DAGING rebus atau dalam bahasa Aceh disebut sie reuboh, bukan sekadar daging yang direbus. Ini kuliner khas Kabupaten Aceh Besar yang diwariskan turun-temurun dan menjadi santapan wajib saat tiba Ramadhan. Karena, kuliner ini bisa bertahan hingga satu bulan.
Sie reuboh memang bukan sekadar daging rebus. Ia dibuat dari gumpalan daging beserta gapah yang dibumbui garam, cabe merah, cabe kering, cabe rawit, kunyit, kemudian direbus hingga mendidih di belanga tanah tanpa disiram air.
Khusus untuk gilingan ketiga jenis cabe, rawit, merah dan cabe jangan dihaluskan. Biarkan ia dalam keadaan kasar sehingga bijinya akan lengket di permukaan daging nantinya.
Setelah air rebusan yang keluar dari daging dan gapah mengering, biarkan ia selama satu malam dalam belanga. Keesokan harinya, ketika dipanaskan kembali dan gapah yang membalut daging meleleh, siramkan cuka bersama air dan biarkan sampai mengering hingga dagingnya empuk. Cuka yang digunakan pun harus cuka enau.
Sampai tahapan ini, satu fase masakan kuliner sie reuboh bisa dianggap selesai dan bisa dijadikan santapan dengan cara disayat sebagai lauk. Di tahapan ini pula, sie reuboh bisa akrab dengan waktu dan bertahan hingga berbulan-bulan. Cara menyantapnya tak berubah, yakni dipanaskan dengan api yang tak terlalu besar, dan harus tetap dalam belanga tanah.
Proses sie reuboh sebagai kuliner khas Aceh Rayeuk belum seluruhnya berhenti sampai di sini. Daging rebus itu bisa diolah menjadi banyak turunan. Mulai dari sie goreng istilahnya yang mirip rendang, dimasak lemak, dibuat kuah asam keung khas Aceh dan bisa juga dijadikan semacam abon.
Sie reuboh menguapkan wangi cuka yang keras dan menggoda. Wangian cuka ini menjalar bersama rasa pedas bercampur asam hingga ke langit-langit mulut ketika dimakan. Wangi cuka nipah inilah yang mendominasi rasa daging rebus, yang sulit untuk dilewatkan.
Di tahun-tahun terakhir ini sie reuboh sebagai menu kuliner yang dijajakan di warung-warung apalagi restoran, makin jarang didapat. Ia kalah pamor dengan ayam tangkap, atau ayam penyet misalnya.
Namun, di kawasan Lambaro, Aceh Besar, sebuah rumah makan khas Aceh Rayek, Delima Baru, dan resto Ayam Tangkap Blang Bintang, masih tetap menjadikan sie reuboh sebagai menu utama. “Satu hari kami memasak 30 kilogram gading khusus untuk sie reuboh. Kebanyakan pelanggan kami memang memesan sie reuboh sebagai menu utama,” kata Rusli, pemilik rumah makan tersebut.
Tak ada ramuan khusus untuk melariskan masakan itu. Resep pembuatan sie reuboh ini juga diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga Rusli. “Saya merupakan generasi ketiga. Usaha rumah makan ini sudah ada sejak 60-an,” ungkapnya.
Namun, di rumah-rumah warga Aceh Besar, khususnya saat meugang memasuki bulan Ramadhan, kuliner yang mengundang kolesterol ini hampir bisa ditemui di setiap rumah warga. Mau mencoba? Yuk ke Aceh Besar.(*)
Dari Makanan Meugang hingga Peunajoh Prang
RITUAL meugang diperingati warga Aceh dua atau satu hari menjelang Ramadhan, Idul Fitri, serta Idul Adha. Ritual itu biasanya dilakukan dengan membeli dan memakan masakan berbahan daging. Bagi masyarakat Aceh Besar, hari meugang tanpa sie reuboh terasa hampa.
Rasa sie reuboh yang gurih, pedas, dan keasam-asaman membuatnya lezat disantap bersama nasi atau disajikan langsung.
Sie reuboh memang memiliki karakter tersendiri. Selain rasanya yang khas, masakan ini juga tahan lama atau bisa disimpan berhari-hari. “Sie reuboh tidak akan basi. Kalau sudah dingin tinggal dipanaskan lagi, dan tetap masih enak dimakan,” kata Bidin, seorang penggemar sie reuboh.
Seperti warga Aceh Besar lainnya, Bidin tetap menjadikan sie reuboh sebagai masakan yang harus ada di rumah pada setiap hari meugang. “Walaupun menu lain ada, sie reuboh tetap harus tersedia. Ini wajib,” ujarnya.
Karena tahan lama dan tak cepat basi, makanan ini sering pula menjadi peunajoh prang atau logistik perang. Seorang mantan kombatan di Aceh Besar mengaku, saat ia masih bergerilya, makanan ini sering menjadi bekal dari keluarga yang dibawanya ke hutan. “Itu karena makanan ini tahan lama. Jika ingin menyantapnya, cukup dengan dipanaskan saja. Sehingga cocok dibawa saat bergerilya,” ungkap Saifuddin, seorang mantan kombatan yang kini berprofesi sebagai kontraktor.
Kesederhanaan dalam penyajiannya, menjadi salah satu alasan makanan ini cukup digemari, khususnya saat sahur jelang berpuasa di bulan Ramadhan. Sayangnya, kesederhanaan sie reboh ini juga telah membuatnya dipandang sebelah mata.
Di Banda Aceh, misalnya, cukup sulit untuk menemukan sajian ini di rumah makan atau restoran. Untungnya, salah satu rumah makan di kawasan Lambaro, Aceh Besar, dan resto ayam tangkap Blang Bintang, masih menyediakan makanan tersebut.
“Dulu, tahun enam puluhan, kakek saya membuka rumah makan yang menyediakan sie reuboh di kawasan Jalan Perdagangan, Banda Aceh. Kemudian 1997, pindah ke Jalan Diponegoro dan dikelola oleh orang tua saya. Barulah sekitar 2006 saya melanjutkan usaha turun-temurun ini di kawasan Lambaro,” ungkap Rusli, pemilik Rumah Makan Delima Baru.
Saat Serambi berkunjung di rumah makan itu, terlihat seorang turis asing sedang menikmati hidangan sie reuboh. Meski tangannya dipenuhi gapah, ia terus saja menyantap makanan itu tanpa perduli orang-orang di sekitarnya. Ternyata, makanan ini tak hanya cocok di lidah para pribumi, tapi juga bisa diterima di lidah mereka yang tak terbiasa dengan makanan tersebut. Inilah makanan meugang hingga peunajoh prang.(*)
Tak Perlu Waktu Lama Memasaknya
SERING yang menduga, kuliner Aceh merupakan masakan yang sulit diolah. Teknik memasaknya pun terkesan sulit. Padahal, tak semua demikian. Buktinya, sie reuboh bisa dimasak dalam waktu yang cepat; hanya 30 menit. Teknik pengolahannya pun jauh dari kesan rumit.
Sederhanakah cara membuat sie reuboh? Jawabannya, sangat sederhana. Tak ada literatur dan ketentuan yang mengahruskan penggunaan daging tertentu. Pemilihan daging bisa disesuaikan dengan selera. Bisa menggunakan has luar dan bisa juga has dalam. Atau, jeroan pun boleh. Bahkan, bisa juga memilih daging sapi atau daging kambing.
Nah... bagaimana dengan bumbunya? Khusus sie reuboh, pemakaian bumbu rempahnya tak terlalu banyak. Yang dibutuhkan hanya bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, serta cuka-untuk memunculkan rasa asam. Seluruh bahan tersebut mudah diperoleh di pasaran maupun di ladang-ladang penduduk.
Untuk mencitrakan masakan khas yang yang didominasi rasa pedas, sie reboh banyak menggunakan cabai. Kemudian, sie reuboh diolah menjadi menu makanan. Proses pengolahannya tak sampai 30 menit.
Agar proses memasaknya lebih cepat dan singkat, dianjurkan menggunakan daging sapi has dalam atau has luar. Karena, tingkat keempukan lebih dari daging lainnya. Tapi, jika tak ingin repot-repot memasaknya, silakan rasakan kenikmatan sie reuboh ini di resto dan warung makan di Aceh Besar.(*)
Tanpa Sie Reuboh, Tak Jadi Meugang
MEUGANG atau yang disebut juga hari palahan, menjadi tradisi sakral di Aceh. Saking sakralnya, jika pada hari meugang tak membawa pulang daging, akan menjadi minder dan dianggap memalukan. Pada 1986 lalu, seorang pria rela memotong kemaluannya lantaran tak sanggup membawa daging ke rumah mertua pada hari meugang.
Kesakralan ini dilengkapi dengan tradisi tersendiri di masih-masing daerah. Di Aceh Besar, meugang yang diperingati sehari menjelang Idul Adha, Idul Fitri, dan puasa Ramadhan, akan hampa jika tanpa dilengkapi sie reuboh. Meski tak dilengkapi aturan kuat, masakan ini menjadi menu wajib bagi warga Aceh Besar saat meugang.
Sie reuboh memang memiliki karakter tersendiri. Selain rasanya yang khas, masakan ini juga tahan lama atau bisa disimpan berhari-hari. Satu keuntungan sie reuboh ini, tidak akan basi. Bila sudah dingin, tinggal dipanaskan, tetap masih enak dimakan kapan pun. Karena itu, saat meugang warga Aceh Besar sering membuat sie reuboh, untuk kemudian disimpan sebagai menu berbuka puasa atau sahur.
Kepupuleran masakan ini bukan hanya digemari oleh warga Aceh Besar. Beberapa warga daerah lain juga sering mencari sie reuboh di warung-warung nasi pada hari biasa. Tapi bagi warga Aceh Besar, seakan ada isyarat, meugang tak akan sah bila tak dilengkapi dengan sajian menu sie reuboh.
Sie reuboh memang bukan sekadar daging rebus. Ia dibuat dari gumpalan daging beserta gapah yang dibumbui garam, cabe merah, cabe kering, cabe rawit, kunyit, kemudian direbus hingga mendidih di belanga tanah tanpa disiram air.
Khusus untuk gilingan ketiga jenis cabe, rawit, merah dan cabe jangan dihaluskan. Biarkan ia dalam keadaan kasar sehingga bijinya akan lengket di permukaan daging nantinya.
Setelah air rebusan yang keluar dari daging dan gapah mengering, biarkan ia selama satu malam dalam belanga. Keesokan harinya, ketika dipanaskan kembali dan gapah yang membalut daging meleleh, siramkan cuka bersama air dan biarkan sampai mengering hingga dagingnya empuk. Cuka yang digunakan pun harus cuka enau.
Sampai tahapan ini, satu fase masakan kuliner sie reuboh bisa dianggap selesai dan bisa dijadikan santapan dengan cara disayat sebagai lauk. Di tahapan ini pula, sie reuboh bisa akrab dengan waktu dan bertahan hingga berbulan-bulan. Cara menyantapnya tak berubah, yakni dipanaskan dengan api yang tak terlalu besar, dan harus tetap dalam belanga tanah.
Proses sie reuboh sebagai kuliner khas Aceh Rayeuk belum seluruhnya berhenti sampai di sini. Daging rebus itu bisa diolah menjadi banyak turunan. Mulai dari sie goreng istilahnya yang mirip rendang, dimasak lemak, dibuat kuah asam keung khas Aceh dan bisa juga dijadikan semacam abon.
Sie reuboh menguapkan wangi cuka yang keras dan menggoda. Wangian cuka ini menjalar bersama rasa pedas bercampur asam hingga ke langit-langit mulut ketika dimakan. Wangi cuka nipah inilah yang mendominasi rasa daging rebus, yang sulit untuk dilewatkan.
Di tahun-tahun terakhir ini sie reuboh sebagai menu kuliner yang dijajakan di warung-warung apalagi restoran, makin jarang didapat. Ia kalah pamor dengan ayam tangkap, atau ayam penyet misalnya.
Namun, di kawasan Lambaro, Aceh Besar, sebuah rumah makan khas Aceh Rayek, Delima Baru, dan resto Ayam Tangkap Blang Bintang, masih tetap menjadikan sie reuboh sebagai menu utama. “Satu hari kami memasak 30 kilogram gading khusus untuk sie reuboh. Kebanyakan pelanggan kami memang memesan sie reuboh sebagai menu utama,” kata Rusli, pemilik rumah makan tersebut.
Tak ada ramuan khusus untuk melariskan masakan itu. Resep pembuatan sie reuboh ini juga diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga Rusli. “Saya merupakan generasi ketiga. Usaha rumah makan ini sudah ada sejak 60-an,” ungkapnya.
Namun, di rumah-rumah warga Aceh Besar, khususnya saat meugang memasuki bulan Ramadhan, kuliner yang mengundang kolesterol ini hampir bisa ditemui di setiap rumah warga. Mau mencoba? Yuk ke Aceh Besar.(*)
Dari Makanan Meugang hingga Peunajoh Prang
RITUAL meugang diperingati warga Aceh dua atau satu hari menjelang Ramadhan, Idul Fitri, serta Idul Adha. Ritual itu biasanya dilakukan dengan membeli dan memakan masakan berbahan daging. Bagi masyarakat Aceh Besar, hari meugang tanpa sie reuboh terasa hampa.
Rasa sie reuboh yang gurih, pedas, dan keasam-asaman membuatnya lezat disantap bersama nasi atau disajikan langsung.
Sie reuboh memang memiliki karakter tersendiri. Selain rasanya yang khas, masakan ini juga tahan lama atau bisa disimpan berhari-hari. “Sie reuboh tidak akan basi. Kalau sudah dingin tinggal dipanaskan lagi, dan tetap masih enak dimakan,” kata Bidin, seorang penggemar sie reuboh.
Seperti warga Aceh Besar lainnya, Bidin tetap menjadikan sie reuboh sebagai masakan yang harus ada di rumah pada setiap hari meugang. “Walaupun menu lain ada, sie reuboh tetap harus tersedia. Ini wajib,” ujarnya.
Karena tahan lama dan tak cepat basi, makanan ini sering pula menjadi peunajoh prang atau logistik perang. Seorang mantan kombatan di Aceh Besar mengaku, saat ia masih bergerilya, makanan ini sering menjadi bekal dari keluarga yang dibawanya ke hutan. “Itu karena makanan ini tahan lama. Jika ingin menyantapnya, cukup dengan dipanaskan saja. Sehingga cocok dibawa saat bergerilya,” ungkap Saifuddin, seorang mantan kombatan yang kini berprofesi sebagai kontraktor.
Kesederhanaan dalam penyajiannya, menjadi salah satu alasan makanan ini cukup digemari, khususnya saat sahur jelang berpuasa di bulan Ramadhan. Sayangnya, kesederhanaan sie reboh ini juga telah membuatnya dipandang sebelah mata.
Di Banda Aceh, misalnya, cukup sulit untuk menemukan sajian ini di rumah makan atau restoran. Untungnya, salah satu rumah makan di kawasan Lambaro, Aceh Besar, dan resto ayam tangkap Blang Bintang, masih menyediakan makanan tersebut.
“Dulu, tahun enam puluhan, kakek saya membuka rumah makan yang menyediakan sie reuboh di kawasan Jalan Perdagangan, Banda Aceh. Kemudian 1997, pindah ke Jalan Diponegoro dan dikelola oleh orang tua saya. Barulah sekitar 2006 saya melanjutkan usaha turun-temurun ini di kawasan Lambaro,” ungkap Rusli, pemilik Rumah Makan Delima Baru.
Saat Serambi berkunjung di rumah makan itu, terlihat seorang turis asing sedang menikmati hidangan sie reuboh. Meski tangannya dipenuhi gapah, ia terus saja menyantap makanan itu tanpa perduli orang-orang di sekitarnya. Ternyata, makanan ini tak hanya cocok di lidah para pribumi, tapi juga bisa diterima di lidah mereka yang tak terbiasa dengan makanan tersebut. Inilah makanan meugang hingga peunajoh prang.(*)
Tak Perlu Waktu Lama Memasaknya
SERING yang menduga, kuliner Aceh merupakan masakan yang sulit diolah. Teknik memasaknya pun terkesan sulit. Padahal, tak semua demikian. Buktinya, sie reuboh bisa dimasak dalam waktu yang cepat; hanya 30 menit. Teknik pengolahannya pun jauh dari kesan rumit.
Sederhanakah cara membuat sie reuboh? Jawabannya, sangat sederhana. Tak ada literatur dan ketentuan yang mengahruskan penggunaan daging tertentu. Pemilihan daging bisa disesuaikan dengan selera. Bisa menggunakan has luar dan bisa juga has dalam. Atau, jeroan pun boleh. Bahkan, bisa juga memilih daging sapi atau daging kambing.
Nah... bagaimana dengan bumbunya? Khusus sie reuboh, pemakaian bumbu rempahnya tak terlalu banyak. Yang dibutuhkan hanya bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, serta cuka-untuk memunculkan rasa asam. Seluruh bahan tersebut mudah diperoleh di pasaran maupun di ladang-ladang penduduk.
Untuk mencitrakan masakan khas yang yang didominasi rasa pedas, sie reboh banyak menggunakan cabai. Kemudian, sie reuboh diolah menjadi menu makanan. Proses pengolahannya tak sampai 30 menit.
Agar proses memasaknya lebih cepat dan singkat, dianjurkan menggunakan daging sapi has dalam atau has luar. Karena, tingkat keempukan lebih dari daging lainnya. Tapi, jika tak ingin repot-repot memasaknya, silakan rasakan kenikmatan sie reuboh ini di resto dan warung makan di Aceh Besar.(*)
Tanpa Sie Reuboh, Tak Jadi Meugang
MEUGANG atau yang disebut juga hari palahan, menjadi tradisi sakral di Aceh. Saking sakralnya, jika pada hari meugang tak membawa pulang daging, akan menjadi minder dan dianggap memalukan. Pada 1986 lalu, seorang pria rela memotong kemaluannya lantaran tak sanggup membawa daging ke rumah mertua pada hari meugang.
Kesakralan ini dilengkapi dengan tradisi tersendiri di masih-masing daerah. Di Aceh Besar, meugang yang diperingati sehari menjelang Idul Adha, Idul Fitri, dan puasa Ramadhan, akan hampa jika tanpa dilengkapi sie reuboh. Meski tak dilengkapi aturan kuat, masakan ini menjadi menu wajib bagi warga Aceh Besar saat meugang.
Sie reuboh memang memiliki karakter tersendiri. Selain rasanya yang khas, masakan ini juga tahan lama atau bisa disimpan berhari-hari. Satu keuntungan sie reuboh ini, tidak akan basi. Bila sudah dingin, tinggal dipanaskan, tetap masih enak dimakan kapan pun. Karena itu, saat meugang warga Aceh Besar sering membuat sie reuboh, untuk kemudian disimpan sebagai menu berbuka puasa atau sahur.
Kepupuleran masakan ini bukan hanya digemari oleh warga Aceh Besar. Beberapa warga daerah lain juga sering mencari sie reuboh di warung-warung nasi pada hari biasa. Tapi bagi warga Aceh Besar, seakan ada isyarat, meugang tak akan sah bila tak dilengkapi dengan sajian menu sie reuboh.
0 Response to " Sie Reuboh Kuliner Warisan Aceh Besar "
Posting Komentar