Ilustrasi |
Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran lahir dengan empat pilar utama, yaitu angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim. Diantara pilar-pilar tersebut, salah satu semangat yang sangat menonjol adalah semangat reformasi dalam sektor kepelabuhanan. Melalui penjabaran lebih mendalam pada PP 61 Tahun 2009, prioritas utama dalam reformasi tersebut adalah menghapus monopoli, menciptakan kesempatan yang lebih luas untuk investasi di sektor pelabuhan (pihak swasta dan pemerintah daerah), menciptakan kompetisi yang sehat dalam pelabuhan dan antar pelabuhan, pemisahan yang jelas antara regulator dan operator (melalui pembentukan Otoritas Pelabuhan), serta dalam rangka mengakomodir otonomi daerah di bidang kepelabuhanan.
Sistem operasional pelabuhan terdiri dari 2 sistem, yaitu public service port dan landlord port. Public service port beroperasi dan mengembangkan infrastruktur/suprastruktur mengandalkan biaya dari pemerintah. Kelebihan dari sistem operasional ini akan memberikan kemudahan dalam satu pola manajemen yaitu berasal dari pemerintah. Sedangkan landlord port beroperasi dan mengembangkan infrastuktur/suprastruktur dari pemerintah untuk kemudian disewakan dan diusahakan oleh Pihak swasta. Kelebihan dari sistem ini akan menciptakan pasar industri kepelabuhanan yang lebih dinamis dan kemampuan menguasai pasar melalui pelayanan yang lebih unggul. Sistem operasional pelabuhan Indonesia diarahkan kepada sistem landlord port sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Pelayaran. Hal ini juga diperkuat melalui tatanan kepelabuhanan nasional sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor KP. 414 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan penyelanggaraan pelabuhan yang andal dan berkemampuan tinggi, menjamin efesiensi dan mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional daerah yang berwawasan nusantara.
Sistem operasional pelabuhan dapat dinilai dan diukur kinerja pelayanannya melalui beberapa indikator berdasarkan SK Dirjenhubla No UM.002/38/18/DGPL-11, yaitu Waktu Tunggu Kapal/Waiting Time (jumlah waktu sejak permohonan tambat setelah kapal tiba di tempat labuh sampai kapal bergerak menuju tambatan); Waktu Pelayanan Pemanduan/Approach Time (waktu yang terpakai utk bergerak dari lokasi labuh sampai ikat tali di tambatan atau sebaliknya); WaktuEfektif/Effektif time dibanding Berth Time (jumlah waktu bagi kapal yang benar-benar digunakan untuk bongkar muat selama ditambatan). Sedangkan standar kinerja operasional pelabuhan meliputi tingkat kualitas pelayanan kapal, pelayanan barang, utilisasi fasilitas, kesiapan peralatan pelabuhan, yang disesuaikan dengan karakteristik masing masing lokasi terminal di pelabuhan.
Aceh mempunyai sejarah yang cukup gemilang dengan kepelabuhanan. Dengan posisi yang sangat strategis, berhadapan langsung dengan wilayah pelayaran internasional, Aceh berpotensi untuk meningkatkan kembali aktifitas pelabuhan yang saat ini masih perlu upaya-upaya peningkatan baik dari sisi pemenuhan kebutuhan infrastruktur maupun sistem operasional pelabuhan. Pelabuhan-pelabuhan Aceh seharusnya siap sebagai pelabuhan yang memiliki daya saing untuk berperan dalam jalur utama pelayaran domestik (main sea corridor) yang menjadi penghubung kawasan Timur dan Barat Indonesia. Bentuk persaingan berupa kualitas pelayanan melalui pemenuhan infrastruktur dasar, peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia dan pemanfaatan teknologi modern.
Secara umum, mengacu pada indikator dan standar pelayanan tersebut di atas, kualitas pelayanan pelabuhan di Aceh masih tertinggal dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan lain yang ada di Indonesia. Selain aktifitas pelabuhan yang masih kurang, standar kinerja pelayanan juga masih perlu ditingkatkan terutama pada pelabuhan-pelabuhan komersil. Secara administratif Aceh memiliki 11 (sebelas) pelabuhan yang terdiri dari 5 (lima) pelabuhan komersil dan 6 (enam) pelabuhan non komersil. Lima pelabuhan yang diusahakan atau bersifat komersil, yaitu Pelabuhan Malahayati, Pelabuhan Lhokseumawe (Kr. Geukuh), Pelabuhan Kuala Langsa, Pelabuhan Meulaboh dan Pelabuhan Bebas Sabang. Persoalan mendasar dari kinerja pelayanan pelabuhan di Aceh adalah tidak tegasnya pembagian peran masing-masing pelabuhan di Aceh dan lemahnya kemampuan bersaing dengan pelabuhan lain di Indonesia.
Mengembangkan pelabuhan Aceh untuk dapat mensejahterakan masyarakat Aceh seharusnya memiliki regulasi yang mengatur tentang pembagian peran, hirarki dan fungsi pelabuhan yang mendukung masing-masing wilayah hinterland pelabuhan. Selanjutnya diperlukan rencana detail masing-masing pelabuhan dengan penetapan arah pengembangan, studi kelayakan dan bussines plan. Karena proses perencanaan secara umum tidak berdasarkan port planning principles sehingga terjadi kesenjangan antara penyiapan infrastruktur, penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pemilihan teknologi. Agar dapat berkompetisi dengan pelabuhan lain dibutuhkan bussines plan yang mencerminkan strategi “unusual bussines” sehingga dapat mempercepat peningkatan kinerja operasional pelabuhan Aceh.
0 Response to " Peningkatan Kinerja Pelabuhan Komersil Aceh "
Posting Komentar