasilkan banyak ulama. Kuburan beliau masih banyak
dikunjungi oleh penziarah terutama murid-murid dari bekas murid beliau yang ada
di Sumatera Barat dan Malaysia. Kawasan pekuburan ini juga terkena dampak dari
Tsunami yang lalu. Saat ini (tahun 2008), situs ini sedang dipugar oleh
pemerintah kota Banda Aceh.
52. Makam
Sultan Iskandar Muda
Dialah raja yang adil, dijuluki bijaksana dalam memimpin. Salah satu yang
membuktikan hal itu, dia rela sekaligus tega merajam anak kandungnya sendiri,
Meurah Pupok, karena berzina. Di tangannya Aceh mengalami masa kejayaan. Sultan
Iskandar Muda, demikian orang menyebutnya, sedang nama kecilnya adalah Perkasa
Alam. Dia lahir di Aceh, 1593 dan mangkat pada 27 Desember 1636. Dia dimakamkan
di Komplek Gedung Meuseum Aceh atau disebut juga Kandang Meuh. Patut sekali
berziarah ke sana, karena dialah raja yang membawa Aceh kepada masa gemilang.
0 Response to " Diantara Tempat dan Benda bersejarah Aceh "
Posting Komentar