UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1990 |
||
TENTANG
|
||
KONSERVASI
SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
|
||
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
|
||
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
|
||
Menimbang :
|
||
a.
|
bahwa sumber daya alam hayati
Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting
bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu
dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa
kini maupun masa depan;
|
|
b.
|
bahwa pembangunan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari
pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
|
|
c.
|
bahwa unsur-unsur sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan
yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah
satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;
|
|
d.
|
bahwa untuk menjaga agar
pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara
sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan
keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri;
|
|
e.
|
bahwa peraturan perundang-undangan
yang ada dan masih berlaku merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial
yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah tidak sesuai
dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional;
|
|
f.
|
bahwa peraturan perundang-undangan
produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh
mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
|
|
g.
|
bahwa sehubungan dengan hal-hal di
atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu undang-undang.
|
|
Mengingat :
|
||
1.
|
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat
(1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
|
|
2.
|
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor
8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
|
|
3.
|
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
|
|
4.
|
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
|
|
5.
|
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985
tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3299).
|
|
Dengan
persetujuan
|
||
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
|
||
MEMUTUSKAN
:
|
||
Menetapkan
:
|
||
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN
EKOSISTEMNYA
|
||
BAB
I
|
||
KETENTUAN
UMUM
|
||
Pasal
1
|
||
Dalam Undang-undang ini yang
dimaksudkan dengan:
|
||
1.
|
Sumber daya alam hayati adalah
unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati
(tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non
hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
|
|
2.
|
Konservasi sumber daya alam hayati
adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
|
|
3.
|
Ekosistem sumber daya alam hayati
adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati
maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
|
|
4.
|
Tumbuhan adalah semua jenis sumber
daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air.
|
|
5.
|
Satwa adalah semua jenis sumber
daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara.
|
|
6.
|
Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang
hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian
jenisnya.
|
|
7.
|
Satwa liar adalah semua binatang
yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai
sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
|
|
8.
|
Habitat adalah lingkungan tempat
tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.
|
|
9.
|
Kawasan suaka alam adalah kawasan
dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.
|
|
10.
|
Cagar alam adalah kawasan suaka
alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tunbuhan, satwa, dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya berlangsung secara alami.
|
|
11.
|
Suaka margasatwa adalah kawasan
suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan
jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan
terhadap habitatnya.
|
|
12.
|
Cagar biosfer adalah suatu kawasan
yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang
telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan
dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
|
|
13.
|
Kawasan pelestarian alam adalah
kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
|
|
14.
|
Taman nasional adalah kawasan
pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
|
|
15.
|
Taman hutan raya adalah kawasan
pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau
buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi.
|
|
16.
|
Taman wisata alam adalah kawasan
pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi
alam.
|
|
Pasal
2
|
||
Konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
|
||
Pasal
3
|
||
Konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya
alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
|
||
Pasal
4
|
||
Konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta
masyarakat.
|
||
Pasal
5
|
||
Konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
|
||
a.
|
perlindungan sistem penyangga
kehidupan;
|
|
b.
|
pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
|
|
c.
|
pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya.
|
|
BAB
II
|
||
PERLINDUNGAN
SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN
|
||
Pasal
6
|
||
Sistem penyangga kehidupan
merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang
menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.
|
||
Pasal
7
|
||
Perlindungan sistem penyangga
kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.
|
||
Pasal
8
|
||
(1)
|
Untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan:
|
|
a.
|
wilayah tertentu sebagai wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan;
|
|
b.
|
pola dasar pembinaan wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan;
|
|
c.
|
pengaturan cara pemanfaatan
wilayah pelindungan sistem penyangga kehidupan.
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal
9
|
||
(1)
|
Setiap pemegang hak atas tanah dan
hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib
menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.
|
|
(2)
|
Dalam rangka pelaksanaan
perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan
tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak
pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8.
|
|
(3)
|
Tindakan penertiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
|
|
Pasal
10
|
||
Wilayah sistem penyangga kehidupan
yang mengalami kerusakan secara alami dan atau oleh karena pemanfaatannya
serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi secara
berencana dan berkesinambungan.
|
||
BAB
III
|
||
PENGAWETAN
KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA
|
||
Pasal
11
|
||
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan:
|
||
a.
|
pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya;
|
|
b.
|
pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa.
|
|
Pasal
12
|
||
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan
suaka alam agar tetap dalam keadaan asli.
|
||
Pasal
13
|
||
(1)
|
Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam.
|
|
(2)
|
Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa di dalam kawasan suaka alam dilakukan dengan membiarkan agar populasi
semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di
habitatnya.
|
|
(3)
|
Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa di luar kawasan suaka alam dilakukan dengan menjaga dan
mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya
kepunahan.
|
|
BAB
IV
|
||
KAWASAN
SUAKA ALAM
|
||
Pasal
14
|
||
Kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 terdiri dari:
|
||
a.
|
cagar alam;
|
|
b.
|
suaka margasatwa.
|
|
Pasal
15
|
||
Kawasan suaka alam selain
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
|
||
Pasal
16
|
||
(1)
|
Pengelolaan kawasan suaka alam
dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya.
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut yang
diperlukan bagi penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka
alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal
17
|
||
(1)
|
Di dalam cagar alam dapat
dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu
pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
|
|
(2)
|
Di dalam suaka margasatwa dapat
dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu
pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang
budidaya.
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal
18
|
||
(1)
|
Dalam rangka kerjasama konservasi
internasional, khususnya dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai
cagar biosfer.
|
|
(2)
|
Penetapan suatu kawasan suaka alam
dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagar biosfer diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal
19
|
||
(1)
|
Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka
alam.
|
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak termasuk kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan
satwa di dalam suaka margasatwa.
|
|
(3)
|
Perubahan terhadap keutuhan
kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis
tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
|
|
BAB
V
|
||
PENGAWETAN
JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
|
||
Pasal
20
|
||
(1)
|
Tumbuhan dan satwa digolongkan
dalam jenis:
|
|
a.
|
tumbuhan dan satwa yang
dilindungi;
|
|
b.
|
tumbuhan dan satwa yang tidak
dilindungi.
|
|
(2)
|
Jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam:
|
|
a.
|
tumbuhan dan satwa dalam bahaya
kepunahan;
|
|
b.
|
tumbuhan dan satwa yang
populasinya jarang.
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal
21
|
||
(1)
|
Setiap orang dilarang untuk :
|
|
a.
|
mengambil, menebang, memiliki,
merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan
yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
|
|
b.
|
mengeluarkan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu
tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
|
|
(2)
|
Setiap orang dilarang untuk :
|
|
a.
|
menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
|
|
b.
|
menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
|
|
c.
|
mengeluarkan satwa yang dilindungi
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
|
|
d.
|
memperniagakan, menyimpan atau
memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau
barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
|
|
e.
|
mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang
dillindungi.
|
|
Pasal
22
|
||
(1)
|
Pengecualian dari larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan
penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
yang bersangkutan.
|
|
(2)
|
Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan
satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
|
|
(3)
|
Pengecualian dari larangan
menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan
dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan
kehidupan manusia.
|
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
Pasal
23
|
||
(1)
|
Apabila diperlukan, dapat
dilakukan pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal
24
|
||
(1)
|
Apabila terjadi pelanggaran
terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, tumbuhan dan satwa
tersebut dirampas untuk negara.
|
|
(2)
|
Jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke
habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan
untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.
|
|
Pasal
25
|
||
(1)
|
Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau
pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu.
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
BAB
VI
|
||
PEMANFAATAN
SECARA LESTARI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
|
||
Pasal
26
|
||
Pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
|
||
a.
|
pemanfaatan kondisi lingkungan
kawasan pelestarian alam;
|
|
b.
|
pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar.
|
|
Pasal
27
|
||
Pemanfaatan kondisi lingkungan
kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi
kawasan.
|
||
Pasal
28
|
||
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung,
dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
|
||
BAB
VII
|
||
KAWASAN
PELESTARIAN ALAM
|
||
Pasal
29
|
||
(1)
|
Kawasan pelestarian alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari:
|
|
a.
|
taman nasional;
|
|
b.
|
taman hutan raya;
|
|
c.
|
taman wisata alam.
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan
wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal
30
|
||
Kawasan pelestarian alam mempunyai
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
|
||
Pasal
31
|
||
(1)
|
Di dalam taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan
wisata alam.
|
|
(2)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing
kawasan.
|
|
Pasal
32
|
||
Kawasan taman nasional dikelola
dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona
lain sesuai dengan keperluan.
|
||
Pasal
33
|
||
(1)
|
Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
nasional.
|
|
(2)
|
Perubahan terhadap keutuhan zona
inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis
tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
|
|
(3)
|
Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
|
|
Pasal
34
|
||
(1)
|
Pengelolaan taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
|
|
(2)
|
Di dalam zona pemanfaatan taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana
kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.
|
|
(3)
|
Untuk kegiatan kepariwisataan dan
rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut
sertakan rakyat.
|
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
Pasal
35
|
||
Dalam keadaan tertentu dan sangat
diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam
hayati beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan
pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu.
|
||
BAB
VIII
|
||
PEMANFAATAN
JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
|
||
Pasal
36
|
||
(1)
|
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk:
|
|
a.
|
pengkajian, penelitian dan
pengembangan;
|
|
b.
|
penangkaran;
|
|
c.
|
perburuan;
|
|
d.
|
perdagangan;
|
|
e.
|
peragaan;
|
|
f.
|
pertukaran;
|
|
g.
|
budidaya tanaman obat-obatan;
|
|
h.
|
pemeliharaan untuk kesenangan.
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
BAB
IX
|
||
PERAN
SERTA RAKYAT
|
||
Pasal
37
|
||
(1)
|
Peran serta rakyat dalam
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan
oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil
guna.
|
|
(2)
|
Dalam mengembangkan peran serta
rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan
meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
BAB
X
|
||
PENYERAHAN
URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
|
||
Pasal
38
|
||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah dapat
menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
BAB
XI
|
||
PENYIDIKAN
|
||
Pasal
39
|
||
(1)
|
Selain Pejabat Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
|
|
(2)
|
Kewenangan penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
|
|
(3)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), berwenang untuk:
|
|
a.
|
melakukan pemeriksanaan atas
laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
|
|
b.
|
melakukan pemeriksaaan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya;
|
|
c.
|
memeriksa tanda pengenal seseorang
yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
|
|
d.
|
melakukan penggeledahan dan
penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya;
|
|
e.
|
meminta keterangan dan bahan bukti
dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
|
|
f.
|
membuat dan menandatangani berita
acara;
|
|
g.
|
menghentikan penyidikan apabila
tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
|
|
(4)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
|
|
BAB
XII
|
||
KETENTUAN
PIDANA
|
||
Pasal
40
|
||
(1)
|
Barang siapa dengan sengaja
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
|
|
(2)
|
Barang siapa dengan sengaja
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
|
|
(3)
|
Barang siapa karena kelalaiannya
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
|
|
(4)
|
Barang siapa karena kelalaiannya
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
|
|
(5)
|
Tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
|
|
BAB
XIII
|
||
KETENTUAN
PERALIHAN
|
||
Pasal
41
|
||
Hutan suaka alam dan taman wisata
yang telah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan
sebagai kawasan suaka alam dan taman wisata alam berdasarkan Undang-undang
ini.
|
||
Pasal
42
|
||
Semua peraturan pelaksanaan dari
peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya hayati dan
ekosistemnya yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang
ini, tetap berlaku sampai dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan undang-undang ini.
|
||
BAB
XIV
|
||
KETENTUAN
PENUTUP
|
||
Pasal
43
|
||
Pada saat mulai berlakunya
Undang-undang ini, maka:
|
||
1.
|
Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie
1931 Staatsblad 1931 Nummer 133);
|
|
2.
|
Ordonansi Perlindungan
Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931
Nummer 134);
|
|
3.
|
Ordonansi Perburuan Jawa dan
Madura (Jachtoddonnantie Java en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
|
|
4.
|
Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie
1941 Staatsblad 1941 Nummer 167);
|
|
dinyatakan tidak berlaku lagi.
|
||
Pasal
44
|
||
Undang-undang ini dapat disebut
Undang-undang Konservasi Hayati.
|
||
Pasal
45
|
||
Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
|
||
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||
Disahkan
di Jakarta
|
||
Pada
tanggal 10 Agustus 1990
|
||
Home
»
Pendidikan dan Hukum
»
UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 Response to " UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya "
Posting Komentar